Barangkali sudah puluhan purnama berlalu semenjak terakhir kali aku menyaksikan gelaran Setuponan yang berlangsung di Pendopo Prangwedanan, Pura Mangkunegaran. Entah sudah berapa lama aku tidak menyaksikan gelaran budaya yang dipentaskan setiap 35 hari sekali ini. Agaknya aku sedikit lupa kapankah itu dan nampaknya waktu juga berlalu begitu cepat. 
Di zaman sekarang yang serba modern ini, eksistensi budaya tradisonal sedikit banyak mulai terkikis tak terkecuali budaya Jawa di kota yang katanya Kota Budaya ini. Budaya dan kota adalah hal yang tak dapat dipisahkan. Kota tanpa budaya maka ia akan kehilangan sebuah identitas akan jati diri. Kota Solo dan budaya Jawa pun sama.
Perjalanan panjang kota Solo dari sebuah desa kecil yang berupa rawa di tepi Bengawan kemudian menjelma menjadi pusat ibukota sebuah kerajaan besar, lantas menjadi seperti sekarang ini setelah status keistimewaannya dibekukan, tak luput dari budaya Jawa itu sendiri. Bila kota ini dikenal sebagai The Spirit of Java maka sudah seyogyanya kota ini juga mencerminkan nilai-nilai budaya Jawa dan juga menjaga eksistensi budaya Jawa itu sendiri.

Setibanya aku di pendopo Prangwedanan sudah begitu banyak penonton yang datang. Malam itu tak seperti biasanya, ada yang menjadikan Setuponan ke-46 menjadi istimewa yang pertama adalah Setuponan malam itu bertepatan dengan hari jadi kota Solo yang ke-273 tahun. Kedua adalah penampilan spesial dari putra mahkota dari Pura Mangkunegaran yaitu GPH Paundrakarna Jiwa Suryanegara.
Begitu antusiasnya masyarakat untuk menikmati Setuponan ke-46 ini. Hal ini menunjukkan bahwa bila sebuah seni dan budaya masih diminati masyarakat ditengah krisis identitas budaya di kota Solo itu sendiri. Setuponan malam itu dibuka dengan Tari Gambyong, dilanjutkan Tari Eka Prawira lantas Tari Kupu-kupu. Keempat adalah penampilan dari English Massive (EMAS) Kediri yang menyajikan fragmen Ande Ande Lumut dan Indonesia oh Indonesia yang dibawakan oleh GPH Paundra menjadi pamungkas dari pertunjukkan Setuponan ke-46 ini.

Pasang surut eksistensi budaya Jawa di kota Solo mungkin menjadikan Setuponan sebagai wadah untuk tetap melestarikan seni dan budaya Jawa terlebih lagi yang berpusat serta berkembang di lingkungan Pura Mangkunegaran. Pesan yang harus ditangkap oleh semua lapisan masyarakat tak terkecuali pemerintah. Bahwa pelestarian seni dan juga budaya Jawa tidak bisa dilakukan oleh beberapa atau sebagian pihak saja tetapi harus semua pihak dan saling bahu-membahu untuk menjaga sekaligus melestarikan itu semua. Dan menjadikan kota Solo ini benar-benar The Spirit of Java. Bukan hanya slogan semata tetapi juga ada sebuah realisasi nyata akan hal itu.
Ah, setelah lama tidak menyaksikan Setuponan dan kemudian kembali bisa menyaksikan Setuponan membuatku semakin sadar bahwa sangat penting untuk menjaga seni dan budaya Jawa yang begitu luar biasa. Dan sebagai orang Jawa yang lahir dan tumbuh besar hingga sekarang ini di tanah Jawa, secara tidak langsung aku juga punya tanggung jawab untuk melestarikan seni dan budaya Jawa itu sendiri.

Jadi, apakah masih malu ataupun ragu untuk melestarikan seni dan budaya sendiri? Begitu banyak cara untuk ikut andil dalam melestarikan seni dan budaya sendiri dan salah satu cara paling mudah adalah dengan menyaksikannya.
Dokumentasi lainnya:

English Massive, Kediri.



Antusiasme untuk berfoto setelah acara.
Setuponan merupakan sebuah pagelaran yang diadakan setiap 35 hari sekali dan sekaligus untuk memepringati weton atau hari lahir dari KGPAA Mangkunegaran IX yang jatuh pada hari Sabtu Pon. Kegiatan ini rutin diadakan sepanjang tahun kecuali pada bulan Ramadan dan Setuponan yang berlangsung pada 17 Februari 2018 sudah memasuki pagelaran yang ke-46.
Di zaman sekarang yang serba modern ini, eksistensi budaya tradisonal sedikit banyak mulai terkikis tak terkecuali budaya Jawa di kota yang katanya Kota Budaya ini. Budaya dan kota adalah hal yang tak dapat dipisahkan. Kota tanpa budaya maka ia akan kehilangan sebuah identitas akan jati diri. Kota Solo dan budaya Jawa pun sama.
Perjalanan panjang kota Solo dari sebuah desa kecil yang berupa rawa di tepi Bengawan kemudian menjelma menjadi pusat ibukota sebuah kerajaan besar, lantas menjadi seperti sekarang ini setelah status keistimewaannya dibekukan, tak luput dari budaya Jawa itu sendiri. Bila kota ini dikenal sebagai The Spirit of Java maka sudah seyogyanya kota ini juga mencerminkan nilai-nilai budaya Jawa dan juga menjaga eksistensi budaya Jawa itu sendiri.
Setibanya aku di pendopo Prangwedanan sudah begitu banyak penonton yang datang. Malam itu tak seperti biasanya, ada yang menjadikan Setuponan ke-46 menjadi istimewa yang pertama adalah Setuponan malam itu bertepatan dengan hari jadi kota Solo yang ke-273 tahun. Kedua adalah penampilan spesial dari putra mahkota dari Pura Mangkunegaran yaitu GPH Paundrakarna Jiwa Suryanegara.
Begitu antusiasnya masyarakat untuk menikmati Setuponan ke-46 ini. Hal ini menunjukkan bahwa bila sebuah seni dan budaya masih diminati masyarakat ditengah krisis identitas budaya di kota Solo itu sendiri. Setuponan malam itu dibuka dengan Tari Gambyong, dilanjutkan Tari Eka Prawira lantas Tari Kupu-kupu. Keempat adalah penampilan dari English Massive (EMAS) Kediri yang menyajikan fragmen Ande Ande Lumut dan Indonesia oh Indonesia yang dibawakan oleh GPH Paundra menjadi pamungkas dari pertunjukkan Setuponan ke-46 ini.
Pasang surut eksistensi budaya Jawa di kota Solo mungkin menjadikan Setuponan sebagai wadah untuk tetap melestarikan seni dan budaya Jawa terlebih lagi yang berpusat serta berkembang di lingkungan Pura Mangkunegaran. Pesan yang harus ditangkap oleh semua lapisan masyarakat tak terkecuali pemerintah. Bahwa pelestarian seni dan juga budaya Jawa tidak bisa dilakukan oleh beberapa atau sebagian pihak saja tetapi harus semua pihak dan saling bahu-membahu untuk menjaga sekaligus melestarikan itu semua. Dan menjadikan kota Solo ini benar-benar The Spirit of Java. Bukan hanya slogan semata tetapi juga ada sebuah realisasi nyata akan hal itu.
Ah, setelah lama tidak menyaksikan Setuponan dan kemudian kembali bisa menyaksikan Setuponan membuatku semakin sadar bahwa sangat penting untuk menjaga seni dan budaya Jawa yang begitu luar biasa. Dan sebagai orang Jawa yang lahir dan tumbuh besar hingga sekarang ini di tanah Jawa, secara tidak langsung aku juga punya tanggung jawab untuk melestarikan seni dan budaya Jawa itu sendiri.
Jadi, apakah masih malu ataupun ragu untuk melestarikan seni dan budaya sendiri? Begitu banyak cara untuk ikut andil dalam melestarikan seni dan budaya sendiri dan salah satu cara paling mudah adalah dengan menyaksikannya.
Jadwal Setuponan selama tahun 2018 bisa dilihat di sini.
Dokumentasi lainnya:
English Massive, Kediri.
Antusiasme untuk berfoto setelah acara.
0 Comments