Tentang Pesan "Indonesia Merdeka"

"Ingatan saya tentang Johar berkisar antara tiga hal ini: ibu, buah, dan buku. Saya ke Johar memang hanya untuk urusan yang berkaitan dengan itu; menemani ibu belanja buah dan kadang-kadang mencari buku. Ketika saya mendengar Pasar Johar terbakar, saya sedih bukan karena kehilangan sebuah karya arsitektur yang spektakuler, tapi karena Pasar Johar adalah sumber dari salah satu ingatan masa kecil saya". ~ Anastasia Dwirahmi.


Tahun 2015 pasar Johar terbakar hebat, kini satu tahun sudah berlalu semenjak kebarakan hebat itu. Pilar-pilar cendawan yang tergores api kini menunggu sebuah kepastian tentang dirinya. Apakah ini akhir dari Mushroom Konstruktie ataukah ia akan terpoles lagi agar kecantikannya tetap abadi. Aku tak tahu! Tapi harapku adalah pilar-pilar cendawan penopang pasar Johar bisa tetap berdiri dengan gagah.

"Indonesia Bersatoelah, Indonesia Bermoelialah" adalah pesan di detik terakhir dari H.T. Karsten, kemudian dengan tajuk yang sama dibuatlah gagasan ide yang dituangkan dalam balutan pameran. Pameran mengenai hidup dan karya dari salah satu seorang arsitektur terhebat yang pernah dimiliki Hindia Belanda. Pameran yang sudah berlangsung sejak 19 November 2016 ini mengajak kita untuk mengenal lebih dekat dari seorang Blijver. Siapakah dia, bagaimana ia bisa sampai di Hindia Belanda, hingga ia menemukan cintanya di tanah kolonial ini. Pameran ini masih akan berlangsung hingga tanggal 17 Desember 2016 bertempat di Semarang Contemporary Art Gallery.


Herman Thomas Karsten lahir di Amsterdam pada tanggal 22 April 1884. Ia menempuh pendidikan arsitektur di Technische Hoogesschool di Delft dan lulus pada tahun 1909. Selama menuntut ilmu di Technische Hoogesschool ia juga aktif dalam perkumpulan-perkumpulan mahasiswa yang progresif dan menjunjung tinggi paham sosial-demokratis.
Modernitas di "Benua Biru" terutama di kota Berlin, Jerman membuat Karsten tertarik pada kota ini. Pada waktu itu Berlin merupakan pusat dari gerakan seni dan budaya yang cukup berpengaruh di Eropa. Ia sangat kagum dengan detail pada bangunan-bangunan modern di Berlin. Ia pun semakin yakin bahwa seni ---terutama arsitektur, memegang peranan penting dalam menciptakan masayarakat kota yang lebih modern.
Awal abad ke-20, tepatnya tahun 1914 Herman Thomas Karsten tiba di Semarang setelah mendapat undangan dari sesama alumni Delft yaitu Henri Maclaine-Pont. Semarang awal abad 20 sedang berada di puncak kejayaannya. Kota ini menjelma menjadi kota perdagangan dan industri yang besar. Termasuk menjelma sebagai kota pelabuhan yang begitu progresif.

Semarang di masa itu adalah kota yang unik. Dibandingkan kota-kota lain, para pejabat di Semarang mempunyai wawasan yang luas. Selain itu terdapat komunitas Tionghoa peranakan yang sangat kaya dan berpengaruh serta kelas menengah pribumi berpendidikan Barat yang aktif. Di sisi lain terdapat masyarakat Indo dan Jawa kelas bawah yang miskin. (Tjahjono Rahardjo, 2011. Javaanse Schouwburg Sobokarti dan Visi Indonesia Merdeka.)



Di lantai satu ruang pameran, salah satu yang langsung menyita perhatian adalah replika dari Mushroom Konstruktie atau biasa disebut dengan pilar cendawan. Keberadaan pilar cendawan ini memang tak bisa lepas dari seorang Karsten karena ialah yang membawa jenis konstruksi ini ke Indonesia untuk pertama kali. Pelopor Mushroom Konstruktie ini sejatinya adalah arsitek kebangsaan Swiss yaitu Robert Maillart.
Kemudian ketika kita satu persatu menyusuri ruang pameran di lantai satu kita akan dibawa ke masa dimana Karsten masih di Eropa dan bertemu dengan orang-orang yang mempengaruhi dalam kehidupannya. "Mereka yang Mengenal Karsten" tersaji runtut di sini. Salah satu yang menarik perhatianku adalah hubungan Karsten dengan "Mooi Sos" dan juga dengan Mangkunagara VII.
"...setiap ornamen ---seperti pendapa, memang seharusnya memilki makna dan Sang Pangeran tidak perlu takut terhadap hal-hal yang misterius."
Di sini pula terpampang mengenai lini masa Karsten dari lahir hingga akhir hayatnya di Cimahi. Di galeri lantai satu kita juga akan dibawa ketika pasar Johar terbakar. Foto sisa-sisa puing pasar sungguh menyayat, seolah ingin mengatakan betapa hancurnya pasar Johar dan perlu uluran semua tangan agar pasar Johar bisa kembali lagi.
Karsten dan Pasar memang tak bisa dipisahkan. Pasar di tanah Hindia Belanda sendiri memiliki peranan yang cukup vital. Semua kebutuhan sehari-hari ada di pasar dan pasar adalah pusat konsentrasi dari kebutuhan pokok. Karsten sendiri juga ikut berperan dalam proyek penataan pasar oleh pemerintah kota Semarang.
Karya Karsten berupa pasar tidak hanya tersebar di Semarang tapi juga di kota lainnya sepeti Pasar Gede Hardjonagara di Solo yang dibangun tahun 1929.



Beranjak ke lantai dua kita akan diajak jauh lebih mengenal seorang Karsten. Di ujung tangga lantai dua kita sudah disuguhi tentang dokumenter sebaran karya Karsten bertajuk "Karsten Bukan Hanya Milik Semarang". Di sini kita mulai diperkenalkan mengenai kehidupan Sang Blijver di Hindia Belanda. Di tanah kolonial ini ia bertemu dan menikah dengan Soembinah di tahun 1921. Soembinah sendiri adalah anak dari Mangunrejo, lurah di Dieng dan Antje Wieland, putri dari tentara Swiss bernama Heinrich Wieland.
Meski Soembinah ini bisa dibilang seorang "Nyai"[1], tapi ia bukanlah seorang Nyai tapi istri dari Karsten dan mendampinginya di depan umum. Karsten dan Soembinah dikaruniai empat orang anak. Salah satu yang unik dari keluarga Karsten adalah walaupun sang istri, Soembinah telah belajar kebudayaan Eropa namun dirumah mereka masih terdapat gamelan yang sering dimainkan. Soembinah juga memperhatikan weton dan juga mengadakan slametan. Soembinah adalah sumber inspirasi Karsten.

Salah satu yang menarik perhatianku di lantai dua adalah tentang Karsten dan Budaya Jawa. Bagiku sosok Karsten memang idealis tapi ia tidak semena-mena menerapkan arsitektur gaya Eropa untuk diterapkan di Hindia Belanda. Ia lebih suka jika "Barat" dan "Timur" bisa saling padu.
Kecintaan akan budaya Jawa membawa ia bertemu dengan Mangkunegara VII dimana ia sendiri dipercaya oleh Mangkunagara VII untuk merenovasi keraton. Salah satu hasilnya bisa dilihat di hiasan Pendopo Ageng Istana Mangkunegaran. Hiasan berupa delapan simbol warni-warni dan rasi bintang yang terletak di langit-langit pendopo.



Hasil karya pemikiran Karsten dalam hal budaya Jawa juga terlihat di gedung Sobokarti, Semarang (1931) dan Museum Sonobudaya, Yogyakarta (1935). Nilai-nilai Jawa sangat tampak dalam kedua bangunan itu. Menilik jauh sebelum gedung Sobokarti dibangun, Karsten sudah memiliki konsep Javaanse Schouwburg. Konsep gedung teater Jawa ini mendasarkan pada pendapa, mengingat fungsi pendapa bagi orang Jawa cukup vital. Yang menarik dari konsep Javaanse Schouwburg adalah tidak adanya diskriminasi; bahwa semua penonton, terlepas apapun kelasnya, harus bisa menikmati pertunjukan yang nyaman. Gagasan tentang Javaanse Schouwburg untuk acuan pembangunan gedung teater di Jawa ini ia sampaikan pada Mangkunegaran VII melalui sebuah surat tertanggal 09 Mei 1919.
"Naar aanleiding van ---overigens mislukte--- besprekingen alhier over een Europeesche schouwburg, ben ik op de gedact gekomen hoe men een Javaanse schouwburg zou bouwen: een ruimte waar de Javaan, op de wijze die hem aangenaam is, waar een Javaanse volkmassa gamelan kan horen en wajang kan zien, beschut gezeten, goed ziende, met een 'toneel' niet op Europesen voet maar Javaanse trant. De pendopo zou ons zo'n bouw het uitgangspunt moeten zijn, en ik heb op die basis schetsen gemaakt waar van ik hoop dat ik zie bij gelegenhied ook met U zal graag kunnen bespreken[2].
Namun dalam perjalanannya konsep rancangan Javaanse Schouwburg tidaklah berjalan mulus. Satu-satunya gedung yang memakai konsep ini adalah gedung pertunjukan Sobokarti di Semarang meski secara ukuran dan desain berbeda dari rancangan awal. Hal ini dimungkinkan karena keterbatasan dana. Namun secara konsep masih sama.


Maket Gedung Sobokarti dengan Skala 1:40

Karya Karsten tidaklah hanya di Semarang, banyak karyanya tersebar di beberapa kota seperti Solo, Malang, Bandung, dan Palembang. Karsten bukanlah seorang arsitek yang hanya membangun fisik melainkan juga membangun masyarakat. Ketertarikan dan keterlibatannya dalam banyak aspek kehidupan masyarakat di Hindia Belanda membuatnya disebut sebagai "Blijver" yang berarti penetap.
Perihal menata kota jangan ditanya lagi, visioner seorang Karsten tidak perlu diragukan. Konsep tata kotanya mengenai Kota dan Kampung, Perumahan Rakyat, Kampong Verbetering[3], sampai rencana jalan yang memakai sistem transportasi darat berupa trem dan pentingnya menghitung lebar badan jalan, sudah matang dipikirkan. Bagaimana suatu kota haruslah dipisah, memiliki kawasan-kawasan khusus dan tidak disatukan dengan kawasan lain pun sudah dipikirkannya.


Kecintaannya akan Indonesia tak perlu diragukan lagi meski gagasan Karsten mengenai fusi politik, budaya, dan sosial tidak memiliki tempat dalam "Indonesia Merdeka" tapi secara tersirat ia punya visi tentang "Indonesia Merdeka". Karya Karsten bukan hanya sekedar teknik maupun langgam saja tapi lebih dari itu. Karyanya adalah penanda jaman, pengingat perjalanan bangsa ini.
Menurut Simon, salah satu dari empat buah cinta Karsten dan Soembinah, untuk memahami pemikiran dan gagasan-gagasan Thomas Karsten ada dua hal yang harus diperhatikan; kecintaannya pada Soembinah dan kecintaannya pada tanah air keduanya, Indonesia.
Akhir hidup Sang Blijver terkurung dalam penahanan pendudukan Jepang. Ia ditangkap oleh Jepang di tahun 1942 dan dikirim ke Kamp Inteniran Baros, Cimahi. Menjelang akhir hayatnya pada tanggal 21 April 1945, sesaat sebelum hembusan nafas terakhir ia masih memikirkan tentang Indonesia. Kepada dokternya yang juga tahanan Jepang, ia meminta bantuan untuk mencatat kata-kata terakhirnya ke dalam buku hariannya. Kata-kata terakhir tentang sebuah pesan; "Indonesia Bersatoelah, Indonesia Bermoelialah".


Mari mengenal lebih dekat sosok Karsten dalam pameran Karya dan Hidup Herman Thomas Karsten. Masih banyak hal yang menarik tentang Herman Thomas Karsten di pameran ini. Pameran ini berakhir pada 17 Desember 2016.
Berlokasi di Semarang Contemporary Art Gallery, Jl. Taman Srigunting No. 5-6.



Referensi/sumber pendukung:
* Katalog Karsten tentang "Indonesia Bersatoelah Indonesia Bermoelialah".
* Tjahjono Rahardjo, 2011. "Javaanse Schouwburg Sobokarti dan Visi Indonesia Merdeka".



[1] Gundik, selir, atau bisa disebut istri simpanan.
[2] Menyusul pembicaraan ---meskipun gagal--- tentang suatu teater Eropa, saya sampai pada pemikiran bagaimana suatu teater Jawa akan dibangun: ruang yang nyaman bagi sekelompok orang-orang Jawa, tempat mereka dapat mendengarkan gamelan dan menonton wayang, duduk terlindung dan bisa melihat dengan jelas, bukan dengan panggung Eropa tapi panggung bergaya Jawa. Pendhapa akan menjadi titik awal bangunan semacam itu, dan berdasarkan pemikiran itu saya telah membuat beberapa sketsa, yang sangat saya harap pada saatnya bisa saya diskusikan dengan Anda.
[3] Program perbaikan kampung.

Post a Comment

0 Comments