Candi Sukuh: Kidung Di atas 910 Mdpl

Sudah banyak yang mengulas tentang candi ini dan tak jarang pula ulasannya menyematkan kata porno, vulgar, ataupun erotis untuk candi ini. Sungguh, sungguh disayangkan sekali entah itu untuk tujuan daya tarik wisata ataupun hanya sekedar judul yang mengundang klik pembaca. Candi yang sejatinya suci, tempat yang disucikan mendadak dicap porno nan erotis lantaran beberapa arca dan reliefnya sangat begitu natural hingga bentuk penis dan vaginapun begitu jelas. Apakah mereka yang menganggap candi ini porno nan erotis tidak ingin tahu mengapa ada relief seperti itu di tempat yang suci? Memang tak salah jika ada anggapan seperti itu tapi alangkah baiknya dan bijaknya, tidak lagi memberi label porno nan erotis pada candi ini atau jangan-jangan memang pikirannya sudah begitu ngeres-nya ketika melihat relief penis dan vagina di candi ini, hehehe.


Keberadaan Candi Sukuh memang memiliki daya tarik tersendiri, bukan hanya tentang relief dan arcanya melainkan juga candi Sukuh sendiri berada di lereng gunung Lawu dan di atas ketinggian 910 mdpl. Sesuatu yang jarang sekali ditemukan di wilayah Jawa Tengah khususnya, jika berbicara tentang peninggalan masa kerajaan Hindu. Candi ini masih menyimpan begitu banyak misteri tentang pembuatannya. Tentang fungsinya, pemilihan lokasi yang begitu tinggi, pahatan relief, dan juga tentang tata letak candi yang manjang bukan memusat. Arsitektur candi Sukuh dikatakan menyimpang dari Wastu Widya. Pedoman Wastu Widya[1] mendasarkan tentang bangunan candi berpola memusat.

Langit nampak cerah namun sesekali terselimuti awan, matahari mulai bergulir menuju ufuk barat. Semilir hawa sejuk menjadi teman perjalanan menuju candi Sukuh. Di penghujung tahun 2016 aku berkesempatan mengunjungi kembali candi ini. Sudah beberapa kali ke candi Sukuh namun rasa penasaran masih saja membayang. Candi Sukuh masih menyimpan banyak misteri yang belum terpecahkan.
Apakah sengkalan yang tertulis di gapura pertama adalah tahun pembuatan candi? Atau tahun itu merujuk pada tahun perenovasian candi Sukuh? Mengingat gaya candi yang berteras seperti ini lazim ditemui ketika jaman Megalitik. Terlebih jika berbicara Wastu Widya, candi Sukuh sudah menyimpang dari aturannya. Aku juga tak tahu akan hal itu, perlu adanya kajian yang mendalam lagi.
Mengunjungi candi seperti ini bagiku sangat memanjakan imajinasi. Aku diajak untuk memutar garis masa, menembus lorong dimensi ruang dan waktu dimana candi Sukuh masih begitu aktif digunakan. Membayangkan orang-orang kala itu begitu khusyuknya ketika memasuki area candi entah untuk beribadah atapupu proses ruwatan.



Memasuki teras pertama, sebuah gapura paduraksa[2] dengan ukiran Kala masih tampak gagah meski tak bisa memungkiri perihal usianya. Kala diasosiasikan sebagai penolak bala. Dilantai gapura ini pula terdapat relief penis dan vagina yang sangat jelas. Begitu gamblangnya relief ini terpahat di lantai dan tak jarang pula orang langsung berpikir kotor ketika melihat ini. Adanya relief tali yang mengikat dan mengelilingi pada relief penis dan vagina sebenarnya mengajarkan kita bahwa penis dan vagina adalah barang yang harus dijaga dan diikat dalam suatu hubungan tertentu ---pernikahan contohnya.
Relief kelamin laki-laki dan perempuan yang dilingkari dengan tali dan terdapat pada lantai pintu gerbang Candi Sukuh bukan hanya sebagai penolak bala, melainkan memiliki nilai yang cukup kuat dalam terkait dengan etika. Ini menandakan bahwa harga diri manusia salah satunya juga terletak pada kelamin. (Djoko Adi Prasetyo)



Langit masih nampak cerah tetapi awan yang menggantung menutupi pancaran sinar matahari. Beberapa orang dengan balutan kain kampuh silih berganti menuju teras kedua. Sebelum sampai di teras kedua, kita akan melewati sebuah gapura berbentuk bentar.[3] Di teras ini tak dijumpai arca ataupun relief. Beralih ke teras utama atau teras ketiga, di teras utama ini akan dijumpai banyak arca dan relief. Memahami teras ketiga maka kita juga akan memahami tentang Kidung Sudamala,[4] Garudheya,[5] Samudramanthana,[6] dan Nawaruci.[7] Masing-masing kidung ini terkisah dalam pahatan relief yang tersebar di teras ketiga ini. Inti dari kidung-kidung di atas adalah tentang ruwatan atau bisa disebut pensucian diri. Dari panel bergambar ini pula yang memungkinkan tentang indikasi bahwa candi Sukuh digunakan sebagai tempat untuk peng-ruwatan. Bangunan induk candi saat ini sendiri berupa piramida yang terpotong bukan meruncing. Bangunan induk yang sekarang ini diduga sebagai kaki candi sedang candi induknya berupa bangunan dari kayu, menilik terdapat umpak di bagian paling atas. Sebelum menaiki tangga untuk sampai di puncak, terdapat tiga arca kura-kura raksasa. Ketiga arca kura-kura ini dikisahkan sebagai penjelmaan Dewa Wisnu dalam rangka pencarian Tirta Amerta.[8]




Candi Sukuh bukanlah candi porno, vulgar, ataupun erotis. Candi ini mencoba mengajarkan tentang betapa sakralnya penis dan vagina. Terlebih pada relief di gapura teras pertama yang bentuknya begitu jelas.
Perlu diingat, berdasar angka tahun 1437 M itu tidak semua orang bisa membaca dan menulis, oleh karena itu pujangga, undagi pada masanya begitu panjang dan jauh daya prediksinya untuk dapat menuangkan sesuatu tatanan yang bisa dimaknakan oleh masyarakat terkait dengan etika hubungan suami isteri secara fisik berupa simbol. (Djoko Adi Prasetyo)

Anggapan orang yang melabeli candi ini sebagai candi porno, vulgar, dan erotis agaknya perlu diubah. Candi adalah tempat suci, tempat yang disucikan. Tentu ada maksud tersendiri dibuatkannya relief candi yang seperti itu. Bukan sebagai pengumbar nafsu tapi sebagai pembelajaran diri. Terlepas dari tujuan kita datang ke candi yang perlu digaris bawahi adalah untuk tetap menghormati candi itu sendiri. Salah satunya dengan tidak melabeli candi Sukuh sebagai candi porno, vulgar, ataupun erotis.



Referensi/sumber pendukung:

* Djoko Adi Prasetyo. Cerminan Etika dalam Hubungan Antar-manusia. Analisis pada Beberapa Ornamen Candi Sukuh. Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik. Universitas Airlangga. Surabaya.

* Perpustakaan Nasional Republik Indonesia tentang Candi Sukuh.

* Etty Saringendyanti. 2008. Candi Sukuh dan Ceto Di kawasan Gunung Lawu: Peranannya pada Abad 14-15 Masehi. Fakultas Sastra. Universitas Padjadjaran. Bandung.



[1] Kitab pedoman pembuatan bangunan suci Hindu.
[2] Gapura yang memiliki atap penutup.
[3] Gapura berbentuk dua bangunan serupa dan sebangun tetapi merupakan simetri cermin yang membatasi sisi kiri dan kanan pintu masuk. Gapura bentuk ini tidak memilik atap.
[4] Kidung yang menceritakan tentang ruwatan Ranini yang dilakukan oleh Sadewa agar kembali menjadi Dewi Uma.
[5] Kisah tentang Garudheya yang mencari Tirta Amerta untuk proses peng-ruwatan atau pembebasan ibunya dari perbudakan Dewi Kadru.
[6] Kisah tentang pencarian Tirta Amerta dengan mengaduk samudera dimana Dewa Wisnu berubah menjadi kura-kura untuk menopang Gunung Mandara.
[7] Kisah tentang pencarian air suci oleh Bima yang membawanya menemukan jati diri yang sejati.
[8] Air kehidupan yang membuat abadi.



Harga tiket masuk candi sebesar Rp. 7.000,-
Candi Sukuh terletak di Dusun Sukuh, Desa Berjo, Ngargoyoso, Karanganyar, Jawa Tengah.

Post a Comment

4 Comments

  1. Wah ulasannya sungguh berbobot ni, banyak referensinya
    Ternyata candi ini bisa untuk acara ruwatan ya
    Baru tau aku

    Cukup kaget juga pas ada bagian relief menginterpretasikan kelamin pria n wanita

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, candi ini diindikasikan sebagai tempat ruwatan merujuk pada relief yang ditemukan.

      Hahaha, reaksi yang wajar kok kalau datang ke candi Sukuh terlebih jika pertama kali berkunjung.

      Delete
  2. Informasinya mantap jd bs tahu bnyk tentang candi Sukuh

    ReplyDelete