Solo Sehalaman Babak 2, dari Roti hingga Yesus

Perjalananku kali ini lain dari biasanya. Bukan ke tempat yang instagramable ataupun ke tempat yang memiliki latar belakang sejarah. Bukan pula camping ke pantai ataupun pergi menemukan kedamaian di gunung. Perjalananku kali ini dipenuhi dengan kata-kata yang menjelma menjadi baris-baris kalimat candu untuk tetap menulis.

Ya, kali ini aku berkesempatan untuk meningkatkan tulisanku dalam acara Solo Sehalaman. Babak pertama dari Solo Sehalaman sudah aku tuliskan pada tulisan sebelumnya. Bila pada pertemuan pertama menulis dengan tema Minggu maka pada pertemuan kedua ini bertemakan Roti.


Copyright Balai Soedjatmoko.

Peserta Solo Sehalaman sudah berkumpul di Balai Soedjatmoko. Pengisi acara pada pertemuan kedua ini juga sudah datang. Tema Roti menjadikan salah satu toko roti legendaris di Solo diundang untuk berbagi perihal roti. Toko roti tersebut adalah Ganep dengan roti Keciknya yang sudah ada sejak zaman Paku Buwono X.

Awal mula berdiri, generasi demi generasi yang menangani Ganep, hingga pasang surut Ganep sebagai toko roti dikisahkah pada Solo Sehalaman babak kedua ini. Ketika ada sesi tanya jawab, aku sebenarnya ingin menanyakan sesuatu. Tetapi aku ragu karena mungkin pertanyaan ini masih tabu dan juga takut bila pertanyaan itu membuka luka lama. Pertanyaan itu berhubungan dengan Mei 1998 di mana Ganep juga terkena imbasnya dan pada akhirnya aku mengurungkan niatan untuk bertanya. Biarlah itu tetap menjadi tanya saja. Toh, tak semua tanya di dunia ini harus dijawab.


Generasi keenam sekaligus penerus Ganep (kiri) dan manajer pemasaran (kanan). Copyright Balai Soedjatmoko.

Setelah Ganep selesai mengisi acara kini kegiatan menulis esai seperti di babak pertama dimulai. Tetapi sebelum menulis pembimbing dari Bentara Muda masih berbagi lagi soal roti. Di antara semua narasi-narasi roti yang diutarakan Bentara Muda aku tertarik pada roti yang menyinggung soal Yesus. Setelah mendengar itu aku mengirim pesan kepada Mas Ang yang notabene ia adalah seoarang Katholik. Jadi paling tidak lebih memahami mengenai roti dan Yesus.

"Mas, enek kisah roti dan Kekristenan kah? Lagi enek kelas menulis iki."
"Kisah roti? Maksude piye?"
"Ya roti dan Kekristenan. Misal roti dan Yesus. Nek ora yo roti dalam Al-Kitab."
"Yo kwi paling 3 roti dan 2 ikan. Isoh memberi makan 500 orang. Ono ning Al Kitab."
"Kisahe pye?"
"Aku lali. 5 roti dan 2 ikan ding."

Hah, aganyak aku bertanya pada orang yang kurang tepat ya. Hahaha. Jawaban yang kurang memuaskan dari Mas Ang membuatku bertemu dengan buku The Robe dan Mbak Setya yang ternyata ia adalah pengagum Yesus meski ia sendiri seorang muslim.

Pertemuanku dengan Mbak Setya ini menjadi sedikit melebar. Bukan hanya soal menulis esai dan apa yang nantinya hendak ditulis saja. Tetapi melebar hingga aku menceritakan perjalananku ketika gejolak keyakinan akan agama menghantui diri ini di tahun 2016 dulu dan berakhir pada apa yang aku yakini saat ini.


Diskusi dengan Mbak Setya ini membuatku mengambil tulisan berjudul Roti Yesus. Esai yang ditulis dalam waktu singkat memang menjadi tantangan tersendiri bagiku. Sama seperti di babak pertama, aku membacakan esai ini. Baik atau jelek tulisan bagiku tak masalah, mendapatkan kritikan itu yang lebih utama agar kualitas tulisan dapat ditingkatkan lagi. Tapi aku sendiri merasa kurang dengan kritik yang disampaikan Bentara Muda pada esaiku kali ini. Jadi aku lempar esai ini kepada kawan-kawan yang lain. Kesinambungan atar paragraf, komposisi inti kalimat, pemilihan diksi, emosi yang masih menggebu-gebu dalam menulis, itu beberapa kritik yang aku dapatkan ketika melempar tulisanku ke beberapa kawan.

Sebelum esai Roti Yesus aku hadirkan di bawah ini, aku akan mengutip hasil diskusiku dengan Mbak Setya. Bahwa tingkat kesolehanmu akan meningkat ketika kamu mau berdamai dan membaca kitab-kitab maupun buku-buku lain yang notabene di luar apa yang kamu percayai sebagai agamamu. Hah, dan berikut adalah esaiku berjudul Roti Yesus. Bila ingin mengritik esai ini sangat dipersilakan.


Copyright Balai Soedjatmoko.

Roti dan Yesus adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Keduanya hadir dalam sebuah ritual Ekaristi. Roti sangat dekat dengan Yesus. Dikisahkan dalam sebuah perjamuan, Yesus membagikan roti yang sudah diberkati dengan doa-doa kepada murid-muridNya. Dalam Bahasa Konstitusi Liturgi dari Konsili Vatikan II, roti dan anggur termasuk unsur yang tidak dapat diubah karena ditetapkan oleh Allah.

Kedekatan roti dan Yesus bukan hanya sampai pada murid-muridNya saja. Suatu kisah tentang Lima Roti dan Dua Ikan menjadi bagian tersendiri. Bagi orang lain lima roti dan dua ikan tetap menjadi lima roti dan dua ikan yang hanya sanggup untuk memenuhi perut beberapa orang saja. Lain hal bila itu di tangan seorang Yesus. Lima roti dan dua ikan bisa untuk memberikan makan kepada ribuan orang.

Dia yang seperti Yesus, berambut gondrong sampai pundak. Bercelana jeans dan juga jaketnya. Berdiri dan menengadah ke langit. Dia bilang, "Tuhan aku ini milikmu, semua tindakanku, aku serahkan ke dalam tanganMu. Melewati alam dan kehidupan."

Mereka Mencari Tuhan dari Kelompok Kampungan barangkali berbeda dengan Sajak Balsem untuk Gus Mus. Bila JokPin "sinis" terhadap meraka yang apa maunya, maunya apa sih, sedangkan Kelompok Kampungan dengan nyentriknya menggambarkan Yesus bercelana jeans dengan jaketnya. Ah, semoga ini tidak menistakan Yesus! Dan membuat demo "Bela Yesus".

Jemaat satu persatu memakan roti dan meminum anggur saat Perjamuan Kudus berlangsung. Di situlah jemaat akan dipersatukan dengan tubuh dan darah Yesus. Perjamuan ini bukan tanpa alasan. Yesus pernah berkata, seperti yang dikutip oleh Rasul Paulus, "Lakukanlah ini untuk menjadi peringatan akan Aku". Perjamuan Kudus seolah menjadi pembelajaran tentang berkat Tuhan. Ketika jemaat menikmati Perjamuan Kudus, hal itu berarti jemaat menikmati berkat dari Tuhan. Berkat ini yang bukan hanya menjadi milik jemaat tetapi juga untuk dibagikan kepada orang lain.

Roti Yesus dalam perjalanannya tidaklah mulus-mulus saja. Lazimnya sebuah siar agama, Roti Yesus mengalami bentrokan tersendiri. Dalam film berjudul Silence yang dibintangi oleh Andrew Garfield, siar akan Roti Yesus mengalami penolakan keras di Jepang. Padere pembawa Roti Yesus harus sembunyi-sembunyi untuk mengadakan ritual. Bila ketahuan ia hanya memiliki dua pilihan yaitu keluar dan berkhianat dari Yesus atau hilang dari muka bumi!

Iman seseorang adalah hal yang misterius. Ia tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Pun digambarkan dengan sesuatu. Misteri iman adalah persoalan hati tiap insan. Seperti Ekaristi yang diutaran oleh Uskup Agung Milwaukee, Timothy Dolan, bahwa Ekaristi adalah "misteri iman" yang bagi kita mustahil untuk bisa kita mengerti dan pahami sepenuhnya. Namun demikian bukan berarti kita tidak perlu belajar, membaca, dan melakukan meditasi dan berdoa atas "misteri" tersebut. Hal yang sama ketika Padere Ferreira meninggalkan Roti Yesus demi kalangsungan hidupnya di Negeri Matahari Terbit. Tapi apakah ia bisa dicap sebagai penghiatan Yesus? Sedangkan nyawa sebagai taruhannya? Rasanya tak adil bila agama yang diyakini harus mempertaruhkan nyawa dalam perjalanannya.

Roti dan Yesus kini sudah menyebar ke berbagai pelosok dunia. Ihwal penentangan agaknya sudah tak terjadi lagi. Yesus berserta roti dan anggurnya pun juga sampai di Indonesia. Diterima dan kini berkembang di penjuru negeri. Diterimanya Roti dari Yesus di Indonesia sudah selayaknya diterima oleh semua kalangan. Baik mayoritas maupun minoritas. Tidak ada alasan untuk membenci Roti Yesus apalagi membenci umatNya. Ini Indonesia Bung! Yang disusun atas keberagaman. Ya, sejatinya agama apapun itu adalah berbagi kasih kepada umatNya dan sesama, menebarkan kebahagian. Kebahagian yang lapang dan sederhana, sesederhana ketika cinta sedang merekah.


Copyright Balai Soedjatmoko.


Berakhirnya perserta membacakan esainya berakhir pula dengan Solo Sehalaman babak kedua ini. Sampai bertemu di babak ketiga dan tetap semangat dalam menulis.


Catatan tambahan:
* Bila ada yang mau mengritik esai ini sangat dipersilakan.

Post a Comment

0 Comments