Merangkai Keabadian Melalui Kata-Kata

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” – Rumah Kaca, Pramoedya Ananta Toer.
Perkataan Pram tersebut sangat mengusik pikiran saya dan pada suatu titik saya memutuskan untuk mulai menulis. Blog pribadi yang telah lama tertidur, saya bangunkan kembali. Perlahan tapi pasti, dari kata demi kata, saya mulai merangkai setiap momen kehidupan yang saya alami. Tidak sedikit momen kehidupan yang saya bagikan di blog pribadi tersebut. Namun, ada pula momen kehidupan yang hanya saya simpan rapi dalam sebuah buku catatan. Seperti momen patah hati misalnya, hehehe.
Menulis merupakan renjana yang saya temukan di tengah jalan. Saya pun tidak habis pikir jika akan menyukai dunia tulis-menulis. Tahun 2015 seolah menjadi tonggak awal bagi saya untuk aktif menulis. Setelah lulus kuliah pada tahun 2014, saya “kehilangan” kawan yang telah berbagi suka dan duka. Meskipun beberapa di antara mereka masih melanjutkan studi di kota Solo, tetapi tetap saja ada ruang kosong yang tetiba muncul. Puncaknya adalah tahun 2016 saat kawan-kawan saya yang melanjutkan studinya di kota Solo telah kembali tuntas menyandang status sebagai mahasiswa. Namun, ada yang berbeda antara perpisahan pada tahun 2014 dan 2016. Hal itu ialah kerelaan hati bahwa fase kehidupan antara saya dan kawan-kawan saya itu telah berakhir. Hal inilah yang membuat saya mulai menulis untuk mengabadikan sebuah momen dan blog yang telah lama tertidur itu, bangun kembali untuk mengisahkan kisah-kisah antara saya dan kawan-kawan semasa kuliah.
“Menulis itu mengabadikan dan menyembuhkan. Pun seperti kata Seno Gumira Ajidarma bahwa belajar menulis adalah belajar menangkap momen kehidupan dengan penghayatan paling total yang paling mungkin dilakukan oleh manusia.”
Setelah perpisahan tersebut, saya merasa perlu untuk mengabadikan kisah-kisah kami agar kekecewaan yang terjadi pada tahun 2014 tidak terulang lagi. Saya meyakini bahwa ingatan manusia akan memudar, tetapi sebuah tulisan akan tetap abadi sekalipun zaman berganti. Oleh sebab itulah, pada tahun 2016 saya memberanikan diri menerbitkan sebuah buku walaupun buku tersebut segmentasinya hanya untuk saya dan kawan-kawan semasa kuliah dulu. Tentunya, penerbitan buku ini melalui jalur indie. Menulis ternyata bukan pekerjaan yang mudah terlebih lagi bagi orang seperti saya yang belajar menulis secara otodidak. Dan pada bulan November 2016, buku pertama saya yang berjudul Pakelonan resmi terbit. Awalnya, saya agak canggung bila buku itu harus dibaca oleh orang lain, tetapi ketika buku tersebut bertemu dengan para karakternya, rasa canggung itu berubah menjadi bahagia karena kawan-kawan saya merasa senang dengan kehadiran buku tersebut. Ya, setidaknya buku Pakelonan tersebut menjadi kado untuk perpisahan kami yang telah banyak menghabiskan waktu bersama di kota Solo.
Seiring berjalannya waktu, kegiatan menulis di blog cukup konsisten saya lakukan. Pun semesta merestui saya untuk berteman dengan beberapa penulis. Pada tahun 2018, saya berkesempatan mengikuti kelas menulis dalam acara Solo Sehalaman yang diadakan oleh Bentara Budaya Solo di balai Soedjamoko. Saya menjadi bagian dari 20 peserta yang terpilih untuk mengikuti kelas menulis tersebut. Sebagai orang yang belajar menulis secara otodidak, mengikuti kelas menulis menjadi sebuah pengalaman yang sangat mengesankan. Saya belajar banyak hal selama mengikuti Solo Sehalaman. Solo Sehalaman menjadi tantangan bagi saya karena saya tipikal orang yang menulis mengikuti suasana hati. Bukan perkara mudah ketika diharuskan menulis dalam waktu singkat. Dan Solo Sehalaman menjadi salah satu pengalaman yang begitu menarik dan membekas dalam perjalanan menulis saya. Setelah mengikuti kelas menulis tersebut, saya berpikir untuk melakukan perombakan pada buku Pakelonan. Hal-hal yang telah saya pelajari, saya terapkan dalam buku tersebut. Dan pada akhir Agustus 2018, buku Pakelonan terlahir kembali dengan wajah baru.
Menulis adalah cara saya untuk menyampaikan sesuatu. Ketika saya merindukan hangatnya kebersamaan dengan kawan, saya mencurahkan kerinduan itu melalui rangkaian kata-kata karena untuk sebuah perjumpaan saja amat sulit terlaksana. Pun, ketika hati yang telah dijaga baik-baik pergi, saya mencurahkan hal itu ke dalam buku catatan. Saya ingat seseorang pernah berkata jika menulis itu menyembuhkan. Dan benar saja, menulis menjadi penyembuh terhadap luka-luka yang pernah saya alami.
“Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa--suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana.” - Seno Gumira Ajidarma.
Sampai saat ini, perjalanan menulis saya terus berlanjut. Selain di blog pribadi, kegiatan menulis juga saya lakukan di platform daring walaupun konsistensi menulis baik di blog maupun platform daring seperti ombak di pantai. Naik-turun! Menulis akan menjadi renjana yang tidak akan pernah hilang karena bagi saya menulis itu menyembuhkan (dan mengabadikan). Kata pepatah, waktu akan menyembuhkan luka. Pun saya berharap melalui tulisan-tulisan yang saya curahkan, semesta merestui saya agar masuk dalam golongan manusia-manusia yang disembuhkan oleh waktu. Dan pada akhirnya, saya mengamini apa yang pernah dituliskan oleh seorang Pramoedya Ananta Toer dalam sekuel terakhir Tetralogi Buru, Rumah Kaca, bahwa orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.

Post a Comment

0 Comments