Masa, Salam, dan Kawan

"Malam. Selamat beristirahat."

Pesan ini rutin saya kirimkan ke WAG Infras. Sesekali ada yang membalas pesan saya. Pun sesekali, tujuh hari berturut-turut, pesan saya tidak dibalas. Betul. Hanya dibaca saja oleh kawan-kawan saya semasa kuliah dahulu.

Saya ingat, WAG ini sangat ramai ketika kami masih menyandang status mahasiswa. Sudah tentu karena intensitas dan prioritas saat itu hanya kuliah. Selepas 27 September 2014, grup mulai berkurang ramainya.

Grup masih cukup ramai karena tidak sedikit yang masih bertahan di Solo. Ada yang menata fase kehidupan lainnya di Solo. Pun ada pula yang melanjutkan studinya di Solo. Waktu terus berlalu, tanpa terasa sudah bergulir hingga tahun 2016. Pada tahun ini kawan-kawan saya yang melanjutkan statusnya sebagai mahasiswa kembali menanggalkan statusnya. Benar. Kawan-kawan saya diwisuda.
Satu langkah menuju mimpi berikutnya kudoakan kau selalu
Taklukan mimpi indahmu
Selamat mengenakan toga dan piagam
Selamat kedua orang tua tersenyum bahagia
Selamat, hari ini kupanggil dirimu sarjana.

Senar Senja - Untukmu yang Baru Saja Diwisuda
Kecewa pernah mendera saya ketika memulai sebagai seorang mahasiswa. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk menyembuhkannya. Kawan-kawan yang saya kenal karena berada di program studi Infrastruktur Perkotaan, khususnya mereka yang silih berganti bertukar cerita, tawa, hingga duka di rumah merah jambu, menjadi penawar dari segala rasa kecewa yang saya dera.

Saya ingat betul bagaimana saya selalu ingin untuk menggenggam tangan mereka. Selepas 27 September, ada ego yang masih enggan untuk dilepaskan. Melepaskan mereka, bukanlah perkara yang mudah. Ketika Desember 2016 datang, saya menyadari bila semua itu ada masanya. Termasuk masa saya dengan mereka. Tangan ini kembali berjabat seperti saat pertama kali bertemu dan berkenalan. Tangan ini kembali berjabat bukan untuk mengucap sebuah nama perkenalan. Akan tetapi mengucap sebuah doa untuk mengantarkan kepergian mereka. Jejaka-jejaka Pakelonan yang begitu luar biasa.

Pada Februari 2017, jejaka Pakelonan terakhir yang melanjutkan studi akhirnya diwisuda. Tangan yang masih menggenggam satu tali ini kembali harus rela. Merelakan untuk melepaskan. Saat menghadiri wisuda dari kawan saya itu, ada rasa yang berbeda. Ego yang dulunya enggan, kini sudah terelakan. Saya sepakat dengan tulisan dari Tere Liye, bahwa memiliki dan melepaskan berasal dari mata air perasaan yang satu. Hanya berbeda tujuan alirannya. Tapi sejatinya sama. Memiliki bahkan bisa dalam bentuk melepaskan. Membiarkannya terbang bahagia. Pun melepaskan bisa selalu berarti memiliki. Memiliki kenangan terbaik.



Selepas dari Februari 2017, kota Solo kian bertambah sepi. Tawa yang menghibur saya kala duka sudah pergi. Sesap kopi sudah tidak sama lagi. Ada yang hilang dari tiap sesap kopi. Dulu saya sering mencari jawaban tentang apa yang hilang dari tiap sesap kopi. Dan akhirnya saya tahu dan paham bila yang hilang itu adalah kehadiran mereka, kawan-kawan saya yang sering berbagi tawa serta duka di rumah merah jambu.

Waktu kian bergulir, pada Maret 2018 Pakelonan pecah telur. Kawan saya yang berasal dari Kediri menuntaskan masa lajangnya. Pun setelahnya satu demi satu dari mereka mulai menuntaskan masa lajangnya. Kadang ada rasa bahagia yang dirasakan ketika orang lain sedang berbahagia. Seperti saat seorang kawan menuntaskan masa lajangnya dan memasuki fase kehidupan selanjutnya.

Seiring dengan bergulirnya waktu, percakapan di WAG Infras juga semakin sepi. Grup WAG Infras seolah menjadi WAG rumah merah jambu karena yang saling berbalas pesan dalam grup kebanyakan adalah saya dan kawan-kawan saya di Pakelonan. Percakapan dimulai ketika saya memberi salam, "Malam. Selamat beristirahat."


Dalam berjalannya waktu, selepas mereka tuntas sebagai mahasiswa, saya masih dipertemukan dengan Paduka Tikus dan Si Tupai Loncat. Mereka berdua cukup sering berbagi tawa dengan saya. Tentunya ditemani dengan secangkir kopi. Pada akhir 2018 Si Tupai Loncat memutuskan untuk kembali tanah kelahirannya, Madiun. Tepat pada Februari 2019, Tupai sudah tidak lagi berada di Solo. Ia kembali ke kampung halamannya.

Satu persatu kawan mulai menghilang. Bukan dalam konotasi yang buruk. Namun memang semua ada masanya. Dan sesuatu hal itu akan sangat terasa ketika sudah pergi atau hilang. Seperti momen ngopi bareng bersama mereka berdua.

Fase kehidupan yang seperti ini baru sering terjadi kepada saya. Satu persatu kawan mulai menghilang dan bukan dalam konotasi negatif. Akan tetapi hilang karena hidup haruslah terus berjalan dan setiap kehidupan punya masanya masing-masing. Termasuk masa kami yang berbagi tawa dan duka ditemani secangkir kopi.


Dalam beberapa hari ini saya belum lagi berkirim pesan dalam WAG Infras. Ucapan, "Malam. Selamat beristirahat," belum tersampaikan lagi. Selepas lulus hingga Si Tupai Loncat meninggalkan kota Solo, praktis hubungan dengan kawan tidak seintens dahulu. Percakapan baik di grup maupun personal semakin mahal. Bukan dalam konotasi yang buruk. Namun memang semua ada masanya. Pun ketika saling ngobrol melalui pesan, ada hal-hal yang sudah berubah. Topik obrolan hingga guyonan misalnya. Sekali lagi, bukan dalam konotasi negatif, tetapi kembali lagi bahwa semua itu ada masanya.

Dalam beberapa waktu, terkadang ada rasa sungkan sekedar bertanya perihal kabar. Sebatas berbalas sapa bertanya kabar seakan terhalang tembok besar. Mungkin hal ini dikarenakan juga dengan sifat saya yang kadang merasa sungkan. Bisa jadi pula karena kehidupan yang berbeda. Dalam artian berbeda antara yang sudah berkeluarga dan belum. Tidak ada yang salah. Karena semua ada masanya.

Akan tetapi setidaknya, banyak dari mereka yang masih beraktivitas di media sosial lewat update status. Tidak apa kalau kamu mengeluh. Pun tidak apa kalau statusmu seperti rangkaian kereta api yang panjang dan banyak nian. Mungkin di zaman sekarang, jalan tengah untuk mengetahui kabar adalah seperti ini. Lewat sebuah status.


Memang pada akhirnya semua kembali pada masa. Tentang fase kehidupan yang harus terus berjalan. Dan saya akan menutup dengan kalimat dari @ayacanina, untuk mereka yang kini sudah berada di jalannya masing-masing.
Dear my old friends. Tetaplah mengunggah aktivitas terbarumu di media sosial. Biar saya tahu, kamu tidak mati muda dan sedang bahagia. Kalaupun sedang patah, saya jadi punya alasan untuk berkomentar, "You'll be alright", seperti dulu pas kita masih sama-sama.

Masa, Salam, dan Kawan
Untuk mereka, yang pernah berbagi tawa hingga duka di rumah merah jambu.

Post a Comment

0 Comments