Juni baru saja memulai harinya, sebuah pesan dari Semarang datang menyapaku. Pesan dari Mas Ang yang mengabarkan bahwa ia akan berkunjung ke Solo setelah puluhan purnama tak bersua dengan Solo. Pesan dari Semarang inilah yang pada akhirnya membawaku bertemu lagi dengan mereka.
Kendaraan bermotor sudah sibuk memenuhi jalanan kota Solo. Maklum saja bila akhir pekan tiba, jalanan kota dipenuhi kendaraan bermotor dari luar kota. Setelah berjibaku menerobos padatnya jalanan kota Solo, aku sampai di Terminal Tirtonadi guna menjemput Mas Ang yang sudah tiba di kota Solo. Lelaki yang sudah melewati "usia keramat" ini dengan gaya khasnya tengah duduk santai ketika aku sampai untuk menjemputnya. Rupanya aku sudah terlalu lama terlambat, hehehe.
Meninggalkan area Tirtonadi, aku dan Mas Ang bergegas menuju Monumen Pers. Di tempat inilah ingatan kota Solo akan memori 98 kembali dihadirkan. Tak banyak orang yang datang ke Monumen Pers untuk melihat Pameran Foto Refleksi Peristiwa Mei 98. Bila boleh dikata, hanya aku dan Mas Ang saja yang berkunjung ke sini untuk melihat pameran.
Matahari mulai bergulir menuju ufuk barat. Kendaraan bermotor di jalanan kota Solo bukannya berkurang tetapi semakin padat hingga menimbulkan kemacetan di beberapa ruas jalan. Kini aku dan Mas sudah berada di balaikota Solo. Aku sendiri penasaran dengan bungker yang ditemukan di balaikota. Karena itulah aku ajak Mas Ang berkunjung ke sini. Ya, lagi-lagi hanya aku dan Mas Ang yang berkunjung menikmari bungker balaikota ini.
Selepas dari bungker balaikota, aku dan Mas Ang melanjutkan menuju Lodjie Wetan yang dikenal dengan kota lamanya Solo. Berjalan kaki mengitari Lodjie Wetan membuat aku teringat ketika aku, Mas Ang, dan Mas Bani berjalan kaki dari Purwosari-Gladag pulang pergi. Tuhan, kekonyolan macam apa yang kami perbuat dahulu, hingga mau berjalan kaki sejauh itu! Hahaha.
Waktu sudah beranjak sore dan kami lantas pergi menuju tempat berkumpul untuk berbuka puasa. Sesampainya kami di sana rupanya Mas Jack, Icang, dan Mbak Oci sudah berada di lokasi.
"Meja pesanan atas nama Bayu di sebelah sana Mas."Ujar salah seorang pelayan sembari menunjukkan tempatnya.
Hahaha, ternyata kami salah tempat duduk setelah dengan percaya dirinya langsung asal duduk saja. Tak berselang lama Mbak Ana dan Mas Ari datang. Akhirnya untuk pertama kali aku bertatap muka dengan Mbak Ana.
Obrolan demi obrolan saling bersautan dan Mas Ang masih saja pendiam! Tak ada bedanya ketika ia menjadi pemanduku saat aku berkunjung ke Sekayu. Iya, pemandu yang tak banyak bicara! Mungkin tak perlu aku tulisan obrolan apa saja yang dibincangkan waktu itu. Biarkan itu menjadi ceritaku dan mereka saja. Sama seperti kisah Mas Ang soal kaca patri. Biarkan itu menjadi kisah Mas Ang yang lirih ia ucakan kepadaku saat menikmati Kota Lama Semarang beberapa waktu lalu.
Urip iku mung mampir wedangan.
Selesai dari berbuka bersama lantas kami lanjutkan menuju Keraton Kasunanan Solo. Tak banyak aktivitas yang kami lakukan selain foto, foto, dan berfoto, hahaha. Beranjak dari keraton kami bergegas menuju Ngarsopuro. Di akhir pekan seperti ini Ngarsopuro menjadi salah satu titik pusat keramaian kota Solo. Konsep pasar malam ala Thailand dihadirkan di sini. Orang-orang begitu tumpah ruah menikmati malam di Ngarsopuro. Hal ini mengingatkanku akan narasi orang Solo yang doyan plesiran. Dalam berita berjudul Gemar Plesir yang termuat dalam Djarwa Kanda tanggal 17 Agustus 1907, mengungkapkan betapa orang Solo gemar plesiran.
"....semua orang, baik lelaki ataupun perempuan, plesir itu amat disukai, karena menghibur hati yang lagi capek, susah, dan lainnya. Tiada orang yang amat gemar plesir melebihi orang Solo baik bangsa apapun, entah ada keramaian ataupun di hari biasa."Di sela-sela menikmati pasar malam Ngarsopuro, Mas Ari bercerita bahwa sudah terjadi pergeseran dari konsep awal diadakannya pasar malam Ngarsopuro. Setelah mondar-mandir di Ngarsopuro akhirnya kami berhenti untuk menikmati jajanan lawas berupa es krim ndeso. Eh, hanya berempat sih yang menikmati es krim ndesonya.
Maafkan kelakuan dari generasi lawas.
Waktu tanpa terasa berlalu lebih cepat. Sama seperti aku mengenal mereka yang tak terasa sudah tiga tahun lamanya. Jam sudah menunjukkan pukul 09.00 malam dan kami tiba di salah satu wedangan di tengah kota Solo. Aku hanya sedikit berkelakar bila jam segini (09.00 malam) masih terlalu pagi untuk wedangan. Maklum saja, biasanya aku, Mas Ari, dan Mas Jack memulai wedangan sekitar pukul 10.00 malam dan tak jarang berakhir pada pukul 02.00 dini hari. Benar-benar selow yak!
Wedangan malam ini mendapat personil tambahan yaitu Mbak Yona. Ya, obrolan yang saling bergantian menemani wedangan kali ini. Topik-topik hangat yang sedang ramai dibicarakan tak luput dari pembahasan. Aku dan Mas Ang beberapa kali terlibat obrolan soal sejarah dan komunitasnya dan tentunya soal komunitas sejarah di Solo yang mulai bercabang-cabang.
Wedangan kali ini berakhir pukul 11.00 malam. Ini masih terlalu pagi sih, tapi mengingat ada kawan dari luar kota yang harus kembali besoknya ya jadi kami putuskan untuk menyudahi wedangan malam ini. Sebelum berpisah kami mampir dahulu di hotel tempat Mbak Oci dan Mbak Ana bermalam. Ketika sampai di kamar, entah apa yang sedang dipikirkan Mas Ari hingga menyuruh kami berpose layaknya orang yang kena razia prostitusi. Gusti, ini generasi lawas ternyata ga sewibawa bayanganku dahulu ketika petama kali bertemu! Hahaha.
Keisengan Mas Ariy membuat kamar ini menjadi gaduh seketika. Tawa saling bersautan memenuhi sudut-sudut kamar. Waktu tak terasa sudah bergulir dari angka 12 dan akhirnya kami putuskan untuk kembali pulang, meninggalkan kenangan foto saat "dirazia".
Akhirnya, aku berani untuk menuliskan kisah bersama mereka. Tanya dan ragu selama ini menghantui sudah tak lagi mengisi. Barangkali ini menjadi akhir dari keraguan dan awal untuk menuliskan kisah bersama mereka. Yang sudah terjadi, ya sudah. Itu adalah pemanis cerita. Biarkan berlalu seperti penggalan lagu yang dipopulerkan orkes melayu Sera, "Yang lalu, biarlah berlalu".
2 Comments
Eh coba dijelaskan eta mas Ang siapa....Anggora apa anggun
ReplyDeleteSenang bisa kumpul bareng mungkin telat saat semua sudah balik kanan bubar jalan grup WA but friendship never die..
Yang terpenting kita harus tau darimana awal bermula..jika sudah lupa pada akar pohon setinggi apapun bisa patah terkadang akar lebih kuat bertahan untuk menyelamatkan tanpa banyak pihak mengetahui..halah berat.intinya jangan buang sampah sembarangan ��������
Hahaha, ga usah dijelaskan. Biar seperti kisah dia dan kaca patri Kota Lama Semarang.
DeleteGrup boleh bubar tapi yang lainnnya jangan.
Wkwkwk, dan kalau makan kacang kulitnya jangan lupa dibuang yak.