Wonogiri dan Kawan Lama

Wonogiri, tiga hari lepas lebaran. Jalanan yang biasanya sudah mulai sepi ditinggalkan perantau untuk kembali ke tanah rantau masih terasa padat. Tahun ini aku berkesempatan lagi berkunjung ke rumah teman semasa kuliah dahulu. Berada di hampir ujung timur Wonogiri, Slogohimo. Perjalanan menuju rumah kawanku itu harus aku tempuh dalam dua setengah jam perjalanan dengan sepeda motor. Padahal bila dalam keadaan normal bisa aku tempuh dalam waktu satu jam empat puluh lima menit.

Tak biasanya ketika sudah memasuki arus balik jalanan menuju arah timur masih padat. Barangkali masih ada rasa rindu dengan keluarga yang belum tuntas lepas hari raya. Pulang kampung bukan hanya perkara pulang semata, ada perkara hati yang haus akan suasana kampung, suasana berkumpul dengan keluarga juga sanak saudara.
Pulang kampung atau mudik ---istilah yang baru populer pada tahun 1970-an--- merupakan tradisi yang sudah dijalani masyarakat Indonesia sejak lama. Entah, sejak kapan dimulainya yang pasti mudik menjadi suatu perjalanan tersendiri. Perjalanan untuk kembali ke kampung halaman.
Wonogiri memang dikenal sebagai Kota Perantauan. Banyak dari warga Wonogiri yang memilih untuk bekerja di luar kota. Jauh dari dari sanak saudara. Tak ayal bila memasuki lebaran Wonogiri berubah menjadi kota yang ramai. Jalanan yang biasanya cukup lenggang, dipadati dengan mobil-mobil plat luar AD. Tak jarang titik-titik penting, salah satunya seperti alun-alun kota, menjadi ramai bahkan padat merayap.

Sama ketika aku baru memasuki Wonogiri kota. Kendaraan-kendaraan bermotor sudah mengular panjang. Bahkan untuk sampai di alun-alun Wonogiri dari rumahku yang biasanya bisa ditempuh kurang dari satu jam, kini harus aku tempuh selama satu setengah jam perjalanan.

Zaman berubah, situasi dan keadaan juga ikut berubah. Selain padatnya Wonogiri karena pemudik, perubahan terjadi pada jalanan Wonogiri. Bila dalam beberapa tahun lalu Wonogiri sangat identik dengan jalanan yang rusak kini sudah banyak sekali yang berkurang. Begitu pula dengan pembangunan di Wonogiri yang kian gencar.


“Pye macet? Kok suwe banget tekane.”
“Iyo, macet tekan Wonogiri kota mau.”
“Hahaha, macete pindah. Yo kwi sing tak rasake saben dino.”


Percakapan ini menjadi kalimat selamat datang ketika aku sampai di rumah kawanku yang tengah pulang dari tanah rantau, Jakarta.

Lamanya perjalanan terbayarkan dengan suasana desa yang bagiku begitu nyaman. Tenang nan meneduhkan. Jauh dari hiruk pikuk perkotaan dan tuntutan serba cepat di kota. Walau hanya tinggal di Solo, perubahan Solo begitu cepat. Setiap akhir pekan atau libur panjang tiba Solo tak ubahnya jadi “Jakarta”. Jalanan macet, suara klason saling bersautan, dan suasana nyaman tak lagi didapatkan. Bahkan aku lebih memilih untuk di rumah saja bila akhir pekan atau libur panjang.

Bertemu lagi dengan kawan seperjuangan semasa kuliah dahulu memang membawa obrolan pada kenangan konyol sewaktu kuliah. Kali ini, ketika berkunjung lagi ke sini, buku Pakelonan yang sudah terbit lagi tahun lalu bertemu lagi dengan salah satu karakternya. Sapaan dari kawanku itu “Kuc” dari kata “Kucing” dan akan lengkap bila disandingkan dengan Paduka Tikus yang akrab disapa “Kus”.

Kuc-Kus merupakan salah satu sapaan melegenda di rumah merah jambu; Pakelonan. Saking melegendanya sapaan ini, terabadikan di buku Pakelonan bab empat. Berjudul sama dengan sapaan tadi, Kuc-Kus.
Buku Pakelonan merupakan buku pribadi yang aku tulis untuk mengabadikan beberapa kisah semasa kuliah bersama jejaka-jejaka Pakelonan. Artikel tentang buku Pakelonan bisa dibaca pada post Merangkai Kembali Buku Pakelonan.
Tak hanya kawanku saja yang bisa aku jumpai kali ini. Ada kakak perempuannya dan juga ibunya yang setiap kali aku ke sini selalu memintaku untuk meginap dan pulang pada esokan harinya.

Banyak cerita, banyak tawa, dan tentunya banyak kenangan ketika orang-orang mudik ke kampung halaman. Mudik juga tak hanya bertemu dengan keluarga dan sanak saudara saja. Bertemu dengan kawan lama juga salah satunya. Momen mudik memang memberi kisah tersendiri. Seperti aku yang bisa berjumpa lagi dengan kawan lama semasa kuliah dahulu.

Tanpa terasa pagi yang cerah sudah berganti malam dan aku putuskan untuk pulang ke Solo. Kali ini memang belum bisa untuk bermalam di rumah kawanku itu seperti pertama kali aku berkunjung ke sini pada tahun 2013. Pamitan pulang pada malam itu teriring kalimat, “Yen rabi, undangan e ojo lali.” Hehehe.

*****

Perjalanan menuju kampung halaman tak sekedar dalam kata mudik semata. Namun ada problema hati yang rindu dengan keluarga dan sanak saudara. Pulang memang perkara hati. Laksana dalam lagu Wonogiri Gajah Mungkur yang dipopulerkan salah satunya oleh duet Lord Didi Kempot dan sinden kondang Nurhana, ada suasana yang berbeda, suasana yang bahagia nan mengugah hati ketika sudah lama tidak kembali ke kampung halaman; Wonogiri. Karena sejauh apapun pergi, sejauh apapun melangkah, dan selama apapun meninggalkan kampung halaman, tak ada pulang yang benar-benar jauh.

Post a Comment

0 Comments