Sisa-sisa yang Tersisa dari De Grootmoedigheid

Tangan-tangan tak berdosa nyaris mengubahnya menjadi sesuatu yang mereka sebut modernitas. Mengubahnya menjadi bangunan bertingkat tinggi yang hampir dipastikan hanya untuk kalangan borjuis. Gejolak gelombang protes baik dari sejarahwan, budayawan, maupun pihak-pihak lainnya sedikit bisa menyelamatkan sisa-sisa yang tersisa dari bangunan yang dahulu bernama De Grootmoedigheid. Tembok tebal setinggi 6 meter, membentuk bujur sangkar dengan ke empat sudutnya menjorok ke depan ditambah bangunan segi delapan yang terletak tepat di atas pintu masuk bagian barat. Hanya itu, iya hanya itu! Yang tersisa dari sebuah benteng peninggalan Belanda di pusat kota Solo. Benteng yang menjadi "perusak" nilai kosmologi tata kota kerajaan. Mengubahnya dari Kutharaja menjadi Kuthanegara.


Dua orang bule, satu laki-laki paruh baya dan satu lagi wanita yang sepadan dengannya sedang membicarakan sesuatu di depan pintu utama benteng Vastenburg yang aku sendiri tak tahu apa sedang dibicarakan, mengingat bukan berbicara dengan bahasa Inggris, Belanda, atau bahkan bahasa Indonesia. Sebuah peta dibuka bule laki-laki paruh baya tadi, memastikan bahwa ini adalah lokasi yang tepat dari benteng peninggalan Belanda itu.

"You know, how to open the door?"
"No, I don't."
"No?"
"No, sir!"
"Ok, thank you."


Pintu besi itu masih terkunci rapat. Rantai besi pun mempersatukan kedua pintu rapat-rapat. Gembok besar ditambahkan untuk mengikat erat rantai besi itu. Menghalangi orang-orang biasa untuk masuk melihat sisa-sisa yang tersisa di dalam benteng. Dari pintu besi ini terlihat tanah lapang luas dihiasi dua pohon beringin di tengahnya. Sangat kontras jika menengok dahulu kala benteng Vastenburg masih aktif digunakan. Beberapa bangunan berdiri di tanah lapang itu. Ada sebagai tempat tinggal perwira, ada pula untuk tempat tinggal prajurit berserta keluarganya.

Dentang lonceng memecah keramaian. Orang-orang bergegas kembali pulang. Mereka sudah tidak lagi bebas berkeluyuran. Serdadu-serdadu Belanda sudah siap berjaga. Ada yang berjaga di lantai atas, ada pula yang berjaga si depan pintu gerbang. Dentang lonceng terus dibunyikan mengingatkan bahwa jam malam sudah tiba.


Fort Vastenburg Solo, 1900 (sumber: kitlv.nl)

Kepindahan dinasti Mataram setelah hancurnya Keraton Kartasura ke desa Sala diikuti pula dengan pembangunan keraton baru di desa itu. Insting seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda Baron Van Imhoff tentang keraton baru yang dibangun di desa Sala mendesak pemikiran untuk membangun sebuah pusat pertahanan guna mengawasi gerak-gerik keraton. Benteng kecil di tepian bandar beton bernama De Grootmoedigheid disulapnya menjadi benteng besar yang dikelilingi parit dengan dua pintu masuk di barat juga di bagian timur. Jembatan angkat ditambahkan untuk lalu lalang keluar masuk menuju benteng. Benteng pertahanan Belanda di dekat keraton baru pewaris dinasti Mataram. Sebuah benteng yang dibangun pada tahun 1745 yang kemudian dikenal dengan nama Vastenburg.

Benteng peninggalan Belanda yang ada di pusat kota Solo ini masih begitu banyak meninggalkan tanya bagiku. Literatur mengenai benteng Vastenburg sangat minim. Salah satunya adalah sebuah prasasti setinggi kurang lebih dua meter yang terletak tepat di selatan pintu gerbang.


"Hoogste Waterstand op den 24 February 1861" begitulah yang tertulis di prasasti itu. Jika prasasti itu diartikan maka berbunyi "Batas tertinggi muka air pada tanggal 24 Februari 1861."
Ini sangat menarik, batas tertinggi muka air bisa merujuk pada suatu peristiwa besar yang mengakibatkan muka air setinggi prasasti itu. Aku sendiri mengarah pada peristiwa banjir mengingat kota Solo rawan sekali dengan bencana banjir. Hingga saat ini aku sendiri belum bisa menemukan literatur yang menguatkan akan hal itu. Keberadaan arca Nandi yang ada di samping kanan kiri jembatan juga masih meninggalkan tanya.

Benteng Vastenburg kini menunggu kepastian tentang dirinya. Tembok tebal setinggi enam meter kini sudah terpoles cantik dengan warna putih seperti warna aslinya dahulu. Tapi bagaimana dengan nasib lahan Vastenburg? Apakah pihak swasta akan dengan tega menghancurkan peninggalan sejarah yang tentunya sarat akan pembelajaran. Mengutip perkataan Eugene Ruskin bahwa “Menghancurkan peninggalan kuno merupakan dosa yang tak kecil."


Portgebouw, vermoedelijk van Fort Vastenburg te Soerakarta, 1900 (sumber: kitlv.nl)


Fort Vastenburg te Soerakarta, 1867 (sumber: kitlv.nl)

Awan mendung yang menggantung di langit kota Solo kian pekat. Gerimis pun perlahan datang membasahi setiap sudut benteng Vastenburg.
Bagaimana hidup selaras dengan cagar budaya tetapi tidak berbenturan? Salah satunya adalah dengan mengubah pemikiran bahwa hidup yang maju bukan berarti selalu melakukan pembangunan. ~ Hilmar Farid.
Dan lagi bahwa benteng Vastenburg bukan seonggok dinding tebal yang berputar membentuk bujur sangkar tapi jauh lebih dari itu. Setiap bangunan bersejarah meninggalkan sebuah pesan yang harus digali bukan dihancurkan. Terlebih hanya dengan alasan modernitas.


Fort Vastenburg te Soerakarta, 1870 (sumber: kitlv.nl)

Kendaraan bermotor lalu lalang meramaikan jalan poros Keraton - Tugu Pemandengan. Banyak diantaranya tak tahu jika ada jejak peninggalan sejarah di sini. Benteng Vastenburg menjelma menjadi sepi. Dahulu serdadu-serdadu Belanda selalu siap sedia jika sewaktu-waktu terjadi pertumpahan darah. Tapi kini, bangunan benteng Vastenburg tinggal sepi sendiri. Hanya dua arca penjaga gerbang dan dua arca Nandi yang selalu setia menemani dalam sunyi sepi menanti kepastian diri.

Post a Comment

0 Comments