Candi Cetho dan Redupnya Surya Majapahit

Keberadaan gunung Lawu memang menyimpan banyak misteri termasuk juga tentang peradaban yang pernah hidup di Wukir Mahendra Giri. Di tepi barat lereng gunung Lawu tersimpan sisa peradaban masa Hindhu-Buddha yang dipercaya sebagai peninggalan salah satu kerajaan termahsyur di Nusantara.

Perjalanan episode Hindhu-Buddha kali ini, mengunjungi salah satu candi peninggalan kerajaan Majapahit di akhir masa kejayaannya. Candi yang berada di atas ketinggian sekitar 1400 mdpl dan selalu berselimut halimun.

Ditemukan pertama kali oleh Van der Vlis di tahun 1842, selanjutnya penemuan candi ini tak luput dari perhatian para ahli purbakala dan di tahun 1928 oleh Commissie vor Oudheiddienst (Dinas Purbakala Hindia Belanda) dilakukan penggalian untuk proses rekonstruksi. Proses identifikasi candi tak berakhir begitu saja, pada tahun 1970-an dilakukan lagi pemugaran namun sayang pemugaran ini kurang memperhatikan sisi arkeologis sehingga keaslian candi saat ini diragukan.
Majapahit memasuki era baru, bukan kelanjutan era keemasan melainkan era akhir dari perjalanan panjang kerajaan besar ini di Nusantara. Menepinya Prabu Brawijaya V yang konon dikatakan sebagai raja terakhir dari Majapahit ke Wukir Mahendra Giri meninggalkan sebuah jejak. Sebuah jejak peradaban Hindhu yang kini dikenal dengan nama Candi Cetho.


Sebuah arca menyambutku ketika baru saja memasuki candi Cetho. Gapura berbentuk bentar menjulang tinggi menjadi pintu pertama menelusuri jejak peradaban Hindhu di tepi barat lereng gunung Lawu. Letaknya yang berada di ketinggian sekitar 1400 mdpl membuat hawa dingin cukup menusuk kulit. Halimun pagi seraya datang menemani setiap langkahku dari teras yang satu ke teras yang lainnya.

Struktur candi Cetho yang memanjang bukan memusat menjadikan candi ini bermodelkan pundek berundak, sama halnya dengan struktur Candi Sukuh. Struktur yang memanjang dan terus menaik dari teras terbawah hingga teratas ini menjadikan kita seperti menjalani sebuah pendakian gunung di mana konsepsi candi Cetho mempercayai bahwa gunung adalah sebagai tempat tinggalnya para dewa.
Dalam konsep kosmologi Mahameru merupakan sebuah gunung kosmis yang menjadi pusat alam semesta. Candi juga sebagai simbol dari gunung kosmis, selalu diantara gambaran yang mengungkapkan hubungan antara langit dan bumi. Dalam suatu ritus upacara, mendaki candi sama dengan melakukan perjalanan ke pusat dunia. (Etty Saringendyanti, 2008)



Teras pertama hingga teras terakhir tidaklah semuanya terdapat bangunan. Hanya di beberapa teras yang terdapat bangunan, arca, piktogram, maupun panil relief. Di beberapa gapura teras sebenarnya juga terdapat pahatan relief namun sayang kondisi sudah sangat buruk sekali. Di pahatan itu terdapat sengkalan yang mengindikasikan tahun pembuatan candi.

Salah satu teras terdapat sebuah piktogram yang jika dilihat dari atas akan nampak menyerupai burung garuda. Di piktogram ini juga dihiasi dengan relief. Secara keseluruhan piktogram ini merupakan simbol dari harapan akan kesuburan dan relief segitiga dengan kelamin laki-laki di puncak adalah kesatuan antara laki-laki dan perempuan yang merupakan perlambang dari jagad alit dalam diri manusia. Namun juga jika dilihat dari sisi spiritual gambaran piktogram ini berhubungan juga dengan konstelasi Orion.
Piktogram berbentuk garuda ini juga mempunyai sisi spiritual. Dikisahkan bahwa pada suatu malam ketika konstelasi Orion datang maka letaknya akan segaris lurus dengan piktogram garuda ini. Dalam peradaban purba maupun kuno konstelasi Orion sangatlah dipuja dan dikenal sebagai Gerbang Bintang di mana mampu menghubungkan pada kehidupan multidimensional.

Piktogram Garuda


Indikasi candi Cetho digunakan sebagai tempat untuk peng-ruwatan adalah salah satunya berdasarkan panil relief yang terdapat di teras setelah piktogram. Panil relief ini menggambarkan kidung Sudamala. Kidung Sudamala sendiri mengisahkan tentang peng-ruwatan Dewi Durga yang dilakukan oleh Sadewa. Proses ruwatan dalam hubungan dengan konsep candi Cetho perihal gunung dan dewa adalah proses pensucian diri.
Bentuk bangunan, arca maupun relief candi Sukuh maupun Cetho menggambarkan simbol pendakian gunung dalam mencapai kesucian jiwa untuk bersatunya dengan ista dewata. Tema cerita yang digambarkan pada kedua candi itu (Sukuh dan Cetho) melambangkan pensucian diri dari mala. Dengan mendaki candi itu dimaksudkan untuk merenungkan hakekat hidup sebelum mencapai tingkat selanjutnya. (Etty Saringendyanti, 2008)

Salah satu panil relief



Orang-orang berbalutkan kain kampuh silih berganti menuju teras teratas untuk wisatawan. Kabut tipis perlahan pergi tertiup angin. Semilir hawa dingin terus saja terasa. Beberapa orang yang memakai pakaian khas Bali terlihat di teras ini. Merekapun melakukan sembahyang dan seketika orang-orang sekitar yang berada di tempat itu tidak lagi terlalu berisik. Membiar rombongan tadi khusuk melakukan puja.

Di sini (area teras-teras atas) terdapat bangunan peninggalan dari pemugaran tahun 70-an yaitu bangunan-bangunan yang terbuat dari kayu dengan atapnya berupa ijuk. Ada pendopo, ruang berdoa, dan juga tempat arca. Teras paling atas hanya digunakan oleh mereka yang ingin sembahyang, selain itu pagar besi pembatas selalu dikunci.




Nampaknya Sang Prabu membangun candi ini me-ruwat kerajaan agar situasi dan kondisi Majapahit menjadi stabil kembali. Tetapi apalah daya, surya dari kerajaan termahsyur itu mulai meredup. Sang raja dan pengawal setianya bernama Sabdo Palon, kini berada jauh dari ibu kota kerajaan. Mereka menepi di tepi barat lereng Wukir Mahendra Giri. Majapahit sudah berada diambang kehancuran dan akhirnya di puncak Gunung Mahendra mereka berdua moksa. Pengawalan setianya moksa di Hargo Dumiling dan Sang Prabu moksa di Hargo Dalem.


***
Peninggalan kerajaan Majapahit yang terletak di lereng gunung Mahendra ini meninggalkan sebuah jejak yang perlu untuk terus digali. Pemahaman akan nilai-nilai yang terkandung dalam suatu candi perlu untuk terus disampaikan. Candi bukan hanya kumpulan batu-batu yang disusun sedemikian rupa. Dibalik sebuah candi ada pembelajaran penting yang tidak ada salahnya untuk dipahami. Seperti Candi Cetho yang mengajarkan bahwa adanya pensucian diri untuk merenungkan hakekat hidup sebelum menuju ke tingkat yang lebih tinggi.


Referensi/sumber pendukung:
* Etty Saringendyanti. 2008. Candi Sukuh dan Ceto Di kawasan Gunung Lawu: Peranannya pada Abad 14-15 Masehi. Fakultas Sastra. Universitas Padjadjaran. Bandung.
* Kepustakaan Candi. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia tentang Candi Cetho.
* Deddy Endarto.


Catatan tambahan:
* Perjalanan menuju Candi Cetho dari kota Solo ditempuh kurang lebih sekitar satu setengah jam dengan rute sebagai berikut:
Solo - Karanganyar kota - Ngargoyoso - kebun teh Kemuning - dari kebun teh Kemuning ikuti jalan saja hingga bertemu pertigaan ke arah Candi Cetho dan Jenawi - sampai di pertigaan belok kanan - ikuti jalan saja - sampai si Candi Cetho.
* Pastikan kendaraan dalam kondisi prima karena medan jalan cukup ekstrim dengan tanjakan dan turunan tajam. Pastikan juga pengemudi dapat dipercaya.
* Jalan menuju Candi Cetho banyak yang berlubang, jadi hati-hati ketika memasuki jalan ke candi.
* Harga tiket masuk candi sebesar Rp. 7000,00
* Kain kampuh disediakan di dekat loket masuk dengan biaya seikhlasnya.
* Episode Hindhu-Buddha lainnya bisa dilihat di label Hindhu-Buddha.
* Candi Cetho juga menjadi jalur pendakian Gunung Lawu via Cetho.
* Dan jangan lupa untuk tetap sopan ketika sedang mengunjungi candi manapun.

Post a Comment

2 Comments