Ahhh... entah kapan terakhir kali menikmati pasir, angin, ombak, dan terik mentari. Aku sendiri tak lagi ingat kapan terakhir kali bersua dengan sesuatu yang aku sebut pantai. Perjalanan camping bersama para Pejalan (jomblo) Kesepian di pantai Srau menjadi obat rindu dengan sesuatu yang aku sebut pantai.

Bermula ketika ajakan Mas Aji yang suwung (hatinya) karena tak ada kegiatan ketika liburan lebaran, terkumpul tujuh orang pengelana (kesepian) berkemah ria di Pantai Srau, Pacitan, Jawa Timur. Ini sebenarnya bukan pertama kali dolan bareng bersama mereka, namun yang lalu biarlah berlalu dan mantan tak selamanya harus dilupakan ---if you know what i mean, hahaha. Pantai ini mengingatkanku akan perjalanan dulu bersama kawan lama, dimana Dik Tik tersengat ubur-ubur dan terkapar di pinggir pantai, hahaha.
Sabtu pagi menjadi hari keberangkatan para pengelana kesepian ini setelah intrik yang terjadi dalam pembahasan grup. Perjalanan dari Solo menuju pantai Srau menghabiskan waktu sekitar 3,5 jam. Itupun karena jalannya santai. Rute yang diambil kali ini berbeda ketika bersama jejaka Pakelonan dulu, jika dulu mengambil rute jalan raya Solo-Pacitan via Ngadiraja-Batu maka kali ini mengambil rute Pracimantoro.
Sepanjang perjalanan suasana arus balik sudah terasa, di beberapa ruas jalan kendaraan pribadi mengular panjang. Beberapa kali berhenti sejenak untuk melegakan bokong yang terasa panas, hahaha. Memasuki daerah Pacitan jalanan mulai mulus kontras dengan jalanan di Wonogiri yang masih saja banyak yang bergelombang bahkan rusak parah. Belokan demi belokan terlewati, lirih terdengar suara ombak yang menghempas. Rasa lelah seakan sirna ketika mendengar suara-suara ombak yang menerjang ditemani deru angin laut. Akhirnya sampai juga di Pantai Srau. Harga tiket masuk perorang hanya 5000 rupiah dan untuk retribusi masuk sepeda motor sebesar 2000 rupiah. Kami langsung menuju pantai yang ada di bagian barat. Beristirahat di bawah pohon kelapa ditemani angin pantai yang khas. Canda dan obrolan ringan tersemat diantaranya.


"Kok enek wong kemayune koyo ngono." kira-kira begitu ucap Mas Yuli untuk seseorang. Siapa? Hahaha, tebaklah sendiri, hehehe.
Rintik gerimis tiba-tiba turun namun hanya sekejap saja. Matahari mulai condong ke arah barat dan kami putuskan untuk beranjak pergi menuju bukit karang. Dari atas bukit karang kita bisa melihat matahari perlahan pergi namun hadirnya senja terhalang oleh mega. Senja tetaplah senja. Ia akan selalu menjadi sebuah cerita yang menarik seperti kisah kita ketika sedang bersama.
Ditemani ombak yang berkali-kali menghantam karang, kami menghabiskan senja yang terhalang mega tadi. Suasana nyaman, angin semilir menghujam badan, ber-glundungan ria di atas bukit karang hingga matahari hampir terbenam.


Lantas kami segera turun dan mencari tempat untuk bermalam. Terpilihlah lokasinya di pantai sebelah timur. Kata Mas Aji, "Ben nek sunrise, langsung mak byak soko tenda," hahaha.
Beberapa dari kami memasang hammock. Tenda pun tak luput untuk didirikan. Perlahan gelap malam kian datang namun di sebelah timur laut nampak pancaran lampu kota Pacitan kontras dengan yang ada ditengah laut yang tertutup awan mendung dengan kilat yang sesekali menyambar. Namun di tepi pantai ini satu persatu bintang mulai muncul dan menghiasi langit malam.
Waktu kian berlalu, malam terang dengan ribuan bintang dihiasi Pita Kabut dari Sang Galaxias. Ahhh... Sang Galaxias! Deru angin dan ombak seakan ingin membisikkan bahwa Senandung Rindu Sang Galaxias telah kembali namun ada yang berbeda, bukan lagi berdua bersamamu di atas bukit karang yang dihantam ombak tetapi dengan para pejalan (kesepian) di tepi pantai.

Merindukan hadirmu dengan segala kisah yang kau kisahkan seperti kisah Sang Pemburu Orion yang kau kisahkah di malam itu di atas bukit karang yang dihantam ombak hingga membuat aku jatuh hati dengan kisah dibalik setiap konstelasi bintang.
Tapi, rindu ini sejenak hilang berganti dengan tawa para kesepian. Obrolan ringan penuh tawa menghangatkan sepanjang malam. Ada pula Mas Yuli yang sudah sibuk memotret "Dalan Susu", atau yang bersantai di hammock diiringi senandung Untuk Perempuan Yang Sedang Dipelukan dari Payung Teduh, ada pula yang bersantai di tepian pantai.
Malam pun berlalu begitu juga dengan rintik hujan yang sekejap datang. Bersama dengan pudarnya Pita Kabut Sang Galaxias jiwa yang sedang merindu ini lelap tertidur di dalam tenda bersama kenangan rindu: Sang Galaxias.

Perlahan suasana hangat pantai menyapa. Pagi datang dengan suasana yang baru. Beberapa sudah siap menanti datangnya matahari terbit. Ahhh... pantai dan matahari memang tak bisa dipisahkan.
Mas Yuli, Mas Karyz, dan Mbak Retno pulang terlebih dahulu karena siang harinya ada acara sedang aku, Mas Aji, Mas Jaztin, Mbak Titin masih berlanjut untuk menikmati pantai ini. Bukan lagi di timur melainkan pantai yang ada di sebelah selatan yang menghadap langsung dengan samudera Hindia. Ombak ganas khas pantai selatan begitu terasa.


Pagi kian berlalu dan menuju siang. Kami putuskan untuk segera pulang dan meninggalkan secuil kisah: Kisah Rindu Di Pantai Srau.
Bermula ketika ajakan Mas Aji yang suwung (hatinya) karena tak ada kegiatan ketika liburan lebaran, terkumpul tujuh orang pengelana (kesepian) berkemah ria di Pantai Srau, Pacitan, Jawa Timur. Ini sebenarnya bukan pertama kali dolan bareng bersama mereka, namun yang lalu biarlah berlalu dan mantan tak selamanya harus dilupakan ---if you know what i mean, hahaha. Pantai ini mengingatkanku akan perjalanan dulu bersama kawan lama, dimana Dik Tik tersengat ubur-ubur dan terkapar di pinggir pantai, hahaha.
Sabtu pagi menjadi hari keberangkatan para pengelana kesepian ini setelah intrik yang terjadi dalam pembahasan grup. Perjalanan dari Solo menuju pantai Srau menghabiskan waktu sekitar 3,5 jam. Itupun karena jalannya santai. Rute yang diambil kali ini berbeda ketika bersama jejaka Pakelonan dulu, jika dulu mengambil rute jalan raya Solo-Pacitan via Ngadiraja-Batu maka kali ini mengambil rute Pracimantoro.
Sepanjang perjalanan suasana arus balik sudah terasa, di beberapa ruas jalan kendaraan pribadi mengular panjang. Beberapa kali berhenti sejenak untuk melegakan bokong yang terasa panas, hahaha. Memasuki daerah Pacitan jalanan mulai mulus kontras dengan jalanan di Wonogiri yang masih saja banyak yang bergelombang bahkan rusak parah. Belokan demi belokan terlewati, lirih terdengar suara ombak yang menghempas. Rasa lelah seakan sirna ketika mendengar suara-suara ombak yang menerjang ditemani deru angin laut. Akhirnya sampai juga di Pantai Srau. Harga tiket masuk perorang hanya 5000 rupiah dan untuk retribusi masuk sepeda motor sebesar 2000 rupiah. Kami langsung menuju pantai yang ada di bagian barat. Beristirahat di bawah pohon kelapa ditemani angin pantai yang khas. Canda dan obrolan ringan tersemat diantaranya.
"Kok enek wong kemayune koyo ngono." kira-kira begitu ucap Mas Yuli untuk seseorang. Siapa? Hahaha, tebaklah sendiri, hehehe.
Rintik gerimis tiba-tiba turun namun hanya sekejap saja. Matahari mulai condong ke arah barat dan kami putuskan untuk beranjak pergi menuju bukit karang. Dari atas bukit karang kita bisa melihat matahari perlahan pergi namun hadirnya senja terhalang oleh mega. Senja tetaplah senja. Ia akan selalu menjadi sebuah cerita yang menarik seperti kisah kita ketika sedang bersama.
Ditemani ombak yang berkali-kali menghantam karang, kami menghabiskan senja yang terhalang mega tadi. Suasana nyaman, angin semilir menghujam badan, ber-glundungan ria di atas bukit karang hingga matahari hampir terbenam.
Lantas kami segera turun dan mencari tempat untuk bermalam. Terpilihlah lokasinya di pantai sebelah timur. Kata Mas Aji, "Ben nek sunrise, langsung mak byak soko tenda," hahaha.
Beberapa dari kami memasang hammock. Tenda pun tak luput untuk didirikan. Perlahan gelap malam kian datang namun di sebelah timur laut nampak pancaran lampu kota Pacitan kontras dengan yang ada ditengah laut yang tertutup awan mendung dengan kilat yang sesekali menyambar. Namun di tepi pantai ini satu persatu bintang mulai muncul dan menghiasi langit malam.
Waktu kian berlalu, malam terang dengan ribuan bintang dihiasi Pita Kabut dari Sang Galaxias. Ahhh... Sang Galaxias! Deru angin dan ombak seakan ingin membisikkan bahwa Senandung Rindu Sang Galaxias telah kembali namun ada yang berbeda, bukan lagi berdua bersamamu di atas bukit karang yang dihantam ombak tetapi dengan para pejalan (kesepian) di tepi pantai.
Merindukan hadirmu dengan segala kisah yang kau kisahkan seperti kisah Sang Pemburu Orion yang kau kisahkah di malam itu di atas bukit karang yang dihantam ombak hingga membuat aku jatuh hati dengan kisah dibalik setiap konstelasi bintang.
Tapi, rindu ini sejenak hilang berganti dengan tawa para kesepian. Obrolan ringan penuh tawa menghangatkan sepanjang malam. Ada pula Mas Yuli yang sudah sibuk memotret "Dalan Susu", atau yang bersantai di hammock diiringi senandung Untuk Perempuan Yang Sedang Dipelukan dari Payung Teduh, ada pula yang bersantai di tepian pantai.
Malam pun berlalu begitu juga dengan rintik hujan yang sekejap datang. Bersama dengan pudarnya Pita Kabut Sang Galaxias jiwa yang sedang merindu ini lelap tertidur di dalam tenda bersama kenangan rindu: Sang Galaxias.
Perlahan suasana hangat pantai menyapa. Pagi datang dengan suasana yang baru. Beberapa sudah siap menanti datangnya matahari terbit. Ahhh... pantai dan matahari memang tak bisa dipisahkan.
Mas Yuli, Mas Karyz, dan Mbak Retno pulang terlebih dahulu karena siang harinya ada acara sedang aku, Mas Aji, Mas Jaztin, Mbak Titin masih berlanjut untuk menikmati pantai ini. Bukan lagi di timur melainkan pantai yang ada di sebelah selatan yang menghadap langsung dengan samudera Hindia. Ombak ganas khas pantai selatan begitu terasa.
Pagi kian berlalu dan menuju siang. Kami putuskan untuk segera pulang dan meninggalkan secuil kisah: Kisah Rindu Di Pantai Srau.
2 Comments
Aku sedih campur ngakak campur prihatin campur baper bacanya. Trs aku kudu py???? :v pejalan (jomblo), suwung (hatinya), pejalan (kesepian). :'( hiks
ReplyDeletewkwkwk, kowe kudu melunturkan lemak2 di perut dan pipi mas :v
Delete