Sriwedari, Ruang yang Hilang

Hampir 12 dekade sudah Sriwedari berdiri mengisi memori ingatan masyarakat Solo dari generasi ke generasi. Ingatan kolektif masyarakat Solo terhadap Sriwedari mengerucut pada dua hal yaitu tempat hiburan dan ruang berkesenian. Sejak awal pembangunannya, Sriwedari memanglah ditujukan untuk kedua hal itu. Sang Raja Besar dari Kasunanan meresmikan Sriwedari menggunakan sengkalan "Luwih Katon Esthining Wong". Hal ini seharusnya sudah menjadi penanda sekaligus pengingat bahwa Sriwedari tercipta untuk tempat hiburan dan ruang berkesenian.

Sriwedari alias Kebon Rojo (Bonrojo) sejak awal kemunculannya di daerah Talang Wangi sudah menarik perhatian banyak orang. Yasaharjana pada tahun 1926 dalam Babad Taman Sriwedari menuturkan bagaimana Sriwedari menjadi primadona masyarakat Solo. Menawi malem Jumuwah sarta malem Ngahad mawi tetingalan gambar sorot, ringgi tiyang, mekaten malih menawi Ngahad siyang ringgit tiyang inggih main. Ingkang dhateng ningali boten ngemungaken bangsa Jawi kemawon, bangsa Cina, Koja, Jepan, Kaji Arab, Wlanda punapadene bangsa sabrang sanesipun.

Tak sampai di situ saja kemahsyuran Sriwedari bergaung. Dalam novel Student Hidjo, Mas Marco Kartodikromo menggambarkan bagaimana riuhnya Sriwedari. Dikisahkan awan-awan bersinar terang hingga membuat masyarakat Solo amat bahagia. Terlebih pada malam harinya di Sriwedari akan ada keramaian. Di Solo, bila sudah masuk tanggal 25 pada bulan Poso (puasa), pihak Kerajaan Kasunanan akan menyelenggarakan keramaian yang berpusat di Sriwedari. Sudah barang tentu, di jalan-jalan banyak orang yang berpakaian bagus-bagus akan datang ke Sriwedari. Ketika bom pertama berbunyi, tandanya pada malam harinya di Sriwedari akan ada keramaian. Orang-orang di dalam kota yang mendengar suara bom itu bersorak kegirangan. Sebab mereka akan bisa melihat keramaian di Sriwedari.

Mahsyurnya Sriwedari membuat Raja Chulalongkorn dari Tanah Siam bergidik untuk menyambangi Sriwedari. Kunjungannya ke Hindia Belanda lantas berkunjung ke Solo tak lengkap apabila belum menyambangi Sriwedari. Bonrojo menancapkan gengsinya ketika dipilih sebagai tempat untuk merayakan kelahiran putri agung dari Belanda yang baru saja mbrojol. Bertajuk Oranje Passarmalem, Sriwedari menjadi pusat perhatian. Orang-orang dari berbagai bangsa berbondong-bondong datang meramaikan Sriwedari. Terlebih lagi ketika Sriwedari dibuka gratis satu hari satu malam dalam menyambut mbrojol-nya putri agung dari Belanda itu. Ah, sungguh mahsyurnya Sriwedari pada waktu itu dan menjadi buah bibir banyak orang.


Akhir dari taman visioner buatan Paku Buwono X?

Dilema

Keramaian akan Sriwedari kini kembali hadir. Namun bukan lagi perkara orang-orang riang kegirangan untuk menikmati keramaian Sriwedari, melainkan keramaian yang timbul karena sebuah janji politik orang nomor satu di kota Solo. Janji politik yang mengancam keberadaan sekaligus keberlangsungan Sriwedari.

Keberlangsungan Sriwedari sebagai tempat hiburan dan ruang berkesenian mengalami dilema tersendiri saat ini. Rencana pembangunan masjid raya dari pemerintah kota Solo sedikit banyak mengancam keberadaan sekaligus keberlangsungan Sriwedari sebagai tempat hiburan dan ruang berkesenian.

Contoh sederhana dari ancaman pembangunan masjid raya adalah hilangnya ruang untuk berekspresi bagi para seniman. Kegiatan keroncong dan latihan tari-tarian yang rutin digelar di joglo Sriwedari misalnya. Memang pemerintah kota Solo menyiapkan Dalem Joyokusuman untuk pengganti joglo Sriwedari. Tetapi itu bukan perkara mudah mengingat joglo Sriwedari sudah terekam lama diingatan masyarakat Solo. Sejarahwan Solo, Heri Priyatmoko, menilai bila aksesibilitas joglo jauh lebih baik dibandingkan Dalem Joyokusuman. Seperti yang dilansir Solopos pada 20 Februari 2018, "Letaknya [joglo] di tengah kota yang telah menyatu dengan Kompleks Sriwedari. Ruang publik ini jangan dibaca secara parsial, joglo telah menyatu dengan Taman Sriwedari."

Belum lagi kegiatan seni lainnya, seperti yang dilangsungkan di halaman museum Radya Pustaka. Kegiatan-kegiatan seni inilah yang menjadikan Sriwedari istimewa sekaligus menjadi jantungnya kota Solo yang menyebut dirinya sebagai Kota Budaya. Masih ada pula Wayang Orang Sriwedari yang usianya hampir sama dengan Bonrojo. Museum Radya Pustaka, Segaran, adapula gedung bioskop yang kini hanya jadi puing-puing tak bersisa. Begitu juga dengan THR Sriwedari yang harus angkat kaki terlebih dahulu akibat pembangunan masjid raya. Dan jangan lupakan tentang memori akan gajah kesayangan Sinuhun Paku Buwono X bernama Gajah Kyai Anggoro yang begitu bisa membius anak-anak jaman dahulu untuk rewel agar diajak pergi ke Sriwedari. Terlebih lagi saat hari libur lebaran telah tiba. Bukankah suatu hal yang miris bila menyematkan slogan Kota Budaya tetapi di sisi lain menghancurkan aspek-aspek budaya yang sudah terjalin begitu lama?

Sriwedari sebagai jantungnya budaya kota Solo dan mempunyai aspek historis serta kedekatan dengan masyarakat Solo tidak muncul begitu saja. Tetapi butuh waktu yang sangat lama. Aspek kedekatan Sriwedari dengan masyarakat dalam hal budaya ini yang luput dari perhatian pemerintah kota Solo dalam "membangun kembali" Sriwedari.

Apsek lainnya yang luput dari perhatian Pemkot Solo adalah persoalan citra dari Sriwedari. Membangun sebuah citra bukan perkara yang mudah selain dana juga perlu waktu yang lama. Citra Sriwedari selama ini terbagi atas tiga bagian yaitu Gedung Wayang Orang (GWO), Stadion, dan Museum. Seperti yang diungkapkan budayawan Solo, Suprapto Suryodarmo, "Ingat Solo berarti ingat Sriwedari sebagai Kebon Raja. Di dalamnya terdapat Gedung Wayang Orang (GWO) Sriwedari, Stadion Sriwedari, dan Museum Radya Pustaka. Museum Radya Pustaka sebagai tempat olah pikir, Kebon Raja dengan GWO Sriwedari sebagai tempat olah rasa, dan stadion sebagai tempat olah raga. Ketiganya menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan". (Solopos, 6 Februari 2018).

Sedikit mundur kebelakang, pada tahun 2016 BPCB sudah melakukan kajian terhadap Bonrojo dan hasilnya merujuk untuk mengembalikan Taman Sriwedari seperti saat era Sinuhun Paku Buwono X dengan mempertahankan bangunan-bangunan lama seperti Segaran, Museum Radya Pustaka, Stadion Sriwedari, Gua Swara, dan termasuk juga tanaman-tanaman yang ada saat era PB X. Namun satu hal yang harus digaris bawahi adalah tidak adanya rekomendasi untuk membangun masjid raya! Tak salah memang tetapi kurang tepat bila masjid raya dibangun di atas lahan Sriwedari.

Kenekatan untuk membangun masjid raya di Sriwedari bukan hanya menjadi polemik dan menambah daftar panjang sengketa tanah Sriwedari. Tetapi juga membuat kekhawatiran berbagai pihak bila terjadi gesekan antar ormas yang notabene menyangkut tempat ibadah. Potensi masalah yang sudah bisa diprediksi bila masjid raya dibangun nantinya.

Pembangunan masjid raya di lahan Sriwedari sudah banyak melukai ingatan terhadap taman kebanggaan Wong Solo itu. Rasanya apa yang dialami oleh seorang pria berdarah Jawa-Belanda bernama Ruud Rden Heintchedoocth terhadap kota Solo tak perlu terulang lagi. Ruud merasa begitu banyak kehilangan memori akan kota Solo meskipun ia sendiri tidak menampik dengan adanya kemajuan zaman dan pembangunan sebuah kota. Kenangan goresan tinta emas yang ia curahkan kepada kawannya bernama Ni Ngoro yang membuat Ni Ngoro seketika jatuh hati kepadanya saat Sobo Turut Lurung di Solo, Jowo Londo di Gang Tua, tak lagi ia jumpai ketika mengunjungi kembali kota Solo. "...kenangan yang dimaksud adalah goresan tinta emas pada situasi alamiah yang tergulir masuk dalam bathinnya. Sebuah situasi yang bisa membangkitkan perasaan yang sangat menyentuh hati."

Kini, setelah hampir 12 dekade lamanya Sriwedari hadir menyapa masyarakat Solo, pun dengan narasi-narasi mahsyurnya Taman Sriwedari yang bergaung diingatan masyarakat Solo, Pemkot Solo memaksakan kehendaknya untuk membangun masjid raya di tanah Sriwedari. Nilai hiburan dan ruang berkesenian akan luntur begitu saja bila masjid raya ini nantinya berdiri megah menantang ingatan akan Sriwedari. Hal ini sama ketika Belanda merusak kosmologi poros Tugu Pemandengan-Keraton Kasunanan dengan membangun benteng Vastenburg sebagai perusak sekaligus mengubah konsep Kutha Raja menjadi Kutha Negara.

Janji politik memanglah janji yang harus dipenuhi karena itu adalah hutang yang harus dibayar. Tetapi bila masyarakatnya sendiri sudah menentang dan banyak yang tidak setuju, apakah masih harus dipaksakan? Rasanya tak adil bila memperlakukan Sriwedari dengan cara seperti itu. Narasi-narasi akan mahsyurnya Sriwedari kini hanya akan menjadi dongeng masa lalu belaka. Meninggalkan sebuah cerita di masa yang akan datang bahwa Sriwedari wis dudu kembang lambe.

Bayu Saputra. Millennial yang terperangkap di Baby Boomers, tinggal di Solo.


Catatan tambahan:
* Esai tentang Sriwedari, Ruang yang Hilang ini diterbitkan bersama 22 esai lainnya dalam buku Solo Sehalaman.
* Sangat dipersilakan bagi yang mau berbagi kritik, saran, dan masukkan untuk esai ini.

Post a Comment

0 Comments