Zaman dan Nama yang Hilang

Solo, 2020. Zaman berubah, sebuah kota ikut berbenah. Pun dengan kota Solo. Desa kecil yang dahulunya dikelilingi rawa ini menjelma menjadi sebuah kota dengan aktivitas yang padat. Perubahan dari suatu kota merupakan sebuah kontinuitas bagi Ni Ngoro. Zaman dan perubahan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Ruud tidak menampik pernyataan dari kawannya itu. Namun, bagi pria berdarah Jawa-Belanda ini, ada perasaan kehilangan akan sebuah kenangan seiring dengan berkembangnya zaman. Kenangan yang menurut Ruud laksana sebuah goresan tinta emas yang mengalir masuk ke dalam batinnya.


Ketika malam di Solo.

Jalan Srikaya. Itulah nama jalan yang ada di depan rumah saya. Ruud barangkali akan tertawa geli ketika mendengar hal itu. Pasalnya daerah saya bukanlah penghasil buah Srikaya maupun daerah yang banyak ditumbuhi pohon Srikaya. Daerah yang saya tinggali bernama Tegalan. Namun nama Tegalan lebih dikenal oleh para sesepuh dan orang-orang tua di tempat saya tinggal. Pada masa kini, tempat tinggal saya lebih akrab disebut dengan Karangasem. Padahal Karangasem sendiri terdiri dari beberapa RT dan RW.

Apalah arti sebuah nama. Kiasan populer itu bisa jadi benar, bisa jadi tidak. Nama boleh jadi tidak memiliki makna mendalam, tapi nama merupakan sebuah penanda akan jati diri. Penamaan suatu wilayah misalnya. Di dekat rumah saya, terdapat wilayah bernama Kleco, wilayah itu disebut Kleco karena ditumbuhi pohon Kleco. Namun, seiring dengan zaman yang berubah, pohon Kleco tidak dijumpai lagi di wilayah Kleco. Sebuah ironi bukan?

Saya teringat sebuah percakapan dengan seseorang ketika menghadiri pameran foto kota lama Solo di Loji Wetan. Saat saya sedang menikmati foto-foto yang dipamerkan, Mas Fendy datang menyapa dan dari sinilah obrolan kami dimulai.

“Dari mana Mas?”
“Solo.”
“Solonya mana?”
“Karangasem, Kleco.”
“Tahu, Kleco itu apa?”
“Setahu saya Kleco itu pohon.”


Mas Fendy membenarkan jawaban saya. Saya sendiri sudah tidak menemui pohon Kleco di tempat saya. Namun Mas Fendy bercerita bahwa masih ada satu pohon Kleco yang tersisa dan itu berada di daerah Gembongan. Gembongan sendiri berada di sebelah barat dari tempat tinggal saya. Kira-kira 3-4 km jauhnya.


Selain Kleco, di sebelah barat tempat saya tinggal ada wilayah bernama Bulak Indah. Bulak berarti padang/jalan yang diapit persawahan/sawah, Indah berarti indah, elok di mata. Pada masanya, tempat ini banyak area persawahan yang sejauh mata memandang akan tampak asri. Sewaktu masih kecil, saya masih bisa menikmati arti dari Bulak Indah. Ketika hari minggu atau memasuki bulan puasa, saya dan teman-teman sering melakukan kegiatan jalan-jalan pagi. Rute favoritnya ya ada di wilayah Bulak Indah ini. Kami senang melintasi sawah. Tidak jarang, ketika kami tidak hati-hati, kami terpeleset ketika melewati jalan setapak yang ada di tengah sawah dan badan kami menjadi kotor penuh dengan lumpur persawahan.

Kini, laksana Solo pada 2020, Bulak Indah pada 2020 juga mengalami perubahan besar. Sawah-sawah nan hijau permai yang sangat menyegarkan dalam ingatan masa kecil saya, tidak lagi saya jumpai. Banyak dari kawasan Bulak Indah yang berubah menjadi area perumahan. Bukan lagi rumah yang mepet ke sawah, tapi sawah yang mepet ke rumah!

Perubahan demi perubahan akan terjadi seiring bergantinya zaman. Seperti kontinuitas yang Ni Ngoro sampaikan. Apa yang saya rasakan sepertinya sudah Ruud rasakan terlebih dahulu saat ia berkunjung lagi ke kota Solo. Goresan kenangan bak tinta emas yang masuk ke dalam batinnya, tidak lagi ia jumpai. Sama halnya ketika saya melewati Bulak Indah. Kenangan indah masa kecil saya sudah tergantikan oleh tembok-tembok beton.


Perubahan.

Perasaan kehilangan itu tidak hanya saya rasakan pada tempat tinggal saya saja. Beberapa bulan yang lalu, saat menuju tempat wedangan, saya merasa banyak kehilangan. Entah saya yang terlalu melankolis atau memang beginilah sebuah kota ketika zaman semakin berkembang dan maju. Saya merasa, “Ah, sudah banyak berubah,” ketika melewati jalanan kota Solo di waktu malam. Seperti saat saya melewati Sriwedari contohnya. Imajinasi saya kembali ke masa Sriwedari yang begitu digemari khalayak ramai. Tempat ini adalah penghilang penat bagi wong cilik. Namun, Sriwedari kini sedang lesu. Desas-desus akan keberlangsungan Sriwedari kian mencemaskan.

Jalanan kota Solo dan waktu malam merupakan perpaduan yang pas untuk menikmati kota ini. Saya teringat dengan kawan semasa kuliah. Ia jatuh hati dengan kota Solo. Pun selepas lulus, ia tidak ingin kembali ke kampung halamannya di pulau seberang. Ia berkata kepada saya, “Solo akan lebih terasa aura Jawanya ketika malam tiba.” Saya tidak mampu menampik ini. Ketika menuju tempat wedangan, saya selalu terbayang kota Solo dengan aura Jawanya sedang berlalu-lalang di jalan utama kota Solo ini, Poerwosari Weg, atau sekarang dikenal dengan nama Jalan Slamet Riyadi.


Zaman berubah, sebuah kota ikut berbenah. Nama boleh jadi tidak memiliki arti. Namun, nama adalah sebuah penanda akan jati diri. Kehilangan nama, berarti kehilangan jati diri. Seperti yang dirasakan oleh Ruud maupun saya, Solo kehilangan banyak kenangan akan nama. Perasaan yang seperti goresan tinta emas akan bersinggungan dengan kemajuan zaman. Dilema ini akan terus terbayang, ketika sebuah nama perlahan meredup bahkan menghilang. Solo, 2020. Zaman dan Nama yang Hilang.


Sumber/referensi tambahan:
* Noni Ruli. Sobo Turut Lurung di Solo, Jowo Londo di Gang Tua.

Post a Comment

0 Comments