Narasi Mei, Memoar Solo 1998

Ingatanku ketika luka bangsa ini terjadi tak begitu dalam. Aku tak begitu paham apa yang terjadi saat itu. Aku masih begitu kecil untuk memahami apa yang sedang didera bangsa ini. Mei 1998 dalam ingatanku ada dua hal, pertama adalah aku mempunyai seorang adik. Ia lahir di tanggal 11 Mei 1998. Kedua adalah saat kepulangan adikku dari rumah sakit Jebres yang notabene wilayah Jebres merupakan salah satu titik kerusuhan Mei terjadi. Aku tak paham mengapa begitu ramai dan asap hitam mengepul tinggi menghiasi langit kota Solo. Itulah segelintir ingatanku ketika Solo pada bulan Mei tahun 1998.



Monumen Pers Solo.

Generasi yang lahir di atas tahun 1990-an barangkali tak begitu memahami sejarah apa yang hendak ditorehkan kepada bangsa ini di tahun 1998. Ingatanku dan mungkin ingatan para generasi yang lahir di atas tahun 1990-an tak begitu mengerti betapa mencekamnya hari-hari dikejatuhan rezim Orde Baru.

Refleksi Peristiwa Mei 1998 adalah sebuah pesan yang disampaikan melalu pameran foto. Pameran foto yang mengajak semua untuk merefleksikan peristiwa Mei dan menjaga ingatan akan kerusuhan yang terjadi di bulan Mei 1998. Pameran yang sudah berlangsung sejak tanggal 11 Mei 2018 ini mengingatkan agar peristiwa Mei 1998 tidak lagi terulang. Bertempat di Monumen Pers Solo, Refleksi Peristiwa Mei 1998 karya Sunarto Haryo Bayu merangkul semua eleman masyarakat, mengingat Mei 1998 dalam bingkai sebuah karya fotografi.
Mei 1998 bangsa ini sedang bergejolak. Menuntut perubahan dan pembubaran dari suatu rezim yang sudah berkuasa lebih dari 30 tahun lamanya. Reformasi katanya! Tetapi tuntutan akan reformasi ini tak serta merta berjalan mulus. Ada korban yang berjatuhan. Tak terkecuali mereka yang tidak bisa memilih untuk dilahirkan dari etnis apa maupun untuk lahir dari keluarga siapa.



Senyum ramah dari petugas Monumen Pers menyambutku saat aku memasuki aula dari bekas gedung Sociteit Sasana Suka ini. Ia memintaku mengisi buku pengunjung terlebih dahulu sebelum menikmati pameran foto. Tak begitu banyak yang datang, maklum saja siang hari itu masih berada pada jam kerja. Selepas mengisi buku tamu lantas aku langsung menuju karya fotografi yang disajikan tak jauh dari tempat aku mengisi buku pengunjung. Entah aku harus berkata apa, aku tak tahu! Seketika melihat foto yang pertama bulu kuduk ini langsung berdiri. Betapa mencekamnya sekaligus menyayatnya kondisi bangsa ini pada Mei tahun 1998.

Sepasang pemuda-pemudi yang nampaknya juga merupakan pasangan kekasih sedang tertegun memandangi foto-foto yang disajikan. Agaknya mereka berdua sama denganku, begitu terhipnotis dengan foto-foto di ruang utama dari Monumen Pers ini. Belum ada 10 foto yang aku lihat, perasaan ini mulai campur aduk. Sedih, marah, haru, miris, entah perasaan apa lagi yang aku rasa, semuanya bercampur aduk menjadi satu.


Petugas yang sedang mengevakuasi jenazah korban Mei 1998.


Kita muslim!

Reformasi! Reformasi! Reformasi! Teriakan akan perubahan terhadap rezim yang sudah berkuasa lebih dari 30 tahun, menggema di negeri ini. Mei 1998 menandai sejarah baru bagi Indonesia. Tak pelik tragedi Mei 1998 masih menyisakan luka dan trauma. Mei 1998 tak hanya tentang berakhirnya rezim Orde Baru tetapi juga tentang kerusuhan terhadap mereka yang tidak bisa memilih untuk dilahirkan dari etnis apa maupun untuk memilih dilahirkan dari keluarga siapa.
Mereka ada yang memilih bungkam karena untuk apa mengorek luka lama. Ada pula yang memilih memaafkan tapi tidak untuk melupakan.

Kata dan perlindungan.

Langkah ini kemudian melanjutkan melihat foto-foto lainnya. Toko-toko yang dibakar, penjarahan, mobil yang dibakar, petugas yang sedang mengevakuasi jenazah, dan masih banyak lagi rentetan foto yang memilukan. Aku berhenti cukup lama di salah satu foto. Foto itu memuat gambar seorang lelaki yang mengibarkan bendera Merah Putih dari lantai dua sebuah toko. Mengisyaratkatkan bahwa aku ini Indonesia! Bukan asing!

Di salah satu sudut ruang pameran terdapat kumpulan foto Solo masa kini dan Solo sewaktu kerusuhan Mei 1998. Dan lagi-lagi aku terhipnotis oleh rentetan foto tersebut. Rupanya Solo pernah melewati masa-masa kelam. Di sudut yang lainnya tersajikan foto-foto yang terjadi di gerbang depan Universitas Sebelas Maret. Seketika aku teringat cerita dari seorang kawan yang saat peristiwa Mei pecah, dia masih berstatus sebagai seorang mahasiswa Universitas Sebelas Maret. Bagaimana kampus itu sudah dikepung oleh aparat, ketika demo berubah jadi rusuh, ketika dosen memberi izin mahasiswanya untuk berdemo padahal sedang pada jam kuliah, hingga bagaimana kode untuk berkumpul lantas berdemo, masih terekam jelas dalam ingatan ini ketika ia berkisah kepadaku.


Saya Indonesia! Bukan asing!


Aparat di depan Universitas Sebelas Maret.


Dulu dan kini.

Ketika aku sedang duduk sembari beristirahat, lamat dari kejauhan, dua pemuda berambut gondrong baru saja datang ke pameran ini. Dari cara berpakaiannya, nampaknya mereka adalah seorang mahasiswa. Mereka berdua juga sama denganku. Diam tertegun ketika melihat rentetan foto yang terpajang di ruang tengah Monumen Pers ini.

Tak lama berselang seorang lelaki tua datang. Lamat-lamat ia pandangi satu demi satu foto. Ada salah satu foto yang ia pandangi dengan seksama. Kaca mata yang tadinya berada di saku kini sudah dipakainya. Sudut matanya seolah mengisyaratkan akan memori Mei 1998. Barangkali ia sedang memutar ingatannya ketika luka bangsa ini terjadi. Aku tak berani menyapanya, hanya mengamatinya dari kejauhan. Memori 98 begitu tergambar dari ekspresi raut wajahnya.


Aparat di jalan Slamet Riyadi.


Tragedi Mei 1998 akan menjadi sejarah tersendiri bagi perjalanan Indonesia menuju reformasi yang benar-benar reformasi. Perubahan suatu rezim adalah sebuah pilihan, tetapi apakah harus ada korban yang berjatuhan? Seperti kepada mereka yang tak bisa memilih untuk lahir dari etnis apa maupun untuk memilih lahir dari keluarga siapa.

Ingatanku memang tak begitu dalam tentang Narasi Mei, Memoar Solo 98. Tetapi hati nurani ini berkata agar peristiwa pada Mei 1998 tidak perlu terjadi lagi. Tak perlu lagi kota Solo mendera luka seperti ini. Mei 1998 adalah luka bangsa yang tidak boleh dan harusnya tidak dilupakan. Luka bangsa ini sudah seharusnya menjadi pengingat agar peristiwa Mei 98 tak kembali terulang.


Pengunjung yang sedang mengamati foto Mei 1998.


Mari menjaga ingatan akan sejarah bangsa ini. Pahit ataupun manis sejarah bangsa ini adalah bekal di masa depan agar luka bangsa tidak perlu terjadi lagi.

Narasi Mei, Memoar Solo 98.



Catatan tambahan:
* Pameran Refleksi Peristiwa Mei 1998 yang seharusnya berakhir di tanggal 18 Mei 2018 diperpanjang hingga tanggal 25 Juni 2018.
* Pameran dibuka mulai pukul 08.00-20.00 WIB.
* Pameran berlokasi di Monumen Pers Solo.
* Pameran ini gratis.

Post a Comment

0 Comments