Lodjie Wetan, Risalah Kota Lama

Nyonya kulit putih berkebangsaan Belanda tengah menikmati pagi yang baru saja menyapa. Senyum merekah menyambut paginya setelah lelah bergembira menikmati hiburan di Cota Blunda. Namun ada kekhawatiran yang terukir di sudut bibirnya. Kekhawatiran tentang wabah Pes yang tengah melanda kota Solo. Di sisi seberang Tuan kulit putih yang juga datang dari Belanda tengah bersiap diri menuju sebuah rumah yang ditunjuk Sinuhun Paku Buwono X sebagai kantor penanganan wabah Pes.

Imaji itulah yang datang begitu saja ketika baru memasuki jalan Sungai Kapuas. Jalan ini merupakan salah satu akses menuju kawasan Kota Lama Solo yaitu Lodjie Wetan.


Berada dekat dengan Pasar Gede, di tepi Kali Pepe, dan berada di timur jalan Jendral Sudirman yang notabene kawasan pusat kota Solo, tak begitu saja menjadikan Lodjie Wetan kembali ramai. Hanya dua tiga kendaraan bermotor saja yang berlalu lalang di jalan Sungai Kapuas ketika aku memasuki jalan tersebut. Sangat bertolak belakang dengan jalan di depan Lodjie Wetan yang dipadati kendaraan bermotor dan tak jarang menimbulkan kemacetan. Nilai sejarah yang pernah terukir di Lodjie Wetan seakan terselimuti hingar bingarnya kawasan pusat kota Solo.
Kawasan Kota Belanda atau Cota Blunda tak hanya berada di Lodjie Wetan. Tetapi juga merujuk pada kawasan Stasiun Kota (Sangkrah) dan Kedung Lumbu. Lodjie Wetan sendiri memiliki keunikan, selain untuk tempat tinggal juga sebagai tempat hiburan. Hal ini ditandai dengan adanya Societeit Harmonie yang berguna sebagai tempat hiburan masyarakat Eropa di Lodjie Wetan.

Besi-besi tulangan untuk kolom menjulang melebihi pagar pengaman yang terbuat dari seng. Entah, apa yang akan terjadi di salah satu rumah di jalan Sungai Kapuas ini. Apakah menjadi modern atau tetap mempertahankan identitasnya, aku tak tahu! Tetapi harapku ia tak akan berubah identitasnya. Tetap merujuk pada kata Kota Lama. Di sisi lain rumah-rumah sudah mulai berganti menjadi modern dengan pagar tebal menutupi bagian depan rumah. Sesaknya modernitas di Lodjie Wetan diberi oksigen segar dengan masih berdirinya rumah-rumah lama yang menjadikan kawasan Lodjie Wetan pantas menyandang sebutan Kota Lama Solo.

Tak jauh dari rumah yang tengah bersolek diri tadi, satu demi satu rumah-rumah lama mulai menampakkan diri. Ah, sungguh aku tak bisa berkata apa-apa dengan keadaan yang seperti ini. Keadaan di mana rumah-rumah lama masih bertahan hingga sekarang. Sebuah harta karun di tengah maraknya pembangunan kota Solo.

Imajiku mulai terbang melintasi waktu, kembali ke zamam ketika Lodjie Wetan masih begitu sibuk. Nyonya dan Tuan kulit putih tengah bersorak gembira melepas kepenatan. Menghibur diri dengan bernyanyi, menonton film di gedung bioskop, menari, hingga menikmati segelas wine. Di lain pihak para priyayi juga tak mau kalah adu gengsi. Mereka juga menerapkan gaya hiburan yang meniru orang-orang Eropa. Tapi, penjiplakan ini berakibat pada munculnya aturan oleh pemerintah Belanda bahwa pribumi dilarang meniru gaya orang-orang Eropa. Bukan priyayi namanya bila kehabisan akal. Mereka menyiasati larangan itu dengan mendirikan gedung hiburan juga tetapi diisi dengan pertunjukkan wayang orang dan gamelan.



Imaji dan langkah kaki ini saling bergantian menemaniku berkeliling Lodjie Wetan. Tibalah aku di depan Gereja Pantekosta yang pada tahun lalu digunakan sebagai tempat pameran foto bertajuk Lodjie Wetan in Memory of the Societeit Harmonie. Gereja Pantekosta inilah yang dahulunya merupakan gedung kantor untuk menangani wabah Pes yang tengah melanda kota Solo.
Wabah Pes yang kain hari kian meluas melanda kota Solo membuat Sinuhun Paku Buwono X mengambil kebijakan tentang penanganan penularan penyakit Pes. Wabah Pes pada masa itu merupakan penyakit yang serius dan berbahaya. Dikenal dengan nama "Pagi Sakit Sore Mati" atau "Sore Sakit Pagi Mati". Dan akhirnya didirikanlah beberapa klinik di Surakarta alias Solo, salah satunya yang sekarang menjadi Gereja Pantekosta.

Meninggalkan gereja Pantekosta, langkah ini kembali melanjutkan menikmati kota lamanya Solo. Tak terasa aku sudah berada di ujung jalan Sungai Kapuas. Dua orang lelaki tengah asyik bercengkerama ketika aku sampai di ujung jalan ini. Barangkali mereka heran dengan tingkahku yang sibuk memotret rumah-rumah lama di sini. Hahaha.

"Dijual tanpa perantara."

Sedikit terkejut dengan adanya sebuah MMT yang terpasang di sebuah rumah yang berada di ujung timur jalan Sungai Kapuas. Semoga ia tak berganti indentitas ketika sudah terjual pada seseorang nantinya.

Beranjak pergi dari rumah yang tengah menunggu pemilik barunya itu, aku menuju jalan sempit penghubung antara jalan Sungai Kapuas dengan Sungai Barito. Di sisi barat dari jalan penghubung ini berdiri sisa-sisa yang tersisa dari Gedung Opak. Gedung Opak ini dahulunya berfungsing sebagai tempat mengontrol Kali Pepe.


Menunggu pemilik baru.


Jendela yang tersisa.

Sepanjang dari Sungai Kapuas hingga sekarang berada di Sungai Barito, tak begitu banyak kendaraan bermotor maupun orang-orang yang berlalu lalang. Bisa dihitung dengan jari siapa saja yang berlalu lalang di sini. Sungguh betapa sunyinya kawasan ini. Lodjie Wetan yang sekarang bukanlah Lodjie Wetan yang dulu. Bila dahulu disibukkan dengan hiburan-hiburan yang membuat ramai Lodjie Wetan, sekarang tak ubahnya seperti kawasan kota yang tengah tertidur nyenyak.

Ketika menghadiri pameran Lodjie Wetan in Memory of the Societeit Harmonie tahun lalu, aku mendapati kisah tentang bukti yang berhubungan dengan banjir besar tahun 1966 yang melanda kota Solo. Aku lupa di rumah yang mana, tetapi yang jelas garis bekas tingginya banjir yang melanda itu masih bisa dilihat hingga sekarang.

Langkah kaki ini kembali melanjutkan menyusuri jalan Sungai Barito. Berbeda dengan rumah-rumah lama di Sungai Kapuas yang rata-rata berlantai dua. Di Sungai Barito cenderung berlantai satu. Nampaknya aku terlampau asyik menikmati rumah-rumah lama yang berada di Sungai Barito ini, hingga tanpa tersadar aku sudah berada di ujung barat jalan Sungai Barito. Keadaan langsung begitu kontras. Lalu lalang kendaraan bermotor begitu memadati jalan di depan kawasan Lodjie wetan ini.



Meninggalakan kawasan kota lama, kini aku berada di tepi halaman belakang dari bentang Vastenburg. Lantas kemudian berjalan menyusuri ramainya Gladag Langen Bogan (Galabo). Benteng Vastenburg kini hanya menyisakan tembok tebalnya saja. Perkara isi di dalamnya tidaklah seberuntung saudara kembarnya di Yogyakarta, yaitu Benteng Vredeburg.

Berdasarkan penelitian dari Bimo Hernowo mengenai lokasi benteng-benteng di Surakarta. Vastenburg merupakan benteng ketiga yang pernah berdiri di Solo. Benteng pertama adalah sebuah benteng yang dikisahkan oleh D'Almeida yang di bangun pada tahun 1672. Benteng itu berhadapan dengan kawasan hunian Eropa yang menghadap ke timur mengarah ke Sungai Bengawan. Di sinilah tertulis Cota Blunda yang dimaksud D'Almeida sebagai kawasan pemukiman Eropa.

Benteng kedua yang pernah berdiri di Solo adalah sebuah benteng yang dikenal dengan nama De Grootmoedigheid yang kemungkinannya terletak berdekatan dengan terduga lokasi sisa-sisa benteng tahun 1672. Dan yang ketiga adalah benteng Vastenburg itu sendiri.

Agaknya aku memang begitu menikmati kota lamanya Solo. Setelah berkeliling di Lodjie Wetan, kini aku sudah berada di depan pintu masuk sebelah barat benteng Vastenburg. Sesampainya aku di sini, berakhir pula perjalanan singkat di Kota Lama Solo, Lodjie Wetan.


Lodjie Wetan merupakan sebuah bukti bahwa Solo juga mempunyai kawasan Kota Lama. Keberadaan sekaligus keberlangsungan dari Lodjie Wetan haruslah terus dijaga. Identitasnya sebagai Kota Lama jangan sampai hilang ditelan pembangunan dan perubahan zaman. Dan pada akhirnya adalah Lodjie Wetan akan selalu ada dalam ingatan kota Solo mengenai suatu identitas Kota Lama yang pernah ada. Tentang Cota Blunda di Kota Budaya.


Dokumentasi lainnya:







Sumber/referensi pendukung:
* Bimo Hernowo. Studi tentang Lokasi Benteng-benteng di Surakarta (1672, 1743, 1756, 1832).

Post a Comment

0 Comments