Gairah Batin Membatin Kebatinan

Solo, 2020. Kota semakin dinamis. Kehidupan para penghayat kepercayaan pun dengan organisasi kebatinannya di Solo masih bertahan meski samar terdengar. Perubahan zaman ikut andil dalam sunyi senyapnya organisasi kebatinan di kota Solo. Berkurangnya pengaruh keraton dalam kehidupan masyarakat di kota Solo juga ikut andil dalam hal ini. Keraton yang pada masa lalu merupakan simbol dari pusat alam semesta, kini hanya dipandang sebagai simbol pelestarian kebudayaan Jawa semata.

Pandangan masyarakat kota Solo terhadap keraton pudar seiring berjalannya waktu dan perubahan zaman. Pada masa dulu, keraton dianggap begitu sakral. Keraton mempunyai kekuatan magis yang menjadi pusat dari semesta. Pandangan masyarakat terhadap keraton tersebut lantas memunculkan sebuah kepercayaan bagi masyarakat Jawa yaitu Kebatinan. Warsito dalam Harian Kami yang terbit pada 4 Maret 1972 menuliskan, "Kebatinan merupakan kebudayaan spiritual dari keraton Jawa, yang berasal dari zaman yang sudah sangat tua dan telah mengalami perkembangan yang unik pula."

Gairah kebatinan di Solo pernah memasuki fase gemilang. Hal itu ditandai dengan terpilihnya kota Solo sebagai tuan rumah Kongres Kebatinan II. Kongres Kebatinan II yang diadakan pada tahun 1956 ini diikuti banyak peserta. Dalam catatan organisasi mereka, Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI), sekiranya ada dua ribu peserta penganut kebatinan yang mengikuti kongres. Kongres Kebatinan II yang diadakan di kota Solo diikuti berbagi organisasi kebatinan. Mereka berkumpul dan saling bertukar gagasan maupun ide.

Hasil Kongres Kebatinan II di kota Solo tidak main-main. Salah satunya ialah perkara definisi dari kebatinan itu sendiri. Kesepakatan dalam Kongres Kebatinan II merumuskan definisi baru tentang kebatinan. Kebatinan adalah sumber asas sila dan Ketuhanan Yang Maha Esa, untuk mencapai budi luhur, guna kesempurnaan hidup. Pembaruan definisi dari kebatinan ini menegaskan bila BKKI tidak main-main dan menjadi wadah organisasi kebatinan di Indonesia.

Kebatinan di Solo tidak hanya perkara kongres. Etos literasi organisasi kebatinan di Solo juga tumbuh dan berkembang. Salah satu yang sampai saat ini masih membekas ialah terbitnya buku bertajuk Serat Darmogandul terbitan Sadu Budi. Serat Darmogandul menjadi hal yang viral pada saat itu. Serat ini bukan hanya berpengaruh dalam lingkup kota Solo saja, melainkan sampai lingkup nasional. Munculnya Serat Darmogandul memicu banyak pergesekan secara horizontal di kalangan masyarakat.

Pergesekan juga terjadi karena muncul buku-buku yang mencatut nama Serat Darmogandul. Desas-desus kemudian muncul. Ada yang mengatakan Serat Darmogandul merupakan tulisan seorang pangeran, putra dari Sultan Hamengku Buwono VI bernama Suryonegoro. Namun, Warsito dalam Harian Kami tertanggal 3 April 1972, membantah hal tersebut. Ia menyebut bahwa Serat Darmogandul yang asli ditulis oleh KRT Tandranegara dari Surakarta.
Penerbit Sadu Budi memang masif menerbitkan buku-buku berbau primbon dan kebatinan. Sadu Budi tidak hanya terkenal dengan Serat Darmogandul. Ada Serat Primbon Oesada karangan Njonja van Bloklan terbit tahun 1939 sebagai cetakan kedua. Hal ini menandakan buku-buku bertajuk kebatinan dan primbon laku di pasaran. Selain itu, ada Ratjikan Djampi Djawi yang sudah cetak kelima kalinya.

Gairah batin kebatinan di Solo juga terekam dalam iklan-iklan di koran maupun majalah. Sadu Budi yang bermain dalam penerbitan buku-buku kebatinan dan primbon terekam mengiklankan bukunya dalam majalah Terang Bulan pada tahun 1954. Sudah terbit Almanak Tjakrawati tahun 1954. Perlu dimiliki tiap warga negara, muat penanggalan lengkap, hari pasaran, tanggal Masehi, Djawa, hari besar, ukuran dan timbangan, pengetahuan-pengetahuan umum, primbon-primbon lengkap, hingga 66 matjam gerhana bulan dan matahari.

Pada tahun 1970-an, tercatat 13 organisasi kebatinan di Solo. Salah satu yang masih bertahan hingga saat ini dan membuka cabang adalah Paguyuban Ngesthi Tunggal. Pasang surut mewarnai organisasi-organisasi kebatinan di Solo. Pengaruh keraton yang pudar merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh akan hal ini. Pemikiran warga yang bersinggungan dengan teknologi dan kemajuan zaman mengubah banyak hal termasuk dalam hal batin dan kebatinan walaupun pada generasi tua kota Solo masih dijumpai hal-hal yang berkaitan dengan batin dan kebatinan. Seperti persepsi generasi tua kota Solo yang menganggap banjir pada Maret 1966 merupakan tindakan dari Tuhan Yang Maha Kuasa untuk membersihkan kota Solo yang kotor bersimbah darah karena pembantaian manusia oleh manusia lain! Tahun 2016 organisasi kebatinan di Solo mencapai 30 organisasi. Namun, pada tahun 2019 jumlahnya menyusut menjadi 17 organisasi saja. Meski begitu, kota Solo masih dapat melabeli dirinya sebagai wadah dari organisasi kebatinan dan pusat kebudayaan Jawa seperti yang dituliskan S. De Jong, "Surakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa agaknya masih merupakan tempat di mana terdapat paling banyak organisasi kebatinan."

Zaman berganti dan gairah batin membatin kebatinan mengalami pasang surut. Meskipun begitu, para penghayat kepercayaan (kebatinan) kini dapat bernapas lega. Mereka tidak lagi harus bersembunyi dalam bayang-bayang suatu agama tertentu. Etos literasi organisasi kebatinan juga tidak seramai seperti dahulu. Hal ini boleh jadi disebabkan berkurangnya penerbit di kota Solo. Zaman mengikis perbukuan dan penerbitan. Wangi kertas buku sudah tidak relevan. Perubahan menuju serba digital ikut andil dalam hal ini.

Kota Solo dahulu layak menyandang label Kota Penerbit. Setidaknya dalam rentang tahun 1930-1970-an ada 13 penerbit yang aktif menerbitkan buku-buku termasuk buku-buku yang berbau kebatinan dan primbon. Jumlah 13 tersebut belum ditambah penerbit-penerbit yang belum diketahui alamatnya. Lesunya gairah penerbitan di kota Solo berimbas pula pada gairah etos literasi kaum penghayat kepercayaan. Suara batin kebatinan di kota Solo tenggelam dalam gerak dinamis kota. Layaknya penerbit-penerbit di kota Solo yang meredup, kebatinan di Solo juga mengalami hal serupa meski kini sudah dapat bernapas lega.

Post a Comment

0 Comments