Singgah Sejenak Di Keraton Kasunanan Surakarta


Prosesi Boyong Kedhaton telah memasuki kompleks alun-alun utara. Sinuhun sudah berada di Pasewakan Agung. Para pengiring sudah berbaris rapi di alun-alun dan Sunan Paku Buwono II pun membacakan sabda raja.

Heh kawulaningsun, kabeh padha ana miyarsakna pangandikaningsun! Ingsun karsa ing mengko wiwit dina iki, desa ing Sala ingsun pundhut jenenge, ingsun tetepake dadi negaraningsun, ingsun parini jeneng Negara Surakarta Hadiningrat. Sira padha angertekna sakawulaningsun satalatah ing Nusa Jawa kabeh. (Pawarti Surakarta 1939 : 26)[1]

Sabda raja penanda berdirinya kota Solo telah selesai, doa dan rasa syukurpun tak luput dipanjatkan. Dua pohon beringin ditanam di tengah-tengah alun-alun utara. Dipimpin oleh Patih Pringgalaya dan Patih Sindureja. Beringin di sebelah timur diberi nama Kyai Jayandaru dan di sebelah barat diberi nama Kyai Dewandaru. Di alun-alun selatan pun dilakukan penanam pohon beringin kurung sekembaran yang dipimpin oleh Bupati Mancanegara. Dan pada 17 Suro 1670 tahun Jawa, secara resmi ditetapkan sebagai berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Secara umum pohon beringin kembar mempunyai makna pengayoman, kewibawaan, dan kehidupan.
Menilik lebih jauh tentang pohon beringin kurung sekembaran mempunyai arti sebagai kesempurnaan hidup yang harus dicapai oleh manusia tetapi dalam menjalani itu semua harus ada batasannya tidak boleh berlaku semaunya.

Berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat atau yang lebih akrab disapa Keraton Solo menjadi tonggak awal berdiri kota Solo sekaligus menjadi keraton terakhir Kesultanan Mataram Islam sebelum perjanjian Giyanti membelah Mataram menjadi dua kekuasaan kemudian di Surakarta sendiri terpecah lagi menjadi dua kekuasaan yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran. Maka dari itu jika berkunjung ke kota Solo tidak lengkap rasanya jika belum berkunjung ke keraton.

Pada dasarnya antara Keraton Solo maupun Jogja tidaklah jauh berbeda karena salah satu arsitek perancang kedua keraton adalah orang yang sama yaitu Pangeran Mangkubumi yang kemudian dikenal dengan Sultan Hamengku Buwono I. Secara garis besar keraton terdiri dari kompleks kedhaton, kemudian alun-alun, dan masjid agung. Jika di Keraton Jogja hampir semua bisa dimasuki wisatawan, hal yang berbeda ketika di Keraton Solo. Di Keraton Solo tidaklah semua bisa diakses wisatawan, hanya beberapa bagian saja yang bisa diakses wisatawan. Halaman keraton yang berisi 77[*] pohon sawo kecik dengan alas pasir dari pantai selatan dan gunung Merapi serta bagian museum keraton yang bisa dimasuki wisatawan. Pohon sawo kecik mengandung makna filosofis, yaitu Sarwo Becik, yang berarti serba baik.



Kepindahan dari Kartasura ke desa Sala diikuti pula dengan pembangunan keraton baru. Pembangunan keraton dilakukan secara bertahap dan puncaknya adalah ketika tampu kekuasaan keraton berada di bawah pemerintahan Paku Buwono X di mana semasa kepemimpinannya keraton direnovasi besar-besaran dan membuatnya tampak lebih megah. Salah satu yang bisa dilihat adalah Gapura Gladag. Gapura ini dahulu hanya berupa lengkungan besi dan dihiasi dengan hewan buruan. Tapi setelah direnovasi terbentuklah seperti sekarang yang berbentuk bentar dengan 48 bilah pilar di mana angka 48 menandakan usia sang raja ketika merenovasi gapura ini. Serta ditambahkan pula arca berupa Reca Pandita Yaksa yang batunya diambil dari daerah Pandansimping, Klaten.
Dahulu, gapura Gladag bukan hanya sekedar gapura. Tempat antara gapura pertama dan kedua dinamakan Pagrogolan yang berarti diikat. Tempat ini digunakan untuk mengikat hewan-hewan buruan sebelum disembelih. Tempat antara gapura kedua dan ketiga dinamakan Pamurakan, dari kata Murak yang berarti disembelih/dipotong. Di tempat ini hewan-hewan buruan tadi dipotong dan kemudian dibagikan kepada abdi dalem yang sedang berada di sana.


Gladag of toegangsweg naar de aloen-aloen van de kraton van Soerakarta, 1900 (sumber: kitlv.nl)

Memasuki pintu masuk museum keraton maka alangkah baiknya masuk ke dalam halaman terlebih dahulu baru kemudian berkeliling di museumnya. Jika sedang berkunjung dan memakai sandal maka diharuskan melepaskannya ketika masuk ke halaman sedang jika memakai sepatu tidak perlu melepaskannya. Hal ini dilakukan untuk tetap menghormati keraton. Mengingat keraton masih memegang teguh pakem-nya. Udara sejuk langsung menyapa, meski hanya di halamannya saja tapi aura keraton memang terasa. Ya, aku bisa membayangkan betapa magisnya keraton waktu dulu.

Di sebelah utara halaman keraton berdiri megah Panggung Sangga Buwana tapi beberapa bagian yang terbuat dari kayu seperti jendela sangat perlu untuk diperbaharui. Panggung ini dibangun sebagai alasan politis dan spiritual. Dari sisi spiritual, Panggung Sangga Buwana adalah tempat bertemu Sinuhun dengan Kanjeng Ratu Kidul sedang secara politis, panggung ini digunakan untuk mengamati gerak-gerik Belanda di mana pihak Belanda sendiri juga membangun benteng pertahanan tak jauh dari keraton. Benteng itu bernama Vastenburg.



Di halaman yang berisi 77[*] pohon sawo kecik ini juga terdapat Bangsal Maligi dan Sasono Sewaka yang menjadi pendopo utama dari keraton, di mana acara kebesaran kerajaan dilangsungkan di sini. Di depan Bangsal Maligi terdapat Bangsal Pradangga Lor digunakan untuk memainkan gamelan dan Bangsal Pradangga Kidul atau Bangsal Musik digunakan untuk tempat memainkan musik moderen atau orkes. Tak jarang pula ketika berada di halaman keraton ini terdapat abdi dalem yang sedang menaruh sesajen. Tak perlu berpikir buruk mengenai hal itu jika tak paham maksud di baliknya. Cukup hormati saja.




Beralih dari halaman keraton, selanjutnya adalah menyusuri berbagai macam koleksi dari museum keraton. Dari kursi hadiah Belanda, topi kebesaran raja, arca, replika kesenian, kereta kencana, pusaka, hingga peralatan dapur yang digunakan untuk keperluan keraton tersaji runtut di museum keraton. Di antara museum keraton terdapat taman dan sebuah bangunan terbuka yang terdapat sumber mata air dari Sumur Kakipaten atau dikenal juga dengan nama Sumur Songo. Ada pula sisa kayu Jati dari hutan Donoloyo, Wonogiri. Sebuah hutan Jati yang kayunya hanya boleh digunakan untuk kepentingan keraton. Terdapat juga maket mengenai tata letak keraton. Dalam maket terlihat bagian-bagian yang tidak boleh sembarangan dimasuki disebut dengan Keraton Kilen. Di tempat inilah raja dan keluarganya tinggal. Di sini pula terdapat taman sari tapi bukan untuk pemandian melainkan untuk meditasi raja dan pangeran, bernama Taman Sari Bandengan.



Salah satu yang masih tersimpan rapi adalah kereta kencana Kyai Grudo. Kereta ini adalah pemberian VOC dan itu jelas terlihat di badan kereta yang terukir lambang perusahaan dagang kompeni Belanda ini. Kyai Grudo ini adalah kereta kencana yang digunakan Paku Buwono II saat upacara Boyong Kedhaton. Delapan ekor kuda menarik kereta pemberian Belanda ini ketika Sang Sunan melakukan kepindahan dari Kartasura menuju desa Sala.
Delapan ekor kuda sudah siap menarik kereta. Sang Keizer pun sudah duduk di dalamnya. Pejabat tinggi, tentara, pembawa regalia, pembawa pusaka dan segala uborampe-nya berbaris rapi mengawal kepindahan keraton dalam upacara Boyong Kedhaton. Dan inilah saksi bisu kepindahan dinasti Mataram dari Kartasura menuju Surakarta. Kereta Kyai Grudo.

Kereta Kencana Kyai Grudo


Kereta Kencana Kyai Grudo (depan) dan Kyai Morosebo (belakang)

Kereta kencana ini dibuat sekitar tahun 1700 - 1725 dengan roda belakang berjeruji 14 sedang roda depan berjeruji 12. Langgam Eropa sangat kental mengingat banyak kereta kencana abad 18 dibuat di Belanda di mana unsur kebudayaan Eropa tak bisa lepas. Jika senang melihat film dengan setting pada Eropa abad pertengahan terlebih di periode kekaisaran Perancis masa raja-raja Louis, maka tidaklah asing dengan kereta semacam ini. Hiasan badan kereta berupa ukiran singa dan malaikat dipengaruhi oleh gaya Marot-Louis XVI dan gaya Jawa.

Panjang: 525 cm
Lebar: 178 cm
Tinggi: 238 cm
Diameter roda depan: 85 cm
Diameter roda belakang: 184 cm
Jarak roda depan dan belakang: 174 cm


Canthik Kapal Rajamala (tengah) dan pengawalnya

Selain kereta kencana Kyai Grudo adapula kereta kencana Kyai Morosebo, selain itu juga ada kereta jenazah Paku Buwono X yang sudah termakan usia. Di salah satu sudut terdapat Canthik atau hiasan kapal Rajamala. Kapal Rajamala adalah salah satu kapal termahsyur pada jamannya. Satu dayung kapal digerakan oleh lima orang dewasa. Dahulu ketika Rajamala sedang berlayar selalu didampingi oleh empat kapal pengawal yang masing-masing juga mempunyai Canthik-nya tersendiri. Bagian yang tersisa dari kapal Rajamala adalah bagian Canthik dan satu dayungnya saja sedang kapalnya sendiri hanyut ketika banjir besar menghantam kota Solo. Replika dari kapal Rajamala bisa dilihat di Museum Radya Pustaka.

Beberapa koleksi museum lainnya:









Kereta Kencana Kyai Morosebo

Masih banyak lagi koleksi museum yang akan sangat panjang jika hanya dituliskan lewat blog, karena setiap koleksi museum keraton memiliki kisahnya tersendiri dan sangat menarik kisah dibaliknya.
Pada akhirnya keraton yang dahulu adalah pusat pemerintahan suatu negara kini sudah berubah fungsinya menjadi pusat pelestarian kebudayaan Jawa walaupun di dalam rumah tangga keraton sendiri masih terdapat pemerintahan namun hanya terbatas pada lingkungan keraton saja.


Sumber/referensi pendukung:
* Perpustakaan Nasional Republik Indonesia mengenai Keraton Solo.
* keraton.perpusnas.go.id
* timlo.net


Terjemahan:
[1] Hai hambaku, dengarkan semuanya sabda saya. Saya berkeinginan sejak hari ini, desa di Sala saya ambil namanya, saya tetapkan menjadi negara saya, saya beri nama negara Surakarta Hadiningrat. Kalian siarkanlah ke seluruh rakyatku di seluruh wilayah Tanah Jawa seluruhnya.
[*] Perlu adanya referensi tambahan tentang jumlah pohon Sawo Kecik karena banyak versi. Ada yang menyebutkan 76, 78, bahkan ada yang menyebutkan berjumlah 88.



Catatan tambahan:
* Harga tiket masuk museum keraton sebesar Rp. 10.000,-
* Gunakanlah pakaian yang sopan.
* Jam buka keraton setiap hari kecuali hari jumat, mulai jam 09.00 -14.00.
* Apabila ingin mengatahui lebih dalam tentang keraton saat berkunjung, sewalah pemandu. Pemandu ini juga abdi dalem keraton. Harganya kurang tahu saya, tanyakan saja pada saat pembelian tiket masuk.
* Bila ada kesalahan penerjemahan/informasi mohon dikoreksi.

Post a Comment

2 Comments

  1. Berasa ikut tour sudut2 ruangannya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nuwun :)

      Tapi sebenarnya masih banyak yang belum diceritakan terutama di sudut-sudut museumnya, hehehe.

      Delete