Harmoni Lodji Wetan dalam Kenangan

Loji engkang wonten wetan benteng ini dahulunya adalah kawasan khusus bagi Toean dan Nyonya kulit putih. Namun sekarang rumah-rumah dari Toean dan Nyonya itu bisa dihitung dengan jari. Perubahan jaman mengikis sedikit demi sedikit keberadaan Lodji di kota Solo. Kini rumah-rumah dari Toean dan Nyonya yang tersisa masih tegak berdiri. Ada yang menjadi saksi betapa dahsyatnya banjir yang menenggelamkan kota Solo di tahun 1966 dulu. Godaan modernitas terus saja membayang, apakah rumah-rumah tua dari Toean dan Nyonya itu akan tetap bertahan, aku tak tahu! Harapku tentunya rumah-rumah itu akan terus tegak berdiri dan menjadi bukti tentang sebuah perjalanan sejarah kota Solo.


Kecemasan akan hilangnya Kota Lama Solo di kawasan Lodji Wetan menggugah para pegiat sejarah di kota Solo untuk terus memperjuangkan keberadaan Kota Lama di Solo. Lodjie Wetan in Memory of the Societeit Harmonie adalah sebuah pesan kecemasan yang disampaikan melalui sebuah pameran foto. Pameran foto yang sekaligus digunakan sebagai pendekatan bagi masyarakat terutama pemilik rumah-rumah tua di kota Solo khususnya lagi di Lodji Wetan agar tidak melenyapkan rumah-rumah yang memiliki nilai sejarah begitu saja. Pameran yang sudah berlangsung pada tanggal 20-21 Mei 2017 ini diadakan oleh komunitas Soeracarta Heritage Society. Bertempat di Gereja Pantekosta, pameran ini mengajak untuk kembali menikmati suasana Kota Lama Solo dalam hitam putih.
Lodjie pada mulanya adalah tempat tinggal para pejabat dan elite kerajaan di mata masyarakat kaula Hindia Belanda. Di sela-sela tugas yang harus dijalankan, masyarakat kolonial sangat kental dengan hiburan seperti minum-minuman keras, dansa, bermain bilyard, dan juga judi. Hiburan-hiburan ini sangat bertolak belakang dengan budaya Jawa. Sehingga masayarakat Jawa menganggap rumah-rumah besar milik Belanda itu dengan sebutan Omah Setan.


Sapa ramah Mas Fendy menyambutku ketika baru saja sampai di gereja Pantekosta. Suasana tentang Kota Lama sudah aku rasakan dari gereja ini. Sebuah tangga kayu mengantarkanku ke lantai dua gereja. Di lantai dua gereja inilah pameran foto berlangsung. Lantai yang terbuat dari kayu menopang dengan kokoh para pengunjung yang datang meski usianya sudah begitu renta. Deretan foto-foto mengenai Lodji Wetan semasa dahulu tersaji rapi. Aku hanya bisa terdiam, berdecak kagum dengan foto-foto yang ditampilkan. Ah, alangkah syahdunya jika bangunan-bangunan lama itu masih berdiri hingga sekarang.

Lantunan lagu lawas berbahasa Belanda mengiringi langkahku menyusuri setiap jengkal di ruang pameran ini. Hitam putih foto Lodji Wetan masa kolonial berhasil membiusku. Tak hanya aku yang terbius dengan foto-foto Lodji Wetan di masa kolonial tetapi juga dengan para pengunjung lainnya. Mas Fendy pun dengan ramah menjelaskan foto-foto yang berjejer rapi di dinding lantai dua gereja Pantekosta.




Residentiehuis te Soerakarta, circa 1915

Lodji Wetan memiliki keunikan selain sebagai tempat tinggal yang masih mengindikasikan sebagai rumah lodji tetapi juga terdapat Societeit Harmonie atau gedung hiburan bagi masyarakat Eropa di Lodji Wetan. Keberadaan gedung hiburan bagi masyarakat Eropa tidak bisa dikesampingkan. Bagi mereka, hiburan menjadi suatu bagian penting dalam keseharian. Maka tidak heran jika orang-orang Eropa selalu meluangkan waktunya untuk menghibur diri baik dengan bernyanyi, menari, menenggak wine, ataupun menonton film di bioskop.

Di kota Solo sendiri terdapat beberapa societeit (soos) antara lain Societeit Harmonie, Societeit Abripaya, dan Societeit Sasana Soeka. Di dalam perkembangannya tingkah laku orang-orang Eropa ini perlahan diikuti juga oleh para masyarakat pribumi. Penjiplakkan gaya hidup oleh masyarakat pribumi membuat pemerintah kolonial menerapkan sebuah kebijakan yaitu melarang masyarakat pribumi meniru gaya orang-orang Eropa. Di sisi lain mayarakat pribumi mendirikan soos Abripaya dengan konsep hiburan tradisional. Soos Abripaya ini juga digunakan untuk tempat berkumpulnya para priyayi Kasunanan untuk menghabiskan waktu luang dengan menikmati wayang orang dan alunan musik gamelan.


Societeit te Soerakarta, circa 1900 (Societeit Harmonie Soerakarta)


Schouwburg Solo, 1906-1921 (kanan)

Lantunan lagu berbahasa Belanda dari Tante Lien masih saja menggema di lantai dua gereja Pantekosta. Di salah satu sudut ruangan terpampang sebuah foto. Foto mengenai orang-orang yang berjajar rapi di depan sebuah gedung. Orang-orang di dalam foto itu adalah mereka yang tergabung untuk menangani wabah penyakit Pes yang dibawa oleh tikus. Wabah Pes ini menular melalui aliran sanitasi yang buruk dan banyaknya tikus mati di lumbung beras yang berada di sekitar kawasan stasiun Jebres. Virus itu muncul karena membusuknya bangkai tikus yang mati di dalam tumpukan beras. Virus Pes pada masa itu merupakan wabah penyakit yang berbahaya dan dikenal dengan nama "Pagi Sakit Sore Mati" atau "Sore Sakit Pagi Mati".

Wabah Pes yang kian meluas membuat SISKS Paku Buwana X mengambil kebijakan tentang penanganan penularan Pes agar tidak menular lebih luas, akhirnya didirikanlah beberapa klinik di Surakarta dan salah satunya adalah yang sekarang menjadi Gereja Pantekosta.
Gereja Pantekosta Lodji Wetan menurut catatan sejarah berupa beberapa foto sejaman dan beberapa referensi tertulis, dapat ditarik kesimpulan bahwa gereja Pantekosta yang berada di kampung Ladji Wetan tidak berada di lokasi saat ini. Gereja yang saat ini digunakan sebagai gereja, awalnya adalah gedung kantor yang menangani wabah penyakit Pes di Solo.


Personeel van de Pestbestrijding Februari 1929 te Solo
Fotograp by G.M. Versteeg source museum Valkenkunde

Suara langkah kaki yang bersentuhan dengan lantai kayu selalu lirih terdengar setiap kali melangkah. Langkah ini terhenti ketika melihat foto berupa denah benteng Vastenburg. Benteng yang kini hanya tersisa temboknya saja. Keberadaan benteng Vastenburg ini juga tidak bisa lepas jika berbicara mengenai Kota Lama di Solo. Benteng yang menurut sebuah penelitan terbaru adalah benteng Belanda ketiga yang pernah berdiri di kota Solo. Benteng pertama adalah sebuah benteng yang diceritakan oleh D'Almeida dan dibangun pada tahun 1672 jauh sebelum prosesi Boyong Kedhaton.
Benteng yang dibangun tahun 1672 itu berhadapan dengan kawasan hunian Eropa menghadap ke timur mengarah ke sungai Bengawan. Cota Blunda yang dimaksud oleh D'Almeida di sini adalah kata kota Belanda atau kawasan pemukiman Eropa yang bisa diinterpretasikan bukan hanya pada Lodji Wetan melainkan bisa merupakan kawasan Kedung Lumbu, Pasar Kliwon.
Benteng kedua adalah sebuah benteng yang dikenal dengan nama De Grootmoedigheid yang diperkirakan dibangun pada tahun 1743. Dan yang terakhir adalah benteng Vastenburg.


Ketika sedang asik mengamati foto di salah satu sudut ruangan, Mas Fendy datang dan sedikit menjelaskan mengenai foto tersebut. Begitu banyak hal yang bisa aku ketahui dari penuturan Mas Fendy. Salah satunya adalah tentang banjir besar tahun 1966 yang menenggelamkan kota Solo dan bukti-bukti banjir 1966 yang masih tersisa. Banjir besar pernah menenggelamkan kota Solo sebanyak dua kali, selain tahun 1966, sebuah banjir besar terjadi di tahun 1861. Hal ini dapat dilihat dari plakat prasasti yang tertempel di dinding benteng Vastenburg tepatnya berada di sisi selatan pintu masuk benteng sisi barat.

"Hoogste Waterstand op den 24 February 1861."

Prasasti yang hampir dua meter dari tanah itu menjadi saksi bahwa kota Solo pernah mengalami banjir besar sebelumnya selain banjir-banjir kecil lainnya. Namun sayang foto banjir tahun 1861 itu tidak berhasil dipamerkan dalam Lodjie Wetan in Memory of the Societeit Harmony.




Alunan lagu lawas masih saja menggema di lantai dua gereja Pantekosta. Berakhirnya perbincanganku dengan Mas Fendy mengenai banjir tahun 1861 juga mengakhiri perjalananku dalam hitam putih Kota Lama Solo. Lodji Wetan akan selalu ada dalam ingatan kota Solo mengenai suatu identitas Kota Lama yang pernah ada. Tentang Cota Blunda di Kota Budaya.


Dokumentasi lainnya:


Salah satu rumah lama di Lodji Wetan





Rumah lama di dekat Gereja Pantekosta

Mari tetap menjaga bangunan cagar budaya agar tidak hilang ditelan jaman. Menjaga bangunan-bangunan bersejarah supaya tidak menjadi cerita sejarah saja tetapi ada sebuah bukti yang mampu untuk diceritakan kembali.


Sumber/referensi pendukung:
* Bimo Hernowo. Studi tentang Lokasi Benteng-benteng di Surakarta (1672, 1743, 1756, 1832).


Catatan tambahan:
* Kegiatan semacam ini harusnya terus digalakkan agar masyarakat juga sadar pentingnya menjaga sejarah. Dan tentunya harus ada dukungan dari semua pihak agar sejarah suatu daerah tidak dihilangkan begitu saja.

Post a Comment

4 Comments

  1. Banjir sing diceritake turis ning benteng vastenburg

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ho oh mas, wingi tak konfirmasi maneh ternyata memang banjir e setinggi plakat sing neng Vastenburg

      Delete
  2. Replies
    1. Timur e Benteng Vastenburg, mas. Etan e Galabo

      Delete