Begraafplaats atau masyarakat kita lebih umum mengenalnya dengan nama Kerkop/Kerkhof untuk menyebut makam-makam Belanda yang tersebar di Indonesia. Ya, keberadaan makam-makam Belanda di Indonesia tidak dapat dipungkiri bahwa di sinilah sejarah yang terkubur dapat digali kembali. Tentang siapa, apa, dan bagaimana dapat diketahui dari sebuah kerkhof. Namun sayang, tidak semua kerkhof yang ada di Indonesia terawat dengan baik, bahkan tak jarang sejarah yang terkubur ini sudah tak bisa digali lagi.

"Bung, besok tanggal 20 mau ke Ampel. Mau ikut?"
Begitulah pesan seseorang kawan yang aku kenal ketika sedang mengunjungi pameran foto mengenai Kota Lama Solo yang bertajuk Lodjie Wetan in Memory of the Societeit Harmonie. Perjalananku kali benar-benar berbeda dari sebelumnya. Ya, kali ini tujuanku bukanlah candi, bangunan lama, ataupun sebuah pameran melainkan mengunjungi sebuah makam Belanda yang ada di daerah Ampel, Boyolali.
Makam Belanda? Iya, bersama dengan (anggaplah) gabungan dari beberapa komunitas sejarah aku mengunjungi sebuah makam Belanda di daerah Ampel. Tujuannya adalah membersihkan makam Belanda ini. Dan di makam Belanda inilah aku berjumpa untuk pertama kali dengan keluarga Johannes Augustinus Dezentje.
Semak belukar, rumput, dan pohon-pohon talas menutupi hampir keseluruh area makam. Tempat ini sudah tak layak jika disebut makam karena memang yang terlihat adalah tumbuhan liar yang menyelimuti sebagian besar area makam. Padahal bulan Mei 2017 kemarin teman-teman yang sama juga sudah membersihkan tempat ini. Tetapi hanya dalam hitungan beberapa minggu saja semak belukar kembali menutupi area makam keluarga Dezentje ini.
Banyaknya nyamuk tak menghalangi kami untuk terus membersihkan makam ini meski peralatan yang digunakan pun seadanya. Semakin lama bentuk dari makam-makam yang ada di sini mulai terlihat. Ada yang seperti atap rumah tradisional Jawa, ada yang berbentuk obelisk, ada yang seperti kubus, dan ada pula yang menyerupai bentuk makam-makam orang Tionghoa. Namun sayang, ada juga makam yang tidak bisa dikenali. Selain makam terdapat juga sebuah tugu monumen di mana menurut penuturan Mas Warin bahwa dahulunya di atas tugu monumen terdapat patung kuda berbentuk Unicorn dan juga ada yang berbentuk seperti malaikat.

Makam yang berselimutkan pohon-pohon.

Makam dengan atap tradisional Jawa.

Dua pilar di sebelah kiri dahulu terdapat patung kuda Unicorn. Sedang satu pilar di sebelah kanan dahulu terdapat patung malaikat.
Bagian makam yang paling menarik perhatianku adalah makam yang berada di sebuah ruangan di mana ruangan tersebut semacam kuil-kuil yang ada di Yunani dengan pilarnya yang khas.
Kehidupan Tinus bak bangsawan Jawa meskipun ia sendiri berdarah Belanda-Perancis. Tiap kali ia berpergian selalu diikuti oleh pembantunya dan rakyat biasa berlutut ketika ia sedang melintas. Di dalam Nederlands Oost-Indie (1859) Buddingh menjelaskan bagaimana keadaan rumah J.A. Dezentje yang berada di Ampel itu.


Makam yang tadinya banyak ditutupi semak belukar kini sudah cukup banyak memperlihatkan bentuknya. Beberapa pohon yang menggangu kami tebang guna memberikan ruang bagi sinar matahari untuk menghangatkan makam-makam ini agar tak semakin lapuk dimakan usia. Beberapa obrolan dan juga diskusi kami sematkan di antara sela-sela waktu istirahat dan tentunya canda tawa juga hadir di sela-sela pembersihan makam untuk menghilangkan rasa bosan.
Bertemu dengan keluarga J.A. Dezentje dan juga dengan mereka berlima (Mbak Ratna, Mas Ibnu, Mas Aga, Mas Lengkong, dan juga Mas Warin) memberiku banyak pelajaran baru terutama tentang sebuah sejarah. Dan aku belajar lagi bahwa setiap peninggalan sejarah haruslah dirawat dengan baik karena dari sejarahlah kita bisa belajar untuk tidak mengulang kesalahan masa lalu di masa depan. Dan satu hal lagi bahwa makam Belanda bukan hanya sekadar makam tetapi makam Belanda juga menjadi bagian sejarah bangsa ini karena di tempat inilah sejarah yang tadinya terkubur dapat digali kembali. Bukan hanya sekedar cerita tetapi ada sebuah bukti yang bisa diceritakan kembali.

Dan akhirnya aku sepakat dengan penggalan kalimat dari Mas Lengkong di blognya bahwa,
Beberapa dokumentasi kegiatan:





Referensi/sumber pendukung:
* Prasangka, Taufiq Adhi. 2005. Pengaruh Budaya Indis terhadap Perkembangan Arsitektur Di Surakarta Awal Abad XX. Fakultas Sastra. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
* jejakkolonial.blogspot.com
Catatan tambahan:
* Tentunya kegiatan semacam ini harus terus digalakkan agar semua juga sadar akan pentingnya menjaga situs sejarah.
* Beberapa foto diambil dari jejakkolonial.blogspot.com
"Bung, besok tanggal 20 mau ke Ampel. Mau ikut?"
Begitulah pesan seseorang kawan yang aku kenal ketika sedang mengunjungi pameran foto mengenai Kota Lama Solo yang bertajuk Lodjie Wetan in Memory of the Societeit Harmonie. Perjalananku kali benar-benar berbeda dari sebelumnya. Ya, kali ini tujuanku bukanlah candi, bangunan lama, ataupun sebuah pameran melainkan mengunjungi sebuah makam Belanda yang ada di daerah Ampel, Boyolali.
Makam Belanda? Iya, bersama dengan (anggaplah) gabungan dari beberapa komunitas sejarah aku mengunjungi sebuah makam Belanda di daerah Ampel. Tujuannya adalah membersihkan makam Belanda ini. Dan di makam Belanda inilah aku berjumpa untuk pertama kali dengan keluarga Johannes Augustinus Dezentje.
Johannes Augustinus Dezentje atau yang lebih dikenal dengan nama Tinus adalah pionir dari perkebunan di tanah Surakarta. Ia adalah putra dari August Jan Casper yang merupakan pengawal Eropa untuk raja Kasunanan Surakarta. Sang ayah, August Jan Casper, pada tahun 1816 menyewa sebuah tanah apanage milik Kasunanan Surakarta. Tanah yang disewanya itu membentang dari Salatiga, Ampel, hingga Boyolali. Dan pada akhirnya tanah yang ia sewa ini diwariskan kepada sang anak yaitu Johannes Augustinus Dezentje. Di sinilah legenda perkebunan dari Ampel bermula.
Semak belukar, rumput, dan pohon-pohon talas menutupi hampir keseluruh area makam. Tempat ini sudah tak layak jika disebut makam karena memang yang terlihat adalah tumbuhan liar yang menyelimuti sebagian besar area makam. Padahal bulan Mei 2017 kemarin teman-teman yang sama juga sudah membersihkan tempat ini. Tetapi hanya dalam hitungan beberapa minggu saja semak belukar kembali menutupi area makam keluarga Dezentje ini.
Banyaknya nyamuk tak menghalangi kami untuk terus membersihkan makam ini meski peralatan yang digunakan pun seadanya. Semakin lama bentuk dari makam-makam yang ada di sini mulai terlihat. Ada yang seperti atap rumah tradisional Jawa, ada yang berbentuk obelisk, ada yang seperti kubus, dan ada pula yang menyerupai bentuk makam-makam orang Tionghoa. Namun sayang, ada juga makam yang tidak bisa dikenali. Selain makam terdapat juga sebuah tugu monumen di mana menurut penuturan Mas Warin bahwa dahulunya di atas tugu monumen terdapat patung kuda berbentuk Unicorn dan juga ada yang berbentuk seperti malaikat.
Makam yang berselimutkan pohon-pohon.
Makam dengan atap tradisional Jawa.
Dua pilar di sebelah kiri dahulu terdapat patung kuda Unicorn. Sedang satu pilar di sebelah kanan dahulu terdapat patung malaikat.
Bagian makam yang paling menarik perhatianku adalah makam yang berada di sebuah ruangan di mana ruangan tersebut semacam kuil-kuil yang ada di Yunani dengan pilarnya yang khas.
Kehidupan Tinus bak bangsawan Jawa meskipun ia sendiri berdarah Belanda-Perancis. Tiap kali ia berpergian selalu diikuti oleh pembantunya dan rakyat biasa berlutut ketika ia sedang melintas. Di dalam Nederlands Oost-Indie (1859) Buddingh menjelaskan bagaimana keadaan rumah J.A. Dezentje yang berada di Ampel itu.
Daerahnya merupakan kerajaan kecil di mana ia nampak sebagai bangsawan yang berdaulat. Orang-orang memandangnya sebagai raja pribumi. Begitu luasnya tanah yang ia miliki. Begitu banyak ladang dan juga kebun kopinya, begitu pula penduduknya. Rumahnya dibangun pada ketinggian 2041 kaki dan dibangun dengan corak rumah pangeran-pangeran di Solo atau para bupati di Jawa, dan juga ditata dan dilengkapi dengan perabotan rumah yang indah dan dikelilingi tembok yang tebal dan tinggi laksana benteng di mana di atasnya terdapat gardu penjagaan yang terbuat dari batu.Dari penjelasan di atas, dapat dibayangkan bagaiamana kehidupan Tinus waktu itu. Sungguh sangat kontras sekalian dengan keadaan sekarang. Bahkan sisa-sisa rumah dari legenda perkebunan Ampel itu sudah tak nampak lagi.
Makam yang tadinya banyak ditutupi semak belukar kini sudah cukup banyak memperlihatkan bentuknya. Beberapa pohon yang menggangu kami tebang guna memberikan ruang bagi sinar matahari untuk menghangatkan makam-makam ini agar tak semakin lapuk dimakan usia. Beberapa obrolan dan juga diskusi kami sematkan di antara sela-sela waktu istirahat dan tentunya canda tawa juga hadir di sela-sela pembersihan makam untuk menghilangkan rasa bosan.
Bertemu dengan keluarga J.A. Dezentje dan juga dengan mereka berlima (Mbak Ratna, Mas Ibnu, Mas Aga, Mas Lengkong, dan juga Mas Warin) memberiku banyak pelajaran baru terutama tentang sebuah sejarah. Dan aku belajar lagi bahwa setiap peninggalan sejarah haruslah dirawat dengan baik karena dari sejarahlah kita bisa belajar untuk tidak mengulang kesalahan masa lalu di masa depan. Dan satu hal lagi bahwa makam Belanda bukan hanya sekadar makam tetapi makam Belanda juga menjadi bagian sejarah bangsa ini karena di tempat inilah sejarah yang tadinya terkubur dapat digali kembali. Bukan hanya sekedar cerita tetapi ada sebuah bukti yang bisa diceritakan kembali.
Dan akhirnya aku sepakat dengan penggalan kalimat dari Mas Lengkong di blognya bahwa,
"yang harus kita hilangkan dari sisa-sisa kolonial adalah ketimpangan, kesewenang-wenangan, dan penindasan, bukan bangunannya."
Beberapa dokumentasi kegiatan:
Referensi/sumber pendukung:
* Prasangka, Taufiq Adhi. 2005. Pengaruh Budaya Indis terhadap Perkembangan Arsitektur Di Surakarta Awal Abad XX. Fakultas Sastra. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
* jejakkolonial.blogspot.com
Catatan tambahan:
* Tentunya kegiatan semacam ini harus terus digalakkan agar semua juga sadar akan pentingnya menjaga situs sejarah.
* Beberapa foto diambil dari jejakkolonial.blogspot.com
3 Comments
Loh, jebul awakmu melu wingi to mas? Ga ngeh😂
ReplyDeleteMiris ya makame sama sekali terlupakan. Padahal nama besarnya pada masa itu di karesidenan surakarta begitu tersohor.
Hahaha, wajahku iki sering berubah-ubah mas Ang 😚😚😚
DeleteIya sih, melihat kondisinya sekarang sangat kontras sewaktu J.A. Dezentje masih hidup. Tapi ini masih bisa dibilang lumayan, banyak kerkhof yang sudah hilang.
Mohon kirimkan kontak
ReplyDeleteTerutama Mas Warin karena saya sekarang juga giat mengumpulkan data data keluarga Dezentje
Terutama yg di Karanganom
Karena salah Satu Anak J.A Dezentje menikah dg Nenek Buyut saya
Paul.danang@gmail.com