Benteng Vredeburg: Mari Ke Museum

Dewi Fortuna masih berpihak padaku kali ini. Pasalnya ketika aku sampai di museum waktu sudah menunjukkan pukul 03.00 sore dan ternyata museum sudah tutup, tetapi oleh penjaga museum masih mengizinkanku untuk bisa masuk dan berkeliling museum yang dahulunya adalah sebuah benteng pertahanan di sebelah utara keraton Kesultanan Yogyakarta.
Benteng yang diberi nama Vredeburg ini mempunyai arti Perdamaian. Sebuah ironi ketika menilik jauh saat benteng ini dibangun di atas kolonialisme.

Hal pertama yang ada dibenakku saat langkah kaki ini masuk ke dalam museum adalah kagum dan bersyukur. Kagum dengan nuansa yang terbangun dari bangunan kolonial yang masih berdiri dan bersyukur karena bangunan bersejarah ini tidak (di)hancur(kan) oleh tangan-tangan tak berdosa! Nasib benteng Vredeburg sangatlah beruntung jika dibandingkan dengan benteng Vastenburg di kota Solo yang kini hanyalah tinggal menyisakan dinding benteng saja.

Ketika baru saja masuk ke dalam museum, mata ini langsung teruju pada sebuah menara yang berdiri kokoh. Di atas menara nampak sirine yang berbentuk mirip terompet. Menara ini disebut dengan Menara Sirine Gaok.
Bangunan menara ini terletak di pojok selatan pasar Beringharjo, Yogyakarta. Tinggi menara ini lebih dari 20 meter. Di pucuk menara terdapat sirine terbentuk mirip mulut terompet. Orang sering menyebut sirine ini dengan nama Sirine Gaok karena pada saat dibunyikan sirine ini mengeluarkan bunyi "gaooook".
Pada masa kolonialisme Belanda, sirine ini digunakan sebagai penanda dimulai dan berakhirnya jam malam. Sedang pada masa penduduk Jepang bunyi sirine adalah sebagai penanda bahwa terjadi serangan udara dari sekutu. Sirene Gaok juga ikut andil salam Serangan Umum 1 Maret 1949, ketika jam malam berakhir dan sirine dibunyikan merupakan tanda serang bagi pasukan TNI.

Di halaman benteng ini juga terdapat replika Tugu Golong Giling atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Tugu Pal Putih. Terlihat pula ruang Diorama 1 yang tengah diperbaiki, sehingga hanya Diorama 2 hingga Diorama 4 yang bisa diakses untuk sekrang ini.



Kehadiran benteng Vredeburg sendiri tidak lepas dari peran seseorang Hamengku Buwono I yang pada akhirnya memberikan izin kepada VOC untuk membangun sebuah benteng sederhana di sebelah utara keraton Kesultanan Yogyakarta.

Pembangunan benteng Vredeburg ini cukup memakan waktu yang lama. Hal ini dikarenakan pada saat itu pembangunan keraton juga tengah berlangsung, sehingga tenaga dan bahan bangunan yang semula untuk benteng dialihkan dan diprioritaskan untuk menyelesaikan pembangunan keraton terlebih dahulu. Benteng ini sempat mengalami kerusakan ketika gempa melanda Yogyakarta pada tahun 1867.
Pada tahun 1867 kota Yogyakarta diguncang gempa. Kejadian gempa pada tahun 1867 itu membuat sebagian besar Yogyakarta mengalami kerusakan termasuk juga dengan benteng ini Perbaikan yang dilakukan selepas gempa 1867 membuat benteng ini kembali tegak berdiri dan berubah nama dari Rustenburg menjadi sebuah nama yang dikenal hingga sekarang yaitu Vredeburg.
Benteng ini juga beberapa kali berpindah tangan, mulai dari Belanda yang memilikinya kemudian jatuh ke tangan Inggris dan akhirnya kembali lagi ke tangan Belanda. Kemudian ketika Jepang datang benteng ini di bawah kekuasaan Jepang dan menjadi kuburan bagi Belanda hingga akhirnya benteng ini juga pernah menjadi markas TNI. Dan sekarang Benteng Vredeburg beralih menjadi sebuah museum.




Perjalanan di museum Benteng Vredeburg ini di mulai dari ruang Diorama 2. Banyak barang dan minirama peristiwa kemerdekaan yang tersimpan di ruang ini. Namun yang paling menarik perhatianku adalah sebuah mesin cetak bermerk Heidelberg. Mesin cetak Heidelberg ini juga digunakan oleh Kedaulatan Rakyat untuk mencetak koran.
Kedaulatan Rakyat merupakan "Koran Revolusi". Koran ini bukan milik salah satu golongan, agama, atau partai politik. Pada awal kelahirannya, Kedaulatan Rakyat menghadapi berbagai macam cobaan dan rintangan. Namun rintangan yang dihadapi tidak menyurutkan semangat para perintis Kedaulatan Rakyat untuk terus berjuang agar koran tetap terbit.
Mesin cetak Heidelberg adalah mesin cetak koran yang bergengsi pada masanya. Mesin ini mampu mencetak seribu eksemplar setiap jamnya.

Suasana sepi di ruang Diorama 2 semakin membuat imaji ini begitu liar membayangkan replika peristiwa kemerdekaan yang tersaji di ruang ini. Sungguh, bangsa ini merdeka tidak mudah!


Mesin Cetak Heidelberg



Suara pintu-pintu yang dikunci sudah mulai terdengar. Langkah kaki segera meninggalkan ruang Diorama 2 karena bapak penjaga sudah mulai menutup satu demi satu pintu. Tak jauh berbeda dengan ruang Diorama 2, di ruang Diorama 3 juga masih menyimpan koleksi yang tak kalah menarik untuk dilihat. Imaji ini terus dimanjakan akan peristiwa kemerdekaan yang begitu melekat pada kota Yogyakarta. Di ruang Diorama 3 ini juga terdapat replika orang ketika sedang melakukan gerilya melawan pasukan dari Belanda.

Bapak penjaga kini sudah berada di ruang Diorama 3, ia masih sabar menungguku untuk menikmati imaji akan suasana kemerdekaan dahulu. Tapi, ada rasa sungkan jika terlalu lama. Jadi aku putuskan untuk segera keluar dari ruang Diorama 3.



Kehidupan dengan gaya hidup bersenang-senang selalu lekat pada masyarakat Eropa saat itu. Begitu juga dengan para pasukan Belanda yang berada di dalam benteng Vredeburg. Ada kalanya pasukan tentara Belanda juga bersenang-senang dan itu dilakukan dalam Societeit yang terletak sebelah di timur laut. Bekas Societeit itu iki beralih fungsi menjadi ruang Diorama 4. Sayang, ruang Diorama 4 sudah terkunci dan alhasil, langkah kaki ini hanya berjalan-jalan di sekitar bekas Societeit bagi para pasukan pertahanan Belanda.

Tak banyak lagi orang yang berada di benteng Vredeburg. Beberapa penjaga juga sudah mulai pulang. Ya, perjalanan bergelut dengan imaji di "Benteng Perdamaian" ini juga berakhir seiring dengan pulangnya penjaga museum satu persatu.


Paradigma tentang bangunan kolonial haruslah diubah. Bangunan peninggalan kolonial memang menjadi bukti akan eksistensi kolonialisme Belanda. Tetapi itu juga bukan berarti dengan semena-mena dihancurkan begitu saja dan diganti dengan bangunan baru ataupun atas nama "nasionalisasi".
Untuk apa generasi masa depan dibangun tetapi dengan membawa dendam-dendam masa lalu.
Mengunjungi museum bukanlah sesuatu yang membosankan tetapi sayang kunjungan akan museum kalah jauh dibandingkan dengan wisata lain padahal museum menyimpan memori masa lalu yang harus tetap terjaga dalam ingatan generasi sekrang dan akan datang. Ya, mungkin kita juga harus mengubah paradigma jika museum itu membosankan menjadi museum itu menyenangkan dan penuh pembelajaran.



Dan yang terakhir adalah semoga bangunan kolonial tidak dihancurkan begitu saja.


Sumber/referensi tambahan:
* jejakkolonial.blogspot.com


Catatan tambahan:
* Biaya tiket masuk museum adalah
- Dewasa perorangan: Rp. 3.000
- Dewasa rombongan(minimal 20 orang): Rp. 2.000
- Anak-anak perorangan: Rp. 2.000
- Anak-anak rombongan (minimal 20 orang): Rp. 1.000
- Wisatawan asing: Rp. 10.000
* Jam buka museum dari pukul 08.00 - 15.00 WIB.
* Ingat, museum libur pada hari senin.

Post a Comment

0 Comments