Kopi, Buku, dan Sebuah Pertemuan

"Sudah mecah ke mana-mana. Ini sebagian dari pecahan itu." Kalimat dari Tupai Loncat alias Nicky yang menggambarkan tentang Pakelonan sekarang. Baik jejakanya maupun buku Pakelonan. Dan memang sebagian dari pecahan itu tertuliskan di buku Pakelonan. Ada rasa yang enggan bila memori di rumah merah jambu akan terlupa begitu saja sejalan dengan waktu dan bertambahnya usia.

Sebelumnya pada tahun 2016, buku Pakelonan terbit untuk pertama kalinya dan menyapa para karakter yang terkisahkan di buku Pakelonan. Tawa juga memori langsung terukir kembali ketika sebagian dari mereka membaca buku Pakelonan sembari memutar ingatan mereka tentang hal-hal apa yang sudah terjadi semasa mengukir kisah di rumah merah jambu. Dan di tahun 2018 ini, buku Pakelonan hadir kembali sebagai edisi revisi sekaligus final.


Sebagian dari "pecahan itu."

Kawan lama yang sedang merantau di pulau sebarang datang kembali menyapa kota Solo. Kini ia tak lagi sendiri tetapi datang ditemani jodohnya yang sudah saling sepakat dalam akad pada Maret 2018 lalu. Ketika ia menyapa lagi kota Solo itu berarti ada sebuah reuni kecil Pakelonan. Memang mengumpulkan semua jejaka Pakelonan seperti dahulu sudah sangat sulit dan nampak begitu rumit. Sudah ada tanggung jawab masing-masing yang harus dipikul.

Tangan ini kembali berjabat dengan kawan lama semasa kuliah dahulu. Kini bukan lagi untuk mengantar kepergiannya seperti pada Desember 2016 lalu, melainkan kembali berjabat untuk sebuah rasa syukur karena masih bisa bersua.

Kota ini memang sedikit terasa sepi ketika tawa dan juga hangatnya kebersamaan dengan kalian pergi bersama dengan berakhirnya masa kita di rumah merah jambu. Hal yang begitu terasa, saat rindu datang tiba-tiba. Kota ini menjadi saksi akan perjalanan kita ketika berstatus sebagai mahasiswa. Bertemu, berkisah, dan kini berpisah. Siklus yang sudah kita lewati. Pun ketika ada sebagian tawa yang kembali lagi ke kota ini, hal itu sudah tidak seperti dahulu. Ada sebagian tawa yang belum juga bisa menyapa kota ini lagi.


Kopi dan kawan lama seperti dua hal yang tak bisa dipisahkan. Berkumpul lagi dengan kawan lama selalu ditemani hangatnya secangkir kopi. Ketika aku sampai di tempat ngopi yang dulunya juga tempat perdana buku Pakelonan menyapa jejakanya, sudah ada kawan lama dari pulau seberang yang tengah asyik berbincang dengan jodohnya.

Senyum dan juga jabat tangan kembali menyapa. Begitu juga dengan ingatan-ingatan ketika kuliah dahulu. Ah, selalu begini, tawa yang tak pernah berubah ketika membicarakan masa lalu di rumah merah jambu.

Baru aku dan juga mereka berdua yang datang di tempat ini. Sisanya ya masih begitu ketika hendak bersua. Ada saja waktu yang molor, hahaha. Sembari menunggu yang lain datang, buku Pakelonan menjadi gelak tawa tersendiri ketika ingatan-ingatan semasa di rumah merah jambu kembali terukir.


Tawa di salah sudut tempat ngopi ini menjadi bising ketika semua sudah berkumpul. Tanya tentang kabar, kehidupan asmara, tentang kabar personil yang lain, menjadi pelengkap obrolan malam ini. Pun tak ketinggalan kisah tentang Dik Tik yang begitulah, yang sudah jadi rahasia umum di antara personil Pakelonan, Hahaha.

Malam ini semacam menjadi malam peluncuran kembali buku Pakelonan. Buku yang berisikan tentang kisah-kisah kami, para jejaka Pakelonan, semasa di rumah merah jambu yang kami sebut Pakelonan. Seperti kata Tupai, bahwa buku Pakelonan ini merupakan sebagian dari pecahan kisah Pakelonan yang luar biasa. Ada sebuah rasa kecewa yang terobati karena Pakelonan. Ada sebuah pertemuan yang begitu sederhana kemudian menjelma menjadi kisah yang luar biasa. Hingga pada sebuah akhir yang menjadi penuntas dari kisah di rumah merah jambu, Pakelonan.

Malam ini memang hanya sebagian saja yang bisa hadir. Sama ketika buku Pakelona pertama kali hadir menyapa pada tahun 2016 lalu. Mas Tio yang aku hubungi juga masih belum bisa hadir. Begitu juga dengan Aziz yang baru bisa menitipkan salam kepada semuanya karena tidak bisa hadir juga.


Terkadang ada sebuah rasa yang tiba-tiba mucul begitu saja ketika sedang bersua seperti ini. Rasa ingin memiliki dalam artian enggan melepaskan pergi. Tetapi memang ada yang tidak bisa dipaksakan dalam hidup ini. Ada siklus kehidupan yang harus dijalani oleh masing-masing.

Pun ketika tangan ini sudah rela melepaskan, ada saat di mana ego ini kembali muncul, menolak itu semua. Menolak untuk melepaskan. Masih ada rasa ingin untuk tetap memiliki, rasa ingin untuk tetap bersama. Tetapi sekali lagi, bahwa ada sebuah siklus kehidupan yang tak bisa dipaksakan.
Perpisahan adalah satu hal yang aku benci. Tetapi begitulah rumus dunia. Ada jumpa pun ada perpisahan.

Malam ini tawa, canda, dan juga tanya tentang kabar melengkapi jumpa kali ini. Buku Pakelonanpun juga sudah bertemu dengan sebagian dari karakternya. Hangatnya sebuah kebersamaan dengan kalian kembali bisa aku rasakan walaupun sudah tak sesering dahulu. Pada bab terakhir buku Pakelonan adalah bab yang paling aku sukai karena pada bab tersebut ada sebuah kejujuran dari kalian. Pun tak jarang sebuah senyum kecil terukir di sudut bibir ketika membaca bab tersebut.

Senang ketika Tuhan mengizinkanku mengenal kalian dan pada akhirnya ada sebuah masa yang harus kita jalani. Masa di rumah merah jambu sudah berlalu dan berganti dengan masa yang lain. Buku Pakelonan ini semoga bisa sedikit menjadi pengobat rindu akan kisah masa lalu ketika rasa itu datang tiba-tiba. Terima kasih sudah berkata jujur di buku Pakelonan.


Jumpa malam ini memang begitu sederhana, hanya ditemani secangkir kopi dan juga memori akan kisah yang telah lalu. Tetapi, senang rasanya masih bisa berjumpa dengan kalian dan bisa mempertemukan buku Pakelonan dengan para karakternya. Sekali lagi senang bahwa Tuhan mengizinkanku mengenal kalian. Terima kasih dan semoga masih bisa dipertemukan kembali.

Post a Comment

0 Comments