Berjumpa Sejenak

“Kok suwemen kie, macet po?”
“Iyo, macet neng Wonogiri kota.”
“Hahaha, lha kwi sing tak rasake mben dino.”


Percakapan ini menjadi kalimat pembuka ketika aku baru saja sampai di rumah kawan lama semasa kuliah di jurusan Teknik Sipil Infrastrukur Perkotaan dulu.

Lebaran baru berjeda beberapa hari. Jalanan kota yang menjadi tempat tujuan pulang kampung masih dipenuhi para pemudik. Tak terkecuali juga ketika aku berkunjung ke rumah kawan semasa kuliah dulu. Berada di hampir ujung Timur Wonogiri; Slogohimo. Perjalananku kali ini sedikit terhambat lantaran jalanan menuju Slogohimo masih padat. Butuh waktu hingga 2,5 jam perjalanan hingga aku sampai di rumah kawanku itu. Padahal, biasanya aku hanya membutuhkan waktu sekitar satu jam empatpuluh lima menit.


Sesampainya aku di sana, seperti yang aku tuliskan di awal bila kalimat-kalimat itu menjadi pembuka salam yang sudah lama tidak bersua. Ketika masa Pakelonan sudah habis, sudah barang tentu pertemuan di antara jejakanya semakin sulit. Seperti Apif ini atau yang lebih akrab dipanggil Kuc dari kata Kucing.
Dalam buku Pakelonan bab 4 yang berjudul Kuc-Kus, tertuliskan bahwa Kuc dan Kus adalah panggilan untuk duo kakak-adik. Kuc dari kata Kucing dan Kus dari kata Tikus. Panggilan ini, Kuc-Kus, hanya akan sempurnya bila Apif dan Arif yang mengucapkannya.
Hanya Apif yang berada di rumah saat aku sampai. Tangan ini kembali berjabat, menuntaskan tatap yang selama ini hanya saling sapa di grup Infrastruktur. Pun tangan ini kembali berjabat dan saling mengucap maaf untuk segala perbuatan maupun ucap. Kedatangaku tahun ini bersama dengan buku Pakelonan yang terbit kembali pada Agustus 2018. Dan satu lagi tanda tangan dari karakter yang tertulis menghiasi buku Pakelonan.


Buku Pakelonan.

Bisa kembali bertemu seperti ini menjadi mahal. Mahal bukan perkara ukuran uang, namun mahal dalam ukuran waktu. Aku berada di Solo dan Apif merantau ke Jakarta. Ya, momen lebaran seperti ini yang bisa membuat kami bertemu. Pun dengan jejaka Pakelonan yang lainnya. Sudah sangat susah untuk berkumpul. Apalagi bisa berkumpul lengkap. Itu sesuatu yang sangat begitu mahal.

Lama tidak bersua membuat obrolan kami tiada habisnya. Kisah tentang kekonyolan kami semasa kuliah dulu juga tak luput diobrolkan. Memang, kisah kekonyolan semasa kuliah selalu saja bisa membuat suasana menjadi lebih hangat. Tentunya juga dengan tawa yang mudah terukir ketika mengenang itu semua.

Setelah cukup lama di rumah Apif, kami memutuskan untuk menuju Girimanik. Memang ini sudah menjadi niatanku sedari awal. Hehehe. Namun, bila berkunjung ke sini tanpa mampir dulu ke Girimanik rasanya seperti ada yang kurang. Tanpa basa-basi lagi kami segera menuju ke Girimanik.


Dalam perjalanan ke Girimanik aku sempat bertanya ke Apif apakah jalannya sudah diperbaiki atau belum. Karena sejak pertama kali ke sini pada tahun 2013 hingga tahun 2017 jalan menuju Girimanik sangatlah buruk. Bergeronjal sepanjang jalan! Namun, ternyata jalan yang dulunya sangat rusak kini sudah beraspal mulus. Hal ini juga membuat perjalanan kami lebih singkat. Girimanik juga semakin berubah. Bila dulu hanya menawarkan air terjun saja namun kini sudah ada rumah pohon yang berada di dekat pintu masuk.

Memasuki jalan menuju tempat kami ngopi, jalan menjadi sempit. Hanya sepeda motor yang diperbolehan masuk. Sepanjang perjalanan bila ada sepeda motor yang terparkir di pinggir jalan namun tak ada orangnya, aku dan Apif langsung berkelakar dan tertawa sendiri. Hahaha. Menuju tempat kami ngopi memang harus ekstra hati-hati, selain menanjak jalan juga sempit. Apalagi di samping langsung berhadapan dengan jurang. Pembatas jalanpun tiada.

Tak berselang lama kami sampai di tempat ngopi. Ternyata sudah begitu banyak orang. Lantas kami langsung menuju tempat ngopi langganan. Sembari menunggu kopi dan gorengan tiba obrolan demi obrolan menemani kami. Suasana dingin yang seperti ini membuat aku dan Apif teringat akan pendakian ke Lawu dulu. Tentunya teringat juga bagaimana lezatnya pisang dengan olesan susu coklat yang dimakan di puncak Lawu, Hargo Dumillah.


Kopi yang kami pesan sudah tiba. Begitu juga dengan gorengannya. Memang kopi di sini bukanlah kopi yang harus digiling terlebih dahulu. Bukanlah kopi yang harus berapa derajat suhu air panasnya. Pun bukan pula kopi yang harus menunggu berapa menit setelah diseduh. Kopi di sini hanyalah kopi kemasan biasa. Namun kopi ini membuat “rasa” tersendiri. Kombinasi suasana, hawa dingin, dan obrolan dengan kawan membuat “rasa” kopi ini menjadi berbeda.

Aku sendiri memang tak berniat ke air terjunnya. Malas saja untuk turun ke bawah atau berjalan ke air terjun yang kedua dan ketiga yang ternyata cukup jauh. Pada tahun 2015 aku dan beberapa kawan juga berkunjung ke sini. Tentunya bersama Apif. Waktu itu kami menuju air terjun yang kedua. Aku pikir hanya memakan waktu 10-20 menit saja, namun perkiraanku salah. Kami harus berjalan hingga 45 menit.

Hah, ternyata cukup lama kami di sini. Ngobrol dari a hingga z yang tiada habisnya. Waktu terasa begitu cepat ketika seperti ini. Tak terasa waktu sudah bergulir menuju sore dan kami putuskan untuk kembali pulang. Sesampainya di rumah Apif lagi aku tak langsung pulang. Kami masih berlanjut menuntaskan tatap. Entah mengapa tiba-tiba saja obrolan kami merujuk pada topik jodoh dan cinta. Ah, topik ini memang selalu hadir di setiap temu dengan kawan lama. Hahaha.



Bonus Pemandangan.

Momen lebaran seperti ini yang bisa membuat aku bersua lagi dengan kawan lama. Seperti dengan Apif. Pagi yang kini sudah berganti malam membuatku harus kembali lagi ke Solo. Kali ini memang belum bisa untuk bermalam di rumah kawanku itu seperti pada kunjunganku yang pertama pada tahun 2013 dulu. Dan pamitan pulang menuju Solo teriring kalimat, “Yen rabi, undangan e ojo lali.” Hehehe.



Catatan tambahan:
* Tiket masuk menuju wisata Girimanik sebesar Rp.20.000.
* Mobil hanya bisa sampai di parkiran depan saja. Bila ingin menuju air terjun maupun tempat ngopi tadi bisa berjalan kaki atau menyewa ojek.

Post a Comment

0 Comments