Secuil Kisah Di Pantai Sanglen

Rintik hujan yang sudah menyapaku sedari tiba di pantai ini perlahan pergi dan hanya ada angin laut kala malam ditemani ombak yang menghamtam karang di tepi timur.
Langit malam tak secerah biasanya, jangankan untuk melihat Cygnus, Vega, Deneb, Altair, Crux, untuk melihat satu bintang saja sangat sulit. Namun sesekali satu dua bintang terlihat kemudian tertutup oleh awan lagi dan di sini aku kembali, kembali lagi bersua dengan deburan ombak, angin dan pasir. Bersua lagi dengan sesuatu yang aku sebut pantai.


Kali ini bukan berawal dari suwungnya hati seseorang sehingga acara camping di pantai Srau terlaksana, tetapi untuk menyambut seseorang yang baru saja pulang ke Indonesia setelah kurang lebih dua bulan berada di India. Awalnya kemah ceria ini akan dilakukan pada libur hari raya Idul Adha tapi pada akhirnya baru bisa dilakukan tanggal 24-25 September 2016. Setelah panjang lebar dan intrik yang terjadi di grup Pelarian, eh maksudnya grup chat BBM akhirnya terkumpullah 8 orang ---yang lagi-lagi masih sendiri, hahaha. Dari 8 orang tadi terpisah menjadi dua rombongan. Pertama adalah rombongan Solo yaitu aku, Uno, Mbak Ika, Mas Aji, dan Mas Agung sedang rombongan kedua dari Jogja ada Mbak Ayun yang baru pulang dari India, Mbak Desy, dan Mas Aris.
Kami sepakat untuk bertemu di alun-alun Wonosari sebelum bersama-sama menuju pantai Sanglen. Yap, tempat kemah kali ini berada di pantai Sanglen. Pantai Sanglen sendiri satu lokasi dengan pantai Watu Kodok. Untuk menuju ke pantai ini ikuti saja arah menuju pantai Baron kemudian menuju pantai Sepanjang. Nah di samping pantai Sepanjanglah pantai Sanglen berada tetapi untuk menuju pantai Sanglen kita harus lewat pantai Watu Kodok. Setelah sampai di gapura kayu penunjuk pantai Watu Kodok maka masuk dan tinggal ikuti saja jalannya.


Kami berjanji untuk saling bertemu di alun-alun Wonosari sekitar pukul 10.00 namun kenyataannya adalah pukul 12.00 kami baru bertemu di alun-alun. Karena perut sudah pada kelaparan alhasil kami mampir dulu di warung makan untuk sejenak mengganjal perut yang lapar. Namun ketika sedang asyik makan hujan tiba-tiba turun dengan derasnya. Satu jam berlalu hujan belum juga reda hingga akhirnya sekitar pukul 15.00 hujan yang deras berganti dengan rintik hujan yang syahdu. Lantas kami melanjutkan perjalanan menuju pantai Sanglen dengan rintik hujan yang menemani. Sesampainya di gerbang penarikan retribusi masuk kawasan wisata rintik hujan masih setia. Untuk masuk ke kawasan wisata ini per orang dikenakan biaya 10.000 rupiah. Setelah semua selesai kami pun melanjutkan perjalanan. Tak butuh waktu lama dari gerbang penarikan retribusi, akhirnya kami sampai di pantai Sanglen dan rintik hujan sedikit berkurang. Setelah memarkirkan motor kami pun turun menuju pantai. Untuk menuju pantainya harus sedikit berjalan melewati jalan setapak. Hanya beberapa menit saja dan akhirnya sampai juga di pantai Sanglen.


Kami pun langsung mencari tempat untuk mendirikan tenda karena rintik hujan kembali bertambah. Setelah intrik yang terjadi perihal lokasi akhirnya tenda pun berdiri. Oh iya, untuk bermalam di pantai ini satu orang dikenakan biaya 10.000 rupiah dan itu sudah termasuk dengan fasilitas kamar mandi. Jadi mau bolak balik sesering apapun silahkan tapi ingat harus hemat air! Rintik hujan bukannya pergi tetapi semakin setia menemani.
Perutpun kembali lapar, hahaha. Memanfaatkan mantel hujan sebagai atap untuk berteduh sekaligus memasak makanan. Beberapa hammock pun juga sudah terpasang. Temaram senja kini tak seperti biasanya. Kini senja hanyalah gelap awan mendung. Perlahan malam mulai menyapa dan rintik hujan semakin deras. Sembari menunggu masakan matang obrolan pun tersematkan untuk mengusir rasa bosan. Hahhh... hujan itu memang aneh, entah mengapa tiba-tiba saja ingatan ini merespon ruang masa lalu. Teringat akan ucapan seorang kawan lama, "Hujan itu aneh bin ajaib. Ia mampu merefleksikan ingatan masa lalu dan apakah kau tahu? Dalam hujan ada lagu yang hanya bisa didengar oleh mereka yang sedang rindu." Rindu? Ahhh... mungkin itu yang dirasakan sebagian dari rombongan ini, hahaha.


Beberapa rombongan silih berganti. Disamping tempat kami mendirikan tenda kini sudah penuh dengan tenda yang lain pula. Masakan pun sudah matang dan siap untuk disantap. Meski hanya berupa mie instan dengan ditambah sayuran tapi itu cukup nikmat karena suatu kebersamaan ditambah rintik hujan yang masih saja enggan pergi. Ahhh... menambah syahdu suasana malam ini.
Obrolan-obrolan pun tak lepas dari kami. Bukan lagi di bawah Sang Galaxias dengan berjuta-juta bintang di langit maupun konstelasi bintang yang penuh legenda tapi di bawah rintik hujan dan gemuruh ombak yang menghantam karang. Ada yang membahas musik, ada yang berkisah ketika di India, dan ada pula yang berkisah tentang persoalan hati. Iya hati! Hati tetaplah hati, bagaimanapun juga ia punya sisi yang harus tersentuh untuk meredam rindu. Perkara cinta pun juga tak luput. Cinta dan hati memang tak bisa dipisahkan.
"Ahh, cinta selalu saja misterius. Jangan diburu-buru atau kau akan merusak jalan ceritanya sendiri." ~ Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah.
Malam semakin larut dan rintik hujan kini sudah pergi. Satu persatu dari kami pun tidur. Ada yang tidur hammock macam Mbak Ayun, Mas Aji, Mas Aris pun juga yang di tenda ada Uno, Mbak Desy, dan Mbak Ika sedang Mas Agung tidur di tepi pantai beralaskan matras. Aku sendiri belum terasa mengantuk lantas aku pergi di tepi pantai menyusul Mas Agung. Nampaknya bintang malam ini terlalu malu untuk bersinar. Cygnus, Vega, Deneb, Altair, Crux, dan konstelasi lainnya tak terlihat. Di sebelah kiri, karang yang tegar terus saja dihantam ombak dan di sisi kanan, api unggun yang dibuat kelompok lainnya begitu membara selaras dengan gurauan mereka yang tertawa lepas. Sedang aku di sini hanya sendiri ditemani Mas Agung yang sudah tidur menikmati suasana dua sisi tadi yang begitu kontras.
Secangkir kopi hangat yang aku buat sudah habis dan satu dua bintang yang sesekali nampak kini tertutup awan mendung. Rintik hujan perlahan kembali menyapa dan aku kembali ke tenda untuk menuntaskan rindu dalam mimpi.

Cahaya matahari mulai bersinar dari balik karang, malam pun berganti dengan pagi. Begitu cerah pagi ini. Suasana pagi pantai begitu khas. Kami beranjak ke tepi pantai untuk menikmati pagi ini tentu dengan obrolan yang selalu tersematkan. Pagi ini kami juga membersihkan pantai dari sampah plastik yang berserakan ditempat ini. Tiga trash bag yang kami bawa penuh dengan sampah plastik. Tahu sendiri kan artinya. Pun ada pula yang memasak untuk makan pagi. Masakan sudah siap tersaji dan perut yang lapar sudah terpenuhi haknya. Beberapa dari kami ada yang bermain air di pantai, ada pula yang bersantai di hammock. Matahari mulai meninggi dan kami pun juga sudah membereskan semua perlengkapan kemah.



Panas matahari mengantarkan kami pulang dan meninggalkan secuil kisah tentang curahan hati, cinta, dan cerita tentang pantai Sanglen.

Post a Comment

0 Comments