Solo Sehalaman Babak 1, Mari Menulis

Ingat Solo, ingat rupa-rupa kuliner yang bertaut mesra dengan langgam gaya hidup masa kini, dari angkringan pinggir jalan sampai kafedangan. Ingat Solo, ingat sungai-sungai yang tak lagi asyik buat ciblon dan mandi, seni rupa jalanan pelipur mata. Di Solo, telinga berdendang dengan bersama The Mudub, FISIP Meraung, Jungkat-Jungkit, Merah Bercerita. Kita juga membaca para pujangga Solo: Mas Marco Kartodikromo, Sapardi Djoko Darmono, Arswendo Atmowiloto, Wiji Thukul, Rendra. Solo juga tempatmu berfoto saat Solo Batik Carnival, Solo Internasional Performing Art, Solo Culinary Festival. Aduh, ini Solo atau Inggris sih. Solo yang kebak ingatan pantas dinarasikan lewat esai-esai gurih, lezat, dan anget seperti nasi liwet atau kata The Mudub, esai yang kayak "bakso bakar Bang Brewok" yang "enaknya nendang dan menohok."


Narasi gurih yang membuat saya bergidik untuk mengikuti acara Solo Sehalaman yang diadakan Balai Soedjatmoko bersama Bentara Muda Sala. Kelas menulis esai dalam tiga babak ini dilaksanakan pada tanggal 23 Mei, 30 Mei, dan 06 Juni 2018. Ya, ini adalah kesempatanku untuk meningkatan kualitas tulisan. Terlebih untuk soal esai yang aku sendiri masih begitu awam.
Kelas menulis esai dalam tiga babak ini mengajak untuk saling belajar soal tulis-menulis terutama dalam hal menulis esai. Sekaligus sebagai pengisi waktu luang di bulan puasa sembari ngabuburit menunggu buka puasa. Walaupun dalam perjalanannya esai tak hanya berputar soal Solo saja.
Padatnya jalanan kota Solo mengantarkanku menuju Balai Soedjatmoko setelah diberitahu bahwa aku lolos dan menjadi salah satu dari 20 peserta Solo Sehalaman. Sesampainya di sana masih belum begitu banyak yang datang. Tak berselang lama acarapun dimulai.

Tamu pada babak pertama ini adalah redaktur dari Solopos. Ketika mendengar itu aku langsung mengirim pesan kepada seorang kawan yang merupakan mantan wartawan Solopos.

"Mas, kenal Ichwan soko Solopos?"
"Kenal. Cah lawas. Pye?"
"Iki lagi ono kelas karo dek e."
"Redaktur opini kalau belum di rolling."


Mas Ichwan berbagi soal tulis-menulis dalam perspektif redaktur. Ada yang mengirim tulisan terus-menerus tapi tidak pernah terbit di koran. Ada pula yang baru sekali kirim sudah bisa terbit. Ya, itu adalah rahasia redaktur, hahaha.


Copyright Balai Soedjatmoko

Setelah Mas Ichwan dan kawan-kawan dari Bentara Muda selesai berbagi, lantas peserta dibagi menjadi 5 kelompok dengan pembimbing dari kawan-kawan Bentara Muda. Aku sendiri tergabung dalam kelompok satu dan pembimbinya adalah Mbak Ni'am yang nampaknya paling cerewet di antara kawan-kawan Bentara Muda lainnya, hahaha.

Tema babak 1 ini adalah Minggu. Yang terbesit dalam benakku adalah persoalan liburan. Setelah diskusi asyik dengan Mbak Ni'am akhirnya aku mendapatkan judul esai Tidak Ada Minggu Di Jakarta. Dalam waktu singkat harus menulis merupakan tantangan tersendiri bagiku. Waktu untuk menulis esai ini sekitar satu jam.

Di babak pertama ini agaknya peserta masih malu-malu untuk mengutarakan tulisannya. Bagiku ini adalah kesempatan untuk mendapatkan kritik agar tulisanku bisa diperbaiki. Tulisan itu baik atau tidak kita tak pernah tahu bila tak mau mengutarakannya di depan orang lain. Kritik soal esaiku adalah soal referensi dan efisiensi dalam sebuah kalimat.


Copyright Balai Soedjatmoko

Berikut esaiku yang berjudul Tidak Ada Minggu Di Jakarta.

Tidak ada minggu di Jakarta. Barangkali itu menggambarkan kehidupan warga Jakarta yang penuh dengan rutinitas pekerjaan. Bahkan pada hari minggu sekalipun. Tuntutan akan pekerjaan membuat Jakarta seolah kehilangan hari minggunya. Pekerja-pekerja kantoran tak jarang dipaksa untuk tetap bekerja walaupun di hari minggu.

Minggu kerja sudah biasa! Guyonan receh yang mungkin saja untuk menertawakan diri sendiri karena minggu masih saja bekerja. Tak ayal minggu di Jakarta sama saja dengan hari-hari lainnya. Kerja, kerja, dan kerja! Ya, hitung-hitung ikut menyukseskan slogan pemerintahan Pak Jokowi.

"Bersepeda di kala senja. Mengejar mentari tenggelam. Hangat jingga temani rasa. Nikmati Jakarta."

Lirik awal Senja Di Jakarta memberi imajinasi bahwa senja di Jakarta begitu memesona. Bersepeda kala senja sembari menikmati senja di Jakarta. Ah, betapa syahdunya senja itu. Tapi, senja yang diutarakan Banda Neira tidak ada artinya bagi mereka para pekerja kantoran yang dipaksa untuk mencoret hari minggu mereka.

Penggalan lain dari Senja Di Jakarta yang dipopulerkan Banda Neira memberi realitas dari kehidupan Jakarta sesungguhnya. "Bersepeda keliling kota. Kanan kiri, ramai jalanan. Arungi lautan kendaraan. Oh, maafkan Jakarta". Maafkan Jakarta bila ia mengambil paksa minggu bagi para perkerja kantoran. Maafkanlah!

Jakarta degan segala tuntutanya memang terkadang kejam. Minggu yang seharusnya bisa digunakan untuk bersantai, berkumpul dengan keluarga, maupun untuk hal lainnya dengan teganya ia renggut. Sungguh, Jakarta itu kejam bung!

Di akhir lagu Senja Di Jakarta, Banda Neira menulis lirik, "Nikmati Jakarta". Pesan tersurat yang ingin disampaikan kepada mereka yang hari minggunya direnggut oleh Jakarta. Tidak ada minggu di Jakarta kelihatanya kejam. Tetapi itu adalah sebuah realitas yang harus dijalani oleh mereka para pekerja kantoran yang hari minggunya direnggut paksa oleh Jakarta. Ya, ada atau tidak adanya hari minggu nikmati saja seperti kata Banda Neira di akhir lagunya. Walaupun itu berarti tidak ada minggu di Jakarta.


Copyright Balai Soedjatmoko


Copyright Balai Soedjatmoko

Ya, berakhirnya beberapa peserta (termasuk aku) yang membacakan esainya berakhir pula babak pertama dari Solo Sehalaman. Dan tunggu esai lainnya mengenai kota di babak kedua.


Catatan tambahan:
* Bila ada yang mau mengritik soal esai di atas sangat diperbolehkan.
* Harapannya kelas seperti ini lebih sering diadakan lagi.

Post a Comment

0 Comments