Menyambung Kisah Dezentje

Nama Dezentje masih terdengar asing di telinga orang awam. Namanya kalah pamor dengan Raja Gula dari Semarang, Oei Tiong Ham. Padahal ia menjadi pionir perkebunan di Vorstenlanden. Tanah perkebunannya membentang luas dari Salatiga, Ampel, hingga Boyolali. Dialah “raja” sebelum nama Oei Tiong Ham melejit menjadi Raja Gula.


Kemarau barangkali sedang memasuki puncaknya. Angin malam semilir berhembus membawa hawa dingin yang cukup menusuk kulit. Meskipun berada di tengah kota Solo. Beberapa waktu yang lalu komunitas sejarah Soeracarta Heritage Society (SHS) kembali menyelenggarakan diskusi Cerita Surakarta yang pada malam itu bertajuk Keabadian Dezentje. Bertempat di Rumah Banjarsari, diskusi pada malam itu menyambung kembali kisah Dezentje dan keturunanya semasa berada di Hindia Belanda.

Diskusi pada malam itu menghadirkan Mas Warin dan Ibnu sebagai narasumber. Aku mengenal mereka juga berkat “bantuan” dari Dezentje. Dua tahun lalu, aku berkesempatan mengenal Dezentje dan juga mereka.

Malam baru saja datang, meninggalkan petang dan senja sore hari yang menghangatkan hati. Selepas maghrib aku bergegas menuju Rumah Banjarsari. Tak butuh waktu lama untuk sampai di sana. Setibanya di sana, ternyata beberapa kawan juga datang dan sedang berkumpul sembari menikmati wedangan sebelum acara dimulai.

Gelak tawa kami membaur dengan suasana di Rumah Banjarsari ini. Berderu kencang menyaingi suara gamelan yang sedang digunakan untuk latihan. Cukup lama untuk memulai acara karena masih menunggu satu lagi narasumber yang belum datang. Setelah narasumber lengkap, Cerita Surakarta, Keabadian Dezentjepun dimulai.


Johannes Augustinus Dezentje atau yang lebih dikenal dengan nama Tinus Dezentje merupakan anak dari seorang pengawal Eropa di Keraton Kasunanan Surakarta. Ayahnya, August Jan Caspar, menyewa lahan yang membentang dari Salatiga, Ampel, hingga Boyolali dari gaji yang ia dapat semasa menjadi perwira masa pendudukan Inggris. Ketika ia meninggal, tanah sewa ini ia wariskan kepada Tinus Dezentje. Dan dari sinilah legenda pionir perkebunan di Vorstenlanden dimulai.

Diskusi pada malam itu dimulai dari Mas Warin yang menjadi narasumber pertama. Dari penuturannya aku kembali mendapati banyak hal baru tentang Dezentje. Salah satunya adalah kunci dari kesuksesan perkebunan Dezentje. Memang benar darah Belanda mengalir dalam tubuhnya. Namun janganlah berprasangka buruk dahulu. Belanda tak selamanya jahat! Tinus bisa jadi anomalinya. Dalam usaha perkebunannya, ia memberikan bibit gratis kepada petani. Ketika panen tiba, ia bahkan membeli sebagian hasil panen itu dan sebagian lagi diberika kepada petani.
Kehidupan Tinus bak seorang raja. Meski ia berdarah Belanda-Perancis, tapi rumahnya dibangun dengan gaya rumah bangsawan Surakarta atau bupati Jawa. Rumah Tinus sungguhlah luas. Dikelilingi tembok benteng dengan empas bastion dan gardu pengawas. Di dalam kompleks rumahnya terdapat kolam renang bahkan kebun binatang. Bila boleh dibilang, rumah Tinus bak keraton kecil.
Ketika masa perang Diponegara, usaha perkebunan Tinus cukup rawan. Ia tak segan-segan menyewa 1500 personel untuk mengamankan perkebunannya. 1500 personel ini disebar di tiap-tiap pos perkebunan. Namun bila sesuatu hal terjadi mereka siap untuk dipanggil kapan saja.

Pernikahan politiknya dengan Raden Ayu Tjokrokoesoemo membuat ia dekat dengan lingkungan Kasunanan Surakarta. Selama perang Jawa pecah, ia mampu membuat Susuhunan Surakarta bersikap netral.


Potret J.A. Dezentje. Sumber foto berasal dari Geni.


Gapura menuju kediaman Dezentje (sumber: media-kitlv.nl dalam jejakkolonial.blogspot.com).

Angin malam sesekali berhembus kencang, membuat malam sedikit lebih dingin. Cerita Surakarta malam itu masih berlanjut. Keabadian Dezentje masih menyambung kisah-kisah yang terpendam dari legenda pionir perkebunan di Vorstenlanden.

Dalam usahanya untuk memperlancar distribusi hasil panen perkebunannya, ia membuat saluran kanal sepanjang 60 km. Dana mega proyek kanal ini ia pinjam dari Nederlandsch Handel Maatschappij. Di tengah ambisi besarnya dalam ekspansi hasil perkebunannya lewat pembangunan kanal sepanjang 60 km ini, Johannes Augustinus Dezentje meninggal dunia. Ia berpulang dalam usia yang terbilang cukup muda yaitu 42 tahun. Meninggalkan warisan perkebunan seluas 1275 ha.

Kematian Tinus cukup berimbas pada usaha perkebunannya. Ditambah lagi dengan gagal panen dan hutang yang menumpuk. Aset-aset dijual untuk menutup biaya operasional dan juga hutang. Bantuan juga datang dari kolega-kolega Tinus. Kepiawaiannya dalam menjaga kolega-kolega semasa hidup sangat membantu untuk membangkitkan lagi usaha perkebunannya. Usaha perkebunan Tinuspun berlanjut. Tetapi bukan lagi di tangan Tinus melainkan di tangan para keturunannya.

Akhir dari legenda pionir perkebunan di Vorstenlanden dan keluarganya dimulai ketika masa pendudukan Jepang. Berkat piawainya Tinus menjaga hubungan dengan rakyat maupun lingkaran Kasunanan Surakarta semasa hidup, keluarga Tinus berhasil selamat dari pendudukan Jepang berkat bantuan dari mereka semua.


Tampak depan rumah J.A. Dezentje (sumber: media-kitlv.nl dalam jejakkolonial.blogspot.com).

Cerita Surakarta malam itu masih berlanjut. Narasumber kedua, Ibnu, berbagi kisah tentang salah satu bangunan yang terkenal di Solo yaitu Loji Gandrung. Loji Gandrung bisa dibilang beruntung bila dibandingkan dengan rumah Tinus yang dibumi-hanguskan. Keberadaan Loji Gandrung tak lepas dari cap bersenang-senang. Namun, tak sekedar itu. Di sela bersenang-senang juga ada obrolan bisnis.

Sepak terjang Tinus di Surakarta memanglah samar terdengar. Efek langsungnya tidaklah langsung terasa. Ia berada di barisan belakang layar. Barisan penyokong dana. Namun, seringkali namanya tak dicantumkan.

Aset-aset dari Tinus sudah tidak banyak ditemui. Eks perkebunan Tinus yang masih ada saat ini berada di Melambong, Merapi. Perkebunan yang dahulunya merupakan komoditi kopi sekarang berganti menjadi perkebunan teh. Selain itu ada pula Pabrik Gula Ponggok. Sisa PG Ponggok yang bisa dilihat sekarang adalah kolam yang saat ini digunakan untuk wisata itu. Dahulunya kolam itu merupakan kolam sumber air untuk kebutuhan pabrik gula.


Nama besar Dezentje memanglah kalah tenar dengan Oei Tiong Ham. Namun, ia merupakan pionir perkebunan di Vorstenlanden. Nama besarnya kadang terselimuti kabut kelam karena ia mewarisi darah Belanda yang sering dicap jahat.

Sejarah sudah seharusnya tidak dilihat yang hitam adalah hitam, yang putih adalah putih. Sejarah adalah soal waktu dan juga konteks. Tidak bisa disama-ratakan begitu saja. Seperti Dezentje yang tahu bila tanpa petani-petaninya, usaha perkebunannya tidaklah bisa sukses dan sudah pasti bila tidak ada hal itu legenda pionir perkebunan di Vorstenlanden tidak akan pernah ada.

Malam makin berlalu, tanpa terasa Cerita Surakarta, Keabadian Dezentje, sudah berlangsung dua jam. Menyambung Kisah Dezentje pada malam itu masih begitu dasar. Ujung dari diskusi Keabadian Dezentje masih abu-abu lantaran sulitnya mengulik lebih dalam tentang Dezentje. Entah, kapan akan berlanjut lagi, mari kita tunggu saja Cerita Surakarta selanjutnya. Dan Cerita Surakarta edisi ke-15 inipun ditutup.

Cerita Surakarta, Keabadian Dezentje

Post a Comment

1 Comments