Rekaman Menuju Wedangan

Hujan kembali membasahi Kota Solo setelah dalam beberapa hari ini cuaca Kota Solo sangat panas. Hujan itu memang aneh. Ia mampu merefleksikan ingatan akan masa lalu. Hujan pula yang sering kali menenggelamkan Kota Solo seperti banjir besar yang pernah terjadi pada Maret 1966. Selepas hujan reda, seorang kawan berkirim pesan mengajak wedangan. Seperti biasanya lantas saya membalas dengan bertanya di mana lokasi wedangannya dan wedangan malam ini bertempat di area Pasar Gede.


Pukul 10 malam lebih, saya berangkat menuju lokasi wedangan. Ketika melewati Stasiun Purwosari, pohon-pohon yang menahan panas sinar matahari kini sudah berpindah lokasi. Kawasan sekitar stasiun terlihat “gersang” meski di waktu malam sekalipun. Poerwosari Weg yang membelah Kota Solo hendak dinaikkan di perlintasan sebidang Stasiun Purwosari guna memecah masalah kemacetan yang sering terjadi ketika si kuda besi berlalu-lalang.


Selepas dari Stasiun Purwosari, tak jauh dari situ, akan sampai pada percabangan jalur kereta yang mengarah ke kota. Mulanya Stasiun Purwosari memiliki empat percabangan, tapi yang tersisa kini hanya tiga. Percabangan menuju Yogyakarta, kemudian yang menuju arah timur/Semarang, dan percabangan yang menuju arah kota. Sedangkan percabangan yang menuju arah Boyolali sudah tidak aktif lagi.

Kisah jalur kereta di Solo terbilang sedikit unik. Pada masa itu, Solo mempunyai angkutan trem yang ditarik oleh kuda. Namun, tak berselang lama si kuda besi menggantikan si kuda asli. Jalur yang berdampingan dengan Poerwosari Weg atau sekarang dikenal dengan Jalan Slamet Riyadi ini masih aktif digunakan. Ah, saya jadi membayangkan bila di kota ini trem kembali hadir. Rasanya syahdu menikmati setiap jengkal Poerwosari Weg dengan trem.


Remise voor paardentrams van de Solosche Tram Maatschappij.

Semakin menuju arah pusat kota, kendaraan yang berlalu-lalang semakin ramai. Apalagi malam ini adalah Jumat malam. Menuju akhir pekan Kota Solo dihujani banyak kendaraan bermotor. Saya baru saja memasuki kawasan Sriwedari. Menara masjid raya yang dibangun di atas tanah Sriwedari menantang gagah ingatan kolektif masyarakat Kota Solo terhadap taman ini.

Saya lahir pada dekade 90-an. Ingatan saya akan Sriwedari terbatas pada Taman Hiburan Rakyat (THR), Wayang Orang Sriwedari, dan Museum Radya Pustaka. Akan tetapi pada generasi lama Kota Solo, Sriwedari lebih dari itu. Saya teringat ketika berkunjung ke rumah seorang kawan. Nenek dari kawan saya itu berkisah tentang kebun binatang yang pernah ada di Sriwedari. BonBin, begitu masyarakat Solo menyebutnya. BonBin Sriwedari mempunyai maskot berupa seekor gajah bernama Kyai Anggoro. Gajah ini sangat membius anak-anak untuk rewel pergi ke Sriwedari.

Mundur pada Maret tahun 1913, Sriwedari menjadi tempat diadakannya kongres pertama Sarekat Islam (SI). Pada masa itu jelas bukan kendaraan bermotor yang berlalu-lalang. Akan tetapi andong-andong yang hilir-mudik. Andong-andong ini sibuk mengantar orang-orang yang hendak menghadiri kongres. Dalam Student Hidjo, Mas Marco juga berkisah tentang kongres ini. Stasiun Balapan dipenuhi banyak orang. Mereka yang datang kebanyakan hendak menghadiri vergadering Sarekat Islam. Hampir semua andong yang ada di Stasiun Balapan sudah dipesan untuk menjemput para delegasi yang menghadiri kongres Sarekat Islam pertama itu. Praktis jalanan Kota Solo ikut dipenuhi andong-andong yang hilir-mudik bahkan hingga menjelang malam.

Benar. Esok harinya, setelah diadakan pertemuan di Kabangan, Sriwedari dipenuhi lautan manusia yang menghadiri kongres Sarekat Islam pertama itu. Dalam Zaman Bergerak: Radikalisme di Jawa 1912-1926, jumlah afdeling SI membengkak menjadi empat puluh delapan, di antaranya empat puluh dua afdeling yang memiliki anggota sebanyak 200.000 orang mengirimkan utusannya.

Gaung Sriwedari memang tiada habis narasinya. Selain kongres SI, Taman Sriwedari juga pernah ditunjuk sebagai lokasi perayaan atas lahirnya putri agung dari Belanda yang baru saja mbrojol. Bertajuk Oranje Passarmalem Sriwedari menjadi pusat perhatian. Orang-orang dari berbagai bangsa berbondong-bondong datang meramaikan Sriwedari. Terlebih lagi ketika Sriwedari dibuka gratis satu hari satu malam dalam menyambut mbrojol-nya putri agung dari Belanda.

Ah, sungguh Sriwedari pada masa itu mempunyai magisnya tersendiri. Zaman berubah. Sriwedari ikut berubah. Keramaian yang pernah terjadi di Sriwedari kini kian lesu. Ingatan kolektif masyarakat Solo terhadap Sriwedari tidak lagi sama. Barangkali Mas Marco akan sependapat dengan Ruud bila melihat Sriwedari saat ini. Ada yang hilang. Kenangan yang hilang. Kenangan yang diungkapkan Ruud kepada kawannya Ni Ngoro. Kenangan itu laksana, “...goresan tinta emas pada situasi alamiah yang tergulir masuk dalam batinnya. Sebuah situasi yang bisa membangkitkan perasaan yang sangat menyentuh hati.”


Hotel Slier te Soerakarta.

Semakin menuju pusat kota, Solo semakin ramai. Sesampainya di kawasan Gladag, lampion-lampion menghiasi kawasan pusat kota ini hingga kawasan Pasar Gede. Ketika Imlek tiba, kawasan ini dipenuhi cahaya dari lampion. Memerahkan kawasan yang menjadi titik temu imajiner antara Belanda dan Kasunanan, serta Mangkunegaran. Di Gladag pula “pergesekan” antara corak Jawa dan Eropa saling berbenturan.

Aspal yang dulunya memperhalus jalan kini sudah berganti dengan batu-batu andesit berpola. Kawasan Gladag juga mengalami perubahan. Rekaman ingatan Kota Solo menyebut bila di sisi barat benteng Vastenburg pernah berdiri Hotel Slier. Hotel ini menjadi hotel kelas wahid pada masa itu. Juga menjadi saksi pergolakan ketika Solo memanas demo anti PKI. Balai kota Solo juga mengalami beberapa kali perubahan. Pertama wujud balai kota Solo layaknya gedung pemerintahan zaman kolonial. Kemudian balai kota itu dibumihanguskan. Dibangun kembali setelah itu. Pada tahun 1999 ketika kerusuhan melanda Solo, balai kota juga menjadi sasaran. Pendopo balai kota Solo kembali terlahap api. Dan yang berdiri sekarang adalah hasil dari pembangunan setelah kerusuhan 1999.

Di belakang balai kota, terdapat nama daerah Kampung Baru. Ruud, ketika mendengar nama ini sedikit tergelitik. Awal mulanya daerah ini bernama Krapyak yang berarti kandang hewan liar. Daerah ini menjadi kandang dari hewan buruan yang ditangkap baik oleh raja, pangeran, bangsawan keraton, maupun prajurit keraton yang suka berburu di hutan. Sebelum berganti nama menjadi Kampung Baru, kawasan ini diberi nama Loji Wurung. Baik pihak keraton ataupun Belanda ingin membangun bangunan di daerah ini. Akan tetapi banjir sering menghantui daerah ini. Loji-loji urung didirikan, maka daerah ini disebut sebagai Loji Wurung.


Residentiehuis te Surakarta.


Uitgebrande Pasar Gede Hardjonagoro.

Sebelum saya hampir sampai di lokasi wedangan, saya berjumpa dahulu dengan Tugu Pemandengan. Tugu ini menjadi titik kosmologi poros Keraton-Tugu Pemandengan. Tugu ini pula yang menjadi saksi bisu Kota Solo dari generasi ke generasi. Solo yang kini dikenal "kalem" seperti dalam lagu keroncong Putri Solo, dahulunya adalah kota radikal dalam masa pergerakan. Solo juga pernah menyandang status Daerah Istimewa. Akan tetapi karena gerakan anti-swarapraja dan gejolak politik yang memanas, status istimewa Solo dibekukan.

Gemerlap cahaya lampion kembali menyambut saya ketika memasuki kawasan Pasar Gede. Pasar ini dibangun pada masa pemerintahan Sinuhun Paku Buwono X. Karsten adalah orang yang merancang pasar ini. Pasar Gede juga menjadi imbas ketika Solo "memanas." Pada masa kemerdekaan Pasar Gede hangus terbakar dan saat kerusuhan pada 1999, Pasar Gede bernasib sama dengan balai kota. Bila balai kota Solo dibangun dengan wajah baru, Pasar Gede memiliki nasib baik. Ia kembali dibangun dengan wajah lamanya. Wajah yang sekarang menjadi ikon kota.

Tempat wedangan saya berada di Pasar Gede bagian barat. Tepat di depan pasar bagian barat. Ketika saya sampai, dua orang kawan saya sudah datang terlebih dahulu. Segelas teh hangat sudah menemani mereka. Banyak orang yang datang ke sini saat lampion-lampion menghiasi kawasan Pasar Gede. Mengabadikan diri dengan berbagai pose. Pun ada pula para pedagang yang memanfaatkan momen ini. Hidup memanglah begitu. Tidak ada yang pernah sama satu sama lain. Setiap orang hidup pada jalannya masing-masing.


Segelas teh hangat yang saya pesan sudah datang. Ada yang berfoto, ada yang berjualan, pun ada pula yang sedang wedangan seperti saya. Hidup adalah perayaan. Maka dari itu, mari rayakan kehidupan dengan kisahnya masing-masing. Kalau saya? Rayakan dengan wedangan saja. Hehehe.


Referensi/sumber pendukung:
* Noni Ruli. Sobo Turut Lurung di Solo, Jowo Londo di Gang Tua.
* digitalcollections.universiteitleiden.nl
* nationaalarchief.nl

Catatan tambahan:
* Beberapa foto diambil dari digitalcollections.universiteitleiden.nl dan nationaalarchief.nl

Post a Comment

2 Comments

  1. Hallo mas, ndak sengaja nemu blog ini di google ketika searching tentang perjanjian giyanti. Artikel nya bagus-bagus btw :D, terus menulis yaa.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo juga.

      Terima kasih untuk dukungan dan kunjungannya. 😁

      Delete