Solo, Sala, dan Surakarta

Sala atau Solo? Dua nama ini acap kali menjadi tanya bagi orang-orang yang tumbuh dan kembang di luar wilayah eks karesidenan Surakarta. Pun tidak jarang orang akan kembali menemui sebuah pertanyaan. Apa hubungannya Solo dan Sala dengan Surakarta?

Tiga nama di atas merupakan nama yang merujuk pada satu kota. Salah satu kota di Jawa Tengah yang menjadi pusat kebudayaan Jawa. Pada masa kini, orang-orang akan menyebutnya dengan Kota Solo. Benar, kota Solo memiliki tiga nama sebutan. Solo menjadi nama yang paling populer di kalangan masyarakat umum sedangkan Sala lebih dikenal pada generasi tua kota Solo. Surakarta sendiri lebih sering dipakai sebagai nama resmi dalam instansi pemerintahan atau dalam kelengkapan dokumen administrasi seperti dalam KTP misalnya. Tempat lahir saya pun ditulis dengan Surakarta bukan Solo apalagi Sala.

Tiga nama yang lekat pada kota Solo ini memang unik. Namun, sering kali membuat bingung bagi orang yang tidak tinggal di wilayah Soloraya. Beberapa tahun lalu, teman dari teman saya berkunjung ke Solo. Hal pertama yang ia tanyakan kepada saya adalah perbedaan antara Solo, Sala, dan Surakarta. Pertanyaan ini cukup menggelitik bagi saya. Memang bagi orang Solo atau orang yang tinggal di wilayah Soloraya tidak asing dengan nama-nama tersebut. Namun, acap kali tidak seperti itu bagi orang yang berada di luar Soloraya.

Sala pada mulanya adalah sebuah desa kecil berawa yang banyak diapit oleh sungai. Salah satu sungainya terabadikan dalam lagu ciptaan suwargi Gesang, Bengawan Solo. Ketika Mataram Islam mengalami banyak problema dan keraton yang berada di Kartasura hancur akibat Geger Pecinan, Sinuhun Paku Buwono II mengirim utusan untuk mencari lokasi baru yang nantinya akan dijadikan sebagai ibu kota kerajaan. Terdapat tiga daerah yang menjadi kandidat ibu kota kerajaan dan pada akhirnya desa Sala yang terpilih.

Setelah terpilihnya desa Sala sebagai ibu kota baru kerajaan, pembangunan pun dilaksanakan. Tertanggal 17 Februari 1745 setelah selesainya pembangunan keraton, dilakukan kirab perpindahan ibu kota kerajaan yang semula berada di Kartasura ke desa Sala. Kirab perpindahan ibu kota kerajaan itu kini dikenal dengan nama Boyong Kedhaton.

Surakarta menjadi nama resmi ibu kota kerajaan setelah Sinuhun Paku Buwono II membacakan deklarasi. Yasadipura I dalam Pawarti Surakarta terbitan 1939 memuat deklarasi tersebut. “Heh kawulaningsung, kabeh padha ana miyarsakna pangandikaningsun! Ingsun kersa ing mengko wiwit dina iki, desa ing Sala ingsun pundhut jenenge, ingsun tetepake dadi negaraingsun, ingsun paringi jeneng Negara Surakarta Hadiningrat. Sira padha angertekna sakawulaningsung satalatah ing Nusa Jawa kabeh.”
Bergantinya status Sala dari desa menjadi ibu kota kerajaan Mataram Islam bernama Surakarta tidak serta merta meredupkan namanya. Seiring berjalannya waktu, nama Sala terselip lidah menjadi Solo. Lambat laun, nama Solo menjadi lebih tenar daripada Sala pun Surakarta itu sendiri. Bung Karno saat menghadiri resepsi-resepsi dan rapat-rapat raksasa yang diselenggarakan di Surakarta, acap kali menegaskan tentang penyebutan Sala bukan Solo. Dalam surat kabar Kedaulatan Rakyat tertanggal 14 November 1960, Bung Karno menegaskan bahwa nama Surakarta yang benar adalah Sala bukannya Solo. Sala yang diucapkan dengan “o” terbuka.
Nama Solo adalah pemberian dari Belanda yang tidak sesuai dengan nama aslinya yaitu Sala. Tetapi dengan tiada menyadarinya, kebanyakan dari kita selalu menyebutnya Solo. Maka hendaknya mulai sekarang kita pergunakan nama Sala.
Anjuran dari presiden Sukarno ini mulai dilaksanakan banyak orang. Namun, sejalan dengan waktu nama Solo yang mencuat paling banyak. Dalam lagu-lagu yang berkaitan dengan kota Solo misalnya, banyak yang menggunakan Solo ketimbang Sala. Seperti lagu Bengawan Solo ciptaan Gesang. Ada pula lagu Putri Solo, Solo di Waktu Malam, langgam Kota Solo, dsb. yang juga menggunakan Solo daripada Sala. Memang akan aneh bila lagu-lagu di atas diganti menggunakan kata Sala.

Dalam lagu Stasiun Balapan ciptaan suwargi Didi Kempot ada yang menarik perihal Sala dan Solo. Didi Kempot yang sangat lekat dengan Jawa sangat paham betul tentang pengucapan Sala ---yang menggunakan “o” terbuka. Pada awal peluncuran lagu Stasiun Balapan, Didi Kempot masih menggunakan dan mengucapkan dengan kata Sala. Namun, saat lagu-lagu Didi Kempot kembali naik daun, dalam lagu Staisun Balapan, kata Solo yang ada di lagu tersebut diucapkan dengan Solo bukan Sala lagi.

***

Zaman berubah. Nama boleh jadi tidak mempunyai arti yang mendalam. Akan tetapi nama merupakan jati diri. Nama Solo terlanjur dikenal masyarakat luas. Penggunaan Sala hanya dalam lingkup terbatas, salah satunya dalam lingkup generasi tua kota Solo. Pun dengan Surakarta yang menjadi nama resmi kota ini. Ia kalah tenar dari Solo.

Mengubah nama bukan perkara mudah apalagi menyangkut nama sebuah kota dan saya sepakat dengan kalimat penutup dari salah satu artikel dalam surat kabar Kedaulatan Rakyat tertanggal 14 November 1960. “Berhubung dengan itu diharapkan adanya pemecahan yang sebaik-baiknya sehingga tidak akan ada keraguan lagi mana yang mesti dipergunakan.”

Jadi, Sala, Solo, atau Surakarta?

Post a Comment

0 Comments