Narasi Lokal

Sedari kecil kita sudah dijejali sejarah yang berputar di antara perang dan pertumpahan darah. Tidak terhitung banyaknya narasi sejarah yang menggaungkan perang dan darah merah. Kadang kala muncul anggapan bahwa mengulik sejarah maka mengulik tentang peperangan. Saat membuka cakrawala sejarah dari bangku sekolah dasar, sejarah tidak lepas dari itu. Angka tahun dan perang, angka tahun dan darah merah, perang dan darah merah!

Sejarah acapkali membosankan karena pengulangan narasi sejarah. Coba hitung berapa kali narasi perang dicatat dalam buku-buku sejarah di sekolah? Pun sejarah sering kali hanya menjadi alat untuk melabeli suatu peristiwa. Ia yang mendapat cap hitam akan selalu dipandang sebagai lawan dan harus dibumihanguskan. Sedangkan ia yang mendapat cap putih, pun bisa jadi melabeli diri sendiri sebagai putih, dielu-elukan bak dewa tanpa cela. Tidak adakah sisi humanisme dalam narasi sejarah kita? Sejarah itu abu-abu. Dia yang hitam atau putih tergantung dari perspektif yang dilihat.

Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam dalam wawancara dengan Kompas 17 Juli 2005, termuat dalam situs lipi.go.id, menyatakan hal serupa. "Pada masa lampau, sejarah yang diajarkan di sekolah lebih banyak bercerita tentang pemberontakan. Seakan-akan Indonesia, sejak 1945-1965, hanya berisi serangkaian pemberontakan, lalu ada tentara yang berhasil menumpas pemberontakan dan jadi pahlawan. Padahal cerita Indonesia tidak hanya tentang itu. Pemberontakan itu harus dilihat dari perspektif lebih komprehensif."

Narasi sejarah lokal sama halnya dengan sisi humanisme dalam narasi sejarah nasional. Kurang mendapat tempat dalam teks-teks buku sejarah. Sebagai orang Solo mengapa saya tidak terlalu banyak menemukan sejarah seputar Solo di teks buku pelajaran? Benar, ada batasan dalam narasi sejarah di teks buku pelajaran. Namun, sebagai orang lokal rasanya memang perlu mendapat asupan sejarah lokal yang seimbang dengan narasi sejarah nasional.
Solo, 1966. Pada pertengahan Maret tahun itu, kota Solo dilanda bencana dahsyat. Kota yang indah nan permai ini mendadak lumpuh. Sungai Bengawan Solo meluap! Air Bengawan Solo mengalir jauh bak penggalan lirik dalam lagu yang berjudul sama dengan nama sungai ini. Air mengalir sampai jauh bukan akhirnya ke laut, melainkan mengalir jauh ke kota. Hampir tiga perempat wilayah kota Solo terendam air luapan Bengawan Solo. Hujan pada pertengahan Maret 1966 memang bukan hujan biasa. Hari yang telah berganti tidak membuat hujan mereda. Langit kota Solo mendung tiada henti. Bahkan, hujan es sempat turun di kota Solo. Bergantinya hari tidak mampu mengusir hujan dari langit kota. Setelah hari berganti inilah bencana dahsyat dalam ingatan generasi tua kota Solo datang. Dalam Geger Solo Banjir Bandang, kota Solo menjelma menjadi lautan. Pusat pertokoan di Coyudan, Pasar Gede, bahkan keraton pun tidak luput dari terjangan air Bengawan Solo. Air luapan ini tidak pandang bulu. Tidak peduli sesakral apa keraton, air tetap menerjangnya. Kota solo yang indah itu mendadak kotor, penuh lumpur, dan berbau tak enak.

Bagi generasi tua kota Solo, banjir pada Maret 1966 bukanlah banjir biasa. Banjir ini menjadi penanda berakhirnya pembantaian manusia oleh manusia. Solo yang memerah karena bersimbah darah sedang diresiki kalih Gusti! Kepercayaan yang muncul dalam benak generasi tua kota Solo tidak muncul begitu saja. Sebelum banjir datang, kota Solo tengah terjadi kegaduhan. Operasi penumpasan orang-orang (terduga) PKI tengah galak dilakukan. Tanah di kota Solo memerah dan kotor! Banjir datang membersihkan itu semua. Operasi berganti fokus dari penumpasan menjadi penyelamatan kota Solo pascabanjir. Tepatnya waktu kedatangan banjir ini bagi generasi tua kota Solo menjadikan banjir pada Maret 1966 bukanlah banjir biasa.

Persepsi dari generasi tua kota Solo terhadap Banjir 1966 bukan timbul begitu saja. Lekatnya masyarakat Solo dengan Jawa dan keraton ikut andil dalam persepsi generasi tua kota ini. Masa itu, pengaruh keraton masih cukup kuat kendati simbolisasi keraton sebagai pusatnya dunia bergeser menjadi pusatnya pelestarian kebudayaan Jawa. Bagi masyarakat Jawa, khususnya Solo, keraton mempunyai suatu kekuatan magis. Dalam data yang dihimpun Wibisono pada 1972, termuat dalam majalah pers Kentingan terdapat brosur yang bertuliskan, "Keraton adalah sumber keselamatan dan kesejahteraan, sebagai pusat kosmos dari seluruh alam semesta, kekuatan magisnya menyebar hingga ke seluruh rakyat dengan upacara-upacara sakral, kekuatan magis raja tersimpan ke dalam pusaka-pusaka tersebut."

Pun keraton mempunyai andil dalam cara pandang masyarakat kota Solo terhadap Tuhan. Secara umum, masyarakat Jawa mempunyai keyakinan terhadap Tuhan dengan caranya tersendiri. Termasuk juga dengan masyarakat Jawa di kota Solo. Cara pandang keyakinan terhadap Tuhan ini juga yang membuat generasi tua kota Solo percaya bahwa Banjir 1966 adalah cara Tuhan untuk membersihkan kota Solo. Cara Tuhan untuk menghentikan pembantaian manusia oleh manusia! Banjir pada Maret 1966 bukan hanya meninggalkan luka bagi masyarakat kota Solo saja. Namun, juga meninggalkan "luka" pada tembok Baluwarti yang mengelilingi keraton Solo. Sebagian kecil tembok benteng di bagian barat terpaksa dijebol guna memecah genangan air yang menyelimuti seantero keraton. Bekas dari penjebolan tembok Baluwarti di bagian barat itu kini dikenal dengan nama Lawang Butulan.

Solo, 1861. Mundur lebih dari 10 dekade sebelum Banjir 1966 melanda kota Solo. Banjir besar juga pernah melanda kota Solo selain pada Maret 1966. Kota Solo memang lekat dengan bencana banjir. Desa yang awalnya berawa ini diubah menjadi ibu kota kerajaan. Dikelilingi banyak sungai membuat kota Solo rentan terhadap banjir.

Februari 1861. Kota Solo yang dikuasai oleh Kasunanan dan Mangkunegaran ini terendam air cukup tinggi setelah hujan tiada henti dalam dua hari. Banjir 1861 ini bertahan hingga 80 jam. Seiring dengan banjir yang melanda kota Solo, residen mengeluarkan surat perintah untuk meliburkan sejumlah pegawai pemerintahan khususnya pegawai kantor dinas dan kantor pos. Diliburkannya para pegawai tentu bukan tanpa alasan. Kesehatan pegawai mendasari hal itu.

Banjir 1861 boleh jadi tidak begitu terekam dalam ingatan masyarakat kota Solo seperti Banjir 1966. Sudah barang tentu ini perkara generasi yang sudah berganti dan sedikitnya narasi sejarah lokal. Namun, di antara riuhnya kota Solo, di pusat kota, tersimpan memori akan kedahsyatan banjir pada Februari 1861. Bertuliskan "Hoogste Waterstand op den 24 February 1861", plakat batu yang berada di samping pintu masuk benteng Vastenburg menjadi saksi bisu tentang keganasan banjir pada 1861 yang bukan hanya melanda kota Solo, melainkan juga melanda seantero selatan Jawa. Banjir besar pada Februari 1861 ini terabadikan dalam lukisan Raden Saleh yang berjudul Een overstroming op Java.

Banjir pada Maret 1966 dan Februari 1861 adalah dua dari banyaknya peristiwa banjir yang pernah menerjang kota Solo. Narasi dari kedua peristiwa banjir di atas redup dan terbayang-bayang narasi sejarah nasional. Dua banjir besar dalam ingatan kota Solo itu cukup beruntung karena jejak peristiwa sejarah itu masih dapat dijumpai. Namun, bagaimana kita tahu tentang peristiwa banjir lainnya di kota Solo seperti yang terjadi pada 1886, 1897, 1904, dan 1908 jika narasi sejarah yang diajarkan selalu tentang perang dan darah merah? Pun belum lagi tergilasnya narasi sejarah lokal oleh narasi sejarah nasional!

Sejarah tidak melulu mengenai perkara perang dan pertumpahan darah. Sejarah juga tidak selalu tentang siapa yang paling gagah. Pun siapa yang menang, siapa yang kalah dan dia yang hitam, dia yang putih. Sikap heroisme dalam narasi sejarah nasional perlu diturunkan tensinya supaya sejarah lokal mendapat perhatian dan sejarah tidak hanya dipandang sebagai hitam-putih semata karena ada konteks ruang dan waktu saat melihat sejarah.

Narasi akan sejarah lokal agaknya perlu digaungkan untuk mengimbangi narasi sejarah nasional. Sebuah ironi jika orang Solo lebih mengenal sejarah daerah lain apalagi yang ada di luar pulau Jawa ketimbang kotanya sendiri. Sama halnya dengan narasi sejarah lokal, antara riuhnya kota Solo, Lawang Butulan dan plakat batu di tembok benteng Vastenburg melawan kebisingan menjadi saksi sejarah tentang lekatnya Solo dengan banjir, menarasikan sejarah lokal dalam bayang sejarah nasional.

Post a Comment

0 Comments