Halaman balaikota Solo tengah berbenah diri. Memberikan kesan pada dirinya bahwa ia terbuka bagi siapapun. Perhatianku kali ini bukan soal balaikota yang tengah berbenah diri lebih terbuka, tetapi tertuju pada sebuah bunker peninggalan Belanda yang ditemukan di kompleks balaikota pada 2012 dulu. Penemuan ini memang tidak sengaja. Ketika hendak membangun gedung baru, saat proses penggalian tanah ditemukanlah bungker peninggalan Belanda ini.

Juni yang baru saja datang menyapa membawaku bertemu lagi dengan mereka. Jumpa dan Akhir agaknya menjadi awal yang baru untuk aku menuliskan kisah bersama mereka. Siang harinya sebelum aku bertemu dengan mereka, aku bersama Mas Ang berkunjung ke balaikota Solo. Aku sendiri juga penasaran dengan adanya bunker balaikota yang kini sudah bisa diakses oleh publik.
Penemuan bunker di balaikota Solo tidaklah mengherankan. Pasalnya kompleks balaikota Solo ini dahulunya merupakan kompleks gubernuran pada masa Hindia Belanda. Selang enam tahun setelah penemuannya, akhirnya bunker balaikota Solo selesai digali dan sekarang dibuka untuk umum.

Hanya ada aku dan Mas Ang saja ketika kami megunjungi bunker ini. Tak ada papan informasi yang jelas mengenai sejarah dari bunker ini. Tapi dari penuturan warga yang dahulunya tinggal di sekitar kompleks balaikota mengatakan bahwa bungker itu sudah ada sejak zaman belanda. Bahkan di atas bungker itu dahulunya ada semacam gazebo untuk mengelabuhi keberadaan bunker.
Suasana pengap langsung terasa ketika baru saja masuk ke bunker. Bungker ini terdiri dari dua ruang yang terpisahkan oleh tembok tebal di tengahnya dan terdapat sebuah lubang ventilasi di kedua lorongnya. Tangga masuk maupun keluar berada di sisi timur dan barat. Tidak ada informasi yang tersajikan di sini hanya tulisan Bunker Balaikota Surakarta yang tercetak pada sebuah penanda yang ditempelkan di luar bunker. Tidak banyak yang bisa dilakukan di sini. Bunker ini tak ubahnya bak ruang kosong yang tengah menunggu untuk diceritakan kembali.
Setelah mondar-mandir di dalam buker, aku dan Mas Ang istirahat sejenak di tepi tangga masuk bunker. Tiga orang anak kecil tiba-tiba datang dan langsung saja masuk ke dalam buker. Mereka bertiga tampak asyik bermain di dalam bunker. Suara teriakan khas anak kecil saling bersautan ketika mereka tengah bermain. Selepas istirahat sejenak, aku dan Mas Ang beranjak pergi dari bunker balaikota Solo dan melanjutkan perjalanan menuju kawasan Kota Lamanya Solo, yaitu Loji Wetan.


Kolonialisme Belanda memang menjadi kenangan pahit dalam perjalanan Indonesia menuju merdeka maupun setelah merdeka. Tetapi tak selamanya Belanda itu jahat. Begitu banyak faktor ketika kita berbicara tentang sejarah. Tinggal bagaimana kita memahaminya dari berbagai sudut pandang bila berbicara persoalan sejarah. Terlebih lagi soal Belanda yang sensitif di negeri ini.
Kemauan pemerintah Solo untuk tidak menghilangkan keberadaan bunker ini patut diapresiasi. Peninggalan-peninggalan masa kolonialisme Belanda adalah sebuah bukti sejarah. Kalau semua dihancurkan lantas bagaimana membuktikannya? Dan sebagai penutup dari semua ini, aku akan mengutip tulisan dari seorang kawan di blognya. Bahwa yang harus dihilangkan dari sisa-sisa kolonialisme adalah ketimpangan, kesewenang-wenangan, dan penindasannya, bukan bangunannya.
Catatan tambahan:
* Bunker ini berada di kompleks balaikota Solo, tepatnya di sebelah barat laut pendopo balaikota.
* Tidak ada biaya masuk karena memang digratiskan oleh pemkot Solo.
Juni yang baru saja datang menyapa membawaku bertemu lagi dengan mereka. Jumpa dan Akhir agaknya menjadi awal yang baru untuk aku menuliskan kisah bersama mereka. Siang harinya sebelum aku bertemu dengan mereka, aku bersama Mas Ang berkunjung ke balaikota Solo. Aku sendiri juga penasaran dengan adanya bunker balaikota yang kini sudah bisa diakses oleh publik.
Penemuan bunker di balaikota Solo tidaklah mengherankan. Pasalnya kompleks balaikota Solo ini dahulunya merupakan kompleks gubernuran pada masa Hindia Belanda. Selang enam tahun setelah penemuannya, akhirnya bunker balaikota Solo selesai digali dan sekarang dibuka untuk umum.
Hanya ada aku dan Mas Ang saja ketika kami megunjungi bunker ini. Tak ada papan informasi yang jelas mengenai sejarah dari bunker ini. Tapi dari penuturan warga yang dahulunya tinggal di sekitar kompleks balaikota mengatakan bahwa bungker itu sudah ada sejak zaman belanda. Bahkan di atas bungker itu dahulunya ada semacam gazebo untuk mengelabuhi keberadaan bunker.
Suasana pengap langsung terasa ketika baru saja masuk ke bunker. Bungker ini terdiri dari dua ruang yang terpisahkan oleh tembok tebal di tengahnya dan terdapat sebuah lubang ventilasi di kedua lorongnya. Tangga masuk maupun keluar berada di sisi timur dan barat. Tidak ada informasi yang tersajikan di sini hanya tulisan Bunker Balaikota Surakarta yang tercetak pada sebuah penanda yang ditempelkan di luar bunker. Tidak banyak yang bisa dilakukan di sini. Bunker ini tak ubahnya bak ruang kosong yang tengah menunggu untuk diceritakan kembali.
Setelah mondar-mandir di dalam buker, aku dan Mas Ang istirahat sejenak di tepi tangga masuk bunker. Tiga orang anak kecil tiba-tiba datang dan langsung saja masuk ke dalam buker. Mereka bertiga tampak asyik bermain di dalam bunker. Suara teriakan khas anak kecil saling bersautan ketika mereka tengah bermain. Selepas istirahat sejenak, aku dan Mas Ang beranjak pergi dari bunker balaikota Solo dan melanjutkan perjalanan menuju kawasan Kota Lamanya Solo, yaitu Loji Wetan.
Kolonialisme Belanda memang menjadi kenangan pahit dalam perjalanan Indonesia menuju merdeka maupun setelah merdeka. Tetapi tak selamanya Belanda itu jahat. Begitu banyak faktor ketika kita berbicara tentang sejarah. Tinggal bagaimana kita memahaminya dari berbagai sudut pandang bila berbicara persoalan sejarah. Terlebih lagi soal Belanda yang sensitif di negeri ini.
Kemauan pemerintah Solo untuk tidak menghilangkan keberadaan bunker ini patut diapresiasi. Peninggalan-peninggalan masa kolonialisme Belanda adalah sebuah bukti sejarah. Kalau semua dihancurkan lantas bagaimana membuktikannya? Dan sebagai penutup dari semua ini, aku akan mengutip tulisan dari seorang kawan di blognya. Bahwa yang harus dihilangkan dari sisa-sisa kolonialisme adalah ketimpangan, kesewenang-wenangan, dan penindasannya, bukan bangunannya.
Catatan tambahan:
* Bunker ini berada di kompleks balaikota Solo, tepatnya di sebelah barat laut pendopo balaikota.
* Tidak ada biaya masuk karena memang digratiskan oleh pemkot Solo.
0 Comments