Cerita tentang Kampung: Minggu Pagi di Sekayu

Mengingat Semarang maka yang akan terlintas adalah Kota Lama. Ya, Semarang dan Kota Lama memanglah dua bagian yang tak terpisahkan, sejarah panjang menyertai keduanya dalam perkembangan Semarang hingga saat ini. Ingatan orang-orang selama ini tentang Semarang terkonsentrasi pada Kota Lama. Tetapi Semarang tak hanya mengenai Kota Lama ataupun Lunpia saja. Ia masih menyimpan "harta karun" yang berada di tengah kota. "Harta karun" yang kini harus bertahan karena gempuran geliat pembangunan kota Semarang.

Mendengar kata kampung di Semarang barangkali tak pernah terlintas di benak ini. Rasanya sulit membayangkan bila Semarang masih mempunyai kampung lama yang bertahan hingga sekarang di tengah-tengah tingginya tembok beton yang mengelilingi kota Semarang. Geliat Semarang sebagai sebuah kota teruslah berkembang. Menjadi ibukota sekaligus pusat pemerintahan Jawa Tegah membuat Semarang dari hari ke hari kian sibuk. Tak terkerkecuali dengan pembangunan yang ada di Semarang. Tetapi sedikit disayangkan karena perkembangan kota di Semarang tak diikuti perkembangan kampung lama yang menjadi identitas Semarang.
Kampung sejatinya mempunyai peran penting dalam sebuah kota. Namun pada kenyataannya kampung tidak bisa berkembang di pusat kota. Padahal kampung merupakan cikal bakal dari perkembangan sebuah kota.
Gapura Kampung Sekayu
Selamat datang di Sekayu.
Entah sudah berapa lama aku tak mengunjungi Semarang. Barangkali hampir satu tahun aku tidak berkunjung ke Semarang. Di pertengahan bulan Februari 2018 aku berkesempatan berkunjung ke Semarang. Ah, nampaknya ada rindu yang terbalaskan ketika sudah lama tidak berjumpa dengan Semarang. Kunjunganku ke Semarang kali ini adalah menengok "harta karun" yang berada di tengah kota Semarang.

Gambang Semarang sudah terdengar di peron stasiun, ini berarti aku sudah sampai di Stasiun Tawang. Perjalananku kali ini ditemani seorang kawan yang aku kenal lewat sebuah komunitas. Ia sudah berada di dekat pintu keluar stasiun saat aku masih bernostalgia sebentar dengan stasiun Tawang. Setelah sedikit bernostalgia dengan Semarang Tawang lantas, aku dan kawanku itu bergegas menuju sebuah kampung yang terletak di tengah kota Semarang. Benginilah Semarang di waktu pagi. Hiruk pikuknya susah terasa sedari pagi menjelang. Jalanan yang dipenuhi kendaraan bermotor menjadi pendamping menuju tempat tujuan.

Aktivitas pagi di Sekayu Raya
Aktivitas pagi di Sekayu Raya.
Setibanya di ujung jalan Sekayu Raya dua hal yang begitu kontras menjadi pemandangan di suatu pagi pada minggu di pertengahan bulan Februari 2018. Ketika memasuki jalan Sekayu Raya sudah dipadati dengan orang-orang yang sedang bersantap pagi di warung penjaja makanan di sepanjang Sekayu Raya. Pun dengan petugas parkir yang tengah sibuk menata sepeda motor. Setibanya di ujung jalan suasana langsung berubah hening dan teduh layaknya kampung di pagi hari.

Pemanduku kali ini adalah kawanku itu yang notabene pernah berkeliling Sekayu. Langkah kakinya membawaku melewati jalanan yang tak begitu luas. Ketika berpapasan dengan sepeda motor harus sabar bergantian. Belum begitu lama kami berjalan, kami sudah sampai di masjid Taqwa. Tak banyak orang yang berlalu lalang di sini.
Masjid Taqwa Sekayu adalah salah satu dari sedikitnya bukti yang tersisa dari Sekayu. Pendirian masjid Sekayu ini juga berhubungan dengan dibangunnya Masjid Agung Demak. 
Namun sayang, saat itu kami tak berhasil masuk ke dalam masjid. Alhasil soko guru yang masih asli sejak dibangun pertama kali dahulu tak berhasil kami lihat. Kami hanya mencoba mengintip lewat celah-celah pintu untuk sedikit bisa melihat soko guru yang masih bertahan itu.

Gapura Masjid Taqwa Sekayu
Menuju Masjid Taqwa.
Sekayu dalam catatan sejarah pernah menjadi pusat pemerintahan Semarang sewaktu Semarang masih menjadi Kadipaten. Sejak kapan Sekayu menjadi pusat pemerintahan masih sedikit abu-abu. Dalam catatan peta PAAN van het Fort en omleggende Cituatie van Samarangh pada tahun 1695 pusat pemerintahan Semarang sudah berpindah ke daerah Kauman. Kapan tepatnya perpindahan dari Sekayu ke Kauman pun masih abu-abu.

Selain menjadi pusat pemerintahan, Sekayu juga merupakan pusat pengumpulan kayu. Hal inilah yang membuat kampung ini dinamakan Sekayu, yang berarti sentra kayu atau pusat pengumpulan kayu. Ketika Masjid Agung Demak hendak dibangun kebutuhan kayu untuk masjid diambil dari daerah sekitar Semarang kemudian melalui perjalanan darat dikumpulkan di daerah Sekayu. Selepas terkumpul di Sekayu barulah dibawa ke Demak melalui Kali Semarang yang letaknya tak jauh dari Sekayu.

Perpindahan pusat pemerintahan Semarang ke Sekayu seolah menjadi penanda bahwa pembangunan Semarang tidak lagi terkonsentrasi di wilayah timur saja. Namun secara pelahan-lahan mulai berjalan menuju arah barat.

Sekayu Temenggungan
Sekayu Temenggungan.
Beranjak dari Masjid Taqwa, perjalanan dilanjutkan menyusuri gang demi gang. Di salah satu sudut, kami menjumpai segerombolan anak-anak yang tengah menikmati minggu paginya.

“Eh, difoto ik.“ Ucap salah seorang anak laki-laki sembari memalingkan wajahnya dan dengan sigap menutupi wajahnya dengan kedua tangan, hal inipun diikuti pula dengan anak-anak laki-laki lainnya.

Hahaha, agaknya mereka malu ketika aku membidik mereka dengan sebuah kamera saku. Tak jauh dari tempat anak-anak laki-laki berada, anak-anak perempuan pun juga sedang menikmati minggu pagi mereka. Mereka tengah asyik berkerumun pada penjual Gulali. Mereka tampak asyik dan bersabar menunggu Gulalinya siap.

Pagi di Semarang memanglah terasa begitu terik, tetapi itu tak menghentikan hasratku dan kawanku itu untuk berkeliling Sekayu. Entah mengapa aku begitu suka dengan suasana di Sekayu. Di balik padatnya beton-beton tinggi yang mengepung Sekayu ternyata masih ada kehidupan kampung yang bersahaja. Rasanya masih tak percaya saja jika masih ada kampung dengan segala kehidupannya di tengah kota Semarang.

Pagi di Sekayu
Pagi di Sekayu.

Pedagang gulali di Sekayu
Gulali dan anak-anak.
Langkah kaki kami terus menyusuri gang demi gang di Sekayu. Gang di Sekayu bak sebuah labirin yang menyimpan sebuah pesona kehidupan kampung lama Semarang. Pun dari kejauhan menara masjid Taqwa barulah terlihat. Menara itu seakan menjadi bangunan paling tinggi di Sekayu. Selama berjalan dari gang demi gang rumah khas yang merupakan ciri rumah Sekayu sudah tak begitu banyak tersisa. Salah satu yang ikut andil besar akan hilangnya rumah-rumah kuno Sekayu adalah pembangunan mall yang letaknya tepat di sebelah jalan Sekayu Raya.
Ciri khas dari rumah asli Sekayu adalah rumah tinggal kuno yang terbuat dari kayu jati. Arsitekturnya berlanggam Indis yaitu perpaduan antara gaya rumah Jawa dengan gaya Belanda.
Sesekali kami juga harus antre berbagi jalan dengan warga yang tengah lewat dengan sepeda motor. Ketika sedang asyik berkeliling pemandangan khas kampung mewarnai gang-gang sempit kampung Sekayu. Warga yang tengah asyik berkumpul di salah satu warung milik warga sembari berbincang-bincang, ibu-ibu yang tengah mencuci piring maupun baju, keluarga yang tengah bersantai di depan rumah. Semua itu merupakan sedikit gambaran Sekayu di pagi hari dengan kehidupan kampung yang masih terjaga.

Tanpa terasa sudah beberapa jam lamanya aku dan kawanku itu berkeliling kampung Sekayu. Teriknya matahari tak begitu terasa karena "teduhnya" Sekayu di antara gedung-gedung tinggi kota Semarang. Pun masih saja tak percaya bila masih ada kampung dengan segala bentuk kehidupannya di tengah kota Semarang.

Rumah lama di Sekayu
Salah satu rumah lama di Sekayu.
Sekayu adalah sebuah bukti tentang eksistensi kampung lama di tengah kota. Tetapi keberlangsungan kampung lama seperti Sekayu tak luput pula dari tekanan-tekanan baik berupa tekanan fisik maupun tekanan non fisik. Sebagian Sekayun yang hilang lantas menjadi lahan parkir sebuah mall adalah contohnya. Sudah cukup untuk menghilangkan kampung-kampung lama atas nama bisnis, kekuatan modal, atau tata kota sekalipun. Kampung lama mempunyai peran penting dalam perkembangan kota dan kampung lama merupakan identitas diri dari sebuah kota.

Pada akhirnya Sekayu hanya memiliki dua pilihan. Memilih untuk bertahan atau tergantikan. Bertahan untuk menjadi sebuah bukti tentang sebuah kampung lama yang masih terjaga di pusat kota atau tergantikan dan menjadi sebuah dongeng di masa depan tentang sebuah kampung lama yang pernah ada di tengah-tengah hutan beton kota Semarang.



Beberapa dokumentasi lainnya:

Jendela rumah
Jendela rumah siapakah ini?

Pemandu di Sekayu
Pemandu yang sedikit bicara!

Menara Masjid Taqwa Sekayu
Menara Masjid Taqwa Sekayu dari kejauhan.


Referensi/sumber pendukung:
* Rinto Hendro, Eko. 2015. Pelestarian Kawasan Konservasi di Kota Semarang. Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur. Volume 9, Nomor 1.
* Syaiful Bahar, Fariz dan Eko Nursanty. KAJIAN URBAN VILLAGES PADA KAMPUNG ASLI KOTA Studi Kasus: Kampung Sekayu Semarang. Semarang. Jurusan Arsitektur. Universitas 17 Agustus 1945.
* Evansyah, Egi dan Santy Paulla Dewi. 2014. KEBERTAHANAN KAMPUNG TUA SEKAYU TERKAIT KEBERADAAN MAL PARAGON DI KOTA SEMARANG. Semarang. Jurnal Ruang. Volume 2, Nomor 1.

Post a Comment

0 Comments