Merenda Ruang Kosong Kota Lama

Mendengar kata Semarang tak jarang yang terlintas dalam pikiran adalah Kota Lama. Tak bisa dipungkiri bila Kota Lama sangat lekat dengan Semarang dan mungkin nama Pandan Arang kalah tersohor dibandingkan dengan bekas Kota Benteng milik Belanda dahulu. Bila keberadaan kampung-kota di Semarang kian hari kian terancam keberadaannya, hal itu sedikit tak berlaku bagi Kota Lama. Ia mungkin terjaga perihal keberlangsungannya namun soal apakah ia masih sanggup tegak berdiri ataukah tidak masih menjadi dilema tersendiri bagi Kota Lama.

Kesepakatan yang dilakukan oleh Amangkurat II dan VOC membuat daerah di pesisir utara Jawa itu dikuasi oleh VOC. Hal inilah yang menjadi titik awal perkembangan Kota Lama setelah Semarang jatuh ke tangan Belanda. Tepatnya setelah pemberontakan Trunojoyo terhadap Mataram mampu ditumpaskan dengan bantuan VOC.

Gambang Semarang melantun begitu syahdu di stasiun peninggalan kolonial Belanda. Entahlah, alunan Gambang Semarang dan Stasiun Tawang selalu saja bisa memutar kenangan di relung hati yang sengaja untuk dikosongkan. Ah, barangkali memang begini setiap berkunjung ke Semarang. Ada ruang kosong yang mencoba untuk terisi kembali.

Pagi di Semarang tak begitu berbeda dengan pagi di kota-kota besar lainnya. Terlebih lagi untuk kota yang menyangdang status sebagai ibukota suatu provinsi. Hiruk pikuk aktivitas sudah memenuhi Semarang sedari pagi. Lalu lalang kendaraan bermotor menjadi penghias jalanan kota Semarang. Setelah bertemu dengan harta karun di tengah hutan beton Semarang, ada hasrat untuk berkunjung ke Kota Lama.


Perkembangan Kota Lama Semarang diawali ketika Semarang sudah berada di bawah kekuasaan VOC secara penuh, yaitu pada tahun 1705. Lazimnya daerah yang berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda, kehadiran benteng adalah penting karena menjadi basis pertahanan dan militer. Kota Lama pernah memiliki benteng yang digunakan sebagai pusat militer setelah dikuasai penuh. Benteng berbentuk segi lima dan terletak di sebelah barat Kota Lama. Benteng ini dikenal dengan nama Benteng Vijfhoek.
Benteng Vijfhoek hanya memiliki satu gerbang di sisi selatannya. Dilengkapi dengan lima menara pengawas. Masing-masing menara pengawas diberi nama: Zeeland, Amsterdam, Utrecht, Raamsdonk, dan Bunschoten.
Ketika Kota Lama kian berkembang, di sebelah timur Benteng Vijfhoek mulai tumbuh pemukiman, gereja, dan termasuk juga perkantoran yang hingga sekarang masih bisa kita nikmati ketika berkunjung ke Kota Lama. Direncanakannya Kota Lama sebagai pusat dari pemerintahan kolonial Belanda membuat daerah Kota Lama kian rawan terhadap pemberontakan dan menjadikan keadaan tidak aman. Oleh karena itu dibangunnya sebuah benteng baru yang mengelilingi seluruh kawasan Kota Lama. Namun benteng yang melindungi kawasan Kota Lama itu dibongkar seiring berjalannya waktu.



Ia yang beruntung.

Orang-orang memenuhi kawasan Parade Plein atau yang sekarang lebih dikenal dengan Taman Sri Gunting. Taman Sri Gunting merupakan titik favorit bagi pengunjung Kota Lama. Ramainya Sri Gunting sangat bertolak belakang dengan ruang-ruang kosong yang menghiasi kawasan Kota Lama. Ruang-ruang kosong yang terus mencoba bertahan di usianya yang sudah begitu renta.

Beranjak dari Parade Plein, aku dan seorang kawan yang aku kenal lewat sebuah komunitas menuju arah utara dari taman Sri Gunting. Tak jauh dari taman Sri Gunting terdapat bekas gedung De Indische Lloyd yang merupakan perusahaan asuransi pertama di Indonesia. Gedung ini sekarang digunakan sebagai galeri seni bernama Semarang Contemporary Art Gallery. Di tempat inilah aku mengenal lebih dekat seorang H.T. Karsten yang merupakan seorang arsitek kenamaan di tanah Hindia Belanda dalam sebuah pameran bertajuk Indonesia Bersatoelah, Indonesia Bermoelialah.
Pameran Hidup dan Karya Thomas Karsten.
Tentang Pesan "Indonesia Merdeka".
Selepas dari De Indische Lloyd perjalanan kami lanjutkan menuju arah selatan. Sangat begitu terasa ketika sudah menyebrang ke sisi selatan dari Jalan Raya Pos Daendels. Banyak bangunan dari peninggalan kolonial Belanda itu mencoba bertahan dari kerapuhan. Beberapa sudah beruntung karena diperbaiki, tetapi tak sedikit yang hanya menunggu untuk mati.



Panasnya kota Semarang tak menghentikan kami menikmati sisi lain dari Kota Lama. Ia tak hanya berputar pada Gereja Blenduk, Spiegel, ataupun gedung Marba saja, tetapi juga menyimpan sisi lain tak kalah menarik untuk dinikmati. Aku dan kawanku yang biasa aku panggil Mas Ang, berhenti di salah satu bangunan. Bangunan itu mempunyai hiasan kaca patri yang bertuliskan Semarang dan Soerabaja. Ah, ada cerita menarik ketika Mas Ang yang biasanya pendiam mendadak menjadi sedikit banyak bicara. Barangkali biarkan itu menjadi cerita dari Mas Ang yang ia ucapkan lirih kepadaku sembari menunjuk pada hiasan kaca patri yang bertuliskan Semarang dan Soerabaja. Tentang ruang kosong dalam hati yang mencoba untuk terisi kembali.

Meninggalkan Semarang dan Soerabaja, tanpa terasa kami sudah berada di Jembatan Berok. Jembatan yang dahulunya adalah pintu gerbang barat untuk memasuki kawasan Kota Lama. Di salah satu jalan yang juga merupakan akses untuk menuju Kota Lama ada yang ditutup karena salah satu dinding bangunannya roboh. Ya, ini adalah sebuah bukti bila ruang-ruang kosong di Kota Lama perlu untuk diisi kembali!


Ketika Kota Lama Semarang mencanangkan diri sebagai World Heritage, sudah selayaknya bila ia dirawat dengan baik. Membiarkannya hidup segan matipun enggan, membuat Kota Lama akan terus mengalami sebuah dilema diri. Gaung akan julukan Little Netherland tak akan ada artinya bila bangunan-bangunan peninggalan kolonial Belanda itu tak dirawat dengan baik. Terlebih lagi ruang-ruang kosong yang terabaikan begitu saja. Di usianya yang sudah begitu senja, Kota Lama terus menghadapi sebuah dilema. Menunggu untuk bisa bertahan atau terpaksa memilih untuk mati terdiam.


Beberapa dokumentasi lainnya:








Referensi/sumber pendukung:
* Purwanto, L.M.F. 2005. KOTA KOLONIAL LAMA SEMARANG. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur. Volume 33 Nomor 1.
* Adji Murtomo, B. 2008. ARSITEKTUR KOLONIAL KOTA LAMA SEMARANG. Jurnal Ilmiah Perencanaan Kota dan Permukiman. Enclousure. Volume 2 Nomor 2.

Post a Comment

2 Comments

  1. Ruang kosong ki artine jomblo?😒

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wkwkwk, iya jomblo yang bicara soal jodoh karena kaca patri! 😄

      Delete