Gondang Winangoen dalam Manisnya Sesap Gula

Gula dan Indonesia nampaknya tak bisa dipisahkan begitu saja. Negeri ini pernah menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba. Ya! Benar-benar suatu kejayaan masa lalu yang menakjubkan. Namun sayang, hal itu tidaklah berlaku di masa sekarang. Krisis Malaise dan begitu banyak faktor lainnya, sedikit banyak mempengaruhi komoditi gula di Indonesia. Lima puluh satu pabrik gula pernah berdiri di tanah Jawa. Tetapi, satu demi satu para Suikerfabriek itu terpaksa tutup. Para Suikerfabriek yang pernah membuat jaya tanah Hindia Belanda ini kian mendera sepi hingga akhirnya tersisa delapan dari limapuluh satu pabrik gula aktif yang pernah ada di tanah Jawa.

Nusantara mengenal gula ketika sistem tanam paksa oleh pemerintah kolonial Belanda dijalankan. Tetapi jauh sebelum Cultuurstelsel diterapkan di Hindia Belanda, gula sudah dikenal di dunia. Popularitas gula di dunia membuatnya sebagai barang mewah saat itu. Sebagai perbandingannya, harga gula di London tahun 1319 sebesar "Dua Shilling tiap Pound", nilai ini setara dengan penghasilan rata-rata buruh untuk beberapa bulan.
Ketika India dikuasai Raja Darius dari Persia ia menemukan tebu yang sangat dirahasiakan. Namun, saat Persia jatuh ditangan Arab pada abad ke-7 M, mereka menemukan tebu dan cara pengolahan. Gula dikenal di Eropa setelah Perang Salib. "Rempah baru" itu begitu tersohor di Benua Biru dan membuatnya menjadi barang mewah saat itu. Gula pertama tercatat di Inggris pada tahun 1099 dan abad-abad setelahnya merupakan periode ekspansi besar-besaran pedagang Eropa ke Tanah Timur.

Sesap manis jejak gula di Indonesia membuatku begitu tertarik entah dengan gula itu sendiri maupun dengan para Suikerfabriek. Pertengahan bulan pertama di tahun 2018 ini menuntun langkahku ke sebuah museum yang terletak di dalam kompleks pabrik gula Gondang Winangoen atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Gondang Baru. Sebuah museum yang terletak di tepi jalan raya Solo-Yogyakarta. Sebuah museum bernama Museum Gula Jawa Tengah.
Pabrik Gula Gondang Winangoen didirikan oleh NV Klatenche Cultuur Maatschapij pada tahun 1860. Di awal berdirinya Suikerfabriek Gondang Winangoen dikelola oleh NV Mirandolle Vaute yang berkedudukan di Semarang.
Hiruk pikuk keramaian jalan lintas Solo-Yogyakarta tak membuat museum yang menyandang gelar satu-satunya museum gula di Indonesia bahkan Asia Tenggara ini ramai akan pengunjung. Bahkan ketika aku berkunjung ke sana cukup dibuat bingung karena pintu-pintu museum tertutup rapat.

Museum Gula Jawa Tengah

Kebingunganku ini pudar setelah bertanya ke salah satu pegawai PG Gondang Baru yang tengah lewat di halaman taman untuk beristirahat. Ternyata, petugas museumnya tengah beristirahat, maklum aku datang ke museum ini ketika masuk waktu istirahat bagi para pekerja. Seraya petugas museum membuka pintu-pintu ruang museum, aku sudah berada di halaman depan museum. Bangunan lawas khas bangunan-bangunan kolonial menyambutku dengan langit mendung yang menggantung di langit kota Klaten.

Setelah membeli tiket masuk, petugas museum tadi menawarkan diri apakah ingin dipadu mengelilingi museum atau tidak. Tapi, aku menolak itu lantaran sudah terbiasa berkeliling museum seorang diri. Selepas itu petugas museum tadi memberikan pengarahan tentang alur menjelajah museum dan yang pertama ditunjukkan adalah di sebelah kanan gedung utama. Di tempat itu disajikan tentang proses awal pembuatan gula yaitu proses pemerasan tebu untuk memisahkan antara ampas tebu dengan nira atau sari tebu. Jauh sebelum adanya pabrik gula dan alat giling dari baja ternyata masyarakat Jawa sudah bisa mengolah tebu. Masyarakat Jawa saat itu mengolah pemerasan tebu dengan alat yang masih tradisional baik berupa gilingan kayu maupun batu.



Alat pemisah ampas tebu dan sarinya secara tradisional.
Tiga orang remaja putri nampak asyik berfoto di beranda depan bangunan yang digunakan sebagai museum gula ini. Nampaknya hanya aku saja yang tertarik masuk ke dalam museum. Di sebelah kiri gedung utama terdapat koleksi lokomotif-lokomotif dan gerbong pengangkut tebu tetapi entah mengapa aku lebih tertarik untuk masuk ke dalam museum dahulu. Begitu masuk sebuah peta besar langsung menyambut. Peta itu adalah peta sebaran lokasi dari pabrik gula yang ada di tanah Jawa. Sayang kondisinya sangat memperihatinkan. Tombol beserta lampu-lampu penunjuk lokasi pabrik gula tidak berfungsi lagi.

Udara di sini begitu panas dan pengap belum lagi pencahayaan yang bisa dikata minim sedikit banyak menggangguku ketika harus membaca keterangan. Berlanjut dari peta terdapat diorama mengenai pembukaan lahan dengan sistem Reynoso. Tetapi diorama pembukaan lahan tidak disertai dengan pejelasan apa itu sistem Reynoso. Di sudut lain terdapat diorama tentang lokasi lahan kering yang nantinya akan ditanami tebu. Selain diorama tersaji pula foto-foto yang berjejer rapi.


      
Diorama depan adalah pebukaan lahan sistem Reynoso.


Pasang surut Gondang Winangoen sebagai sebuah pabrik gula juga memiliki cerita tersendiri. Krisis Malaise yang melanda dunia cukup berdampak pada produksi pabrik-pabrik gula di Hindia Belanda tak terkecuali juga dengan PG Gondang Winangoen. Akibat krisis yang melanda ini PG Gondang Winangoen sempat berhenti beroperasi dari tahun 1930 hingga tahun 1935. Setelah badai krisis mereda pabrik gula Gondang Winangoen kembali beroperasi dengan kendali dibawah Beerman dan MFH Breemers.

Beroperasi kembali Gondang Winangoen sebagai pabrik gula setelah krisis dibawah "embel-embel" Belanda tak berlangsung lama. Pada tahun 1942 setelah Belanda menyerah kepada Jepang dan Indonesia diduduki oleh Jepang, PG Gondang Winangoen dikuasai oleh orang Jepang dan diberi nama Nisio dan Inogaki. Meski dimiliki oleh Jepang operasional PG Gondang Winangoen dibantu oleh MFH Breemers.

Pabrik gula Gondang Winangoen agaknya menjadi salah satu saksi bisu perjalanan Indonesia menuju merdeka. Pergantian penguasa di tanah Hindia Belanda juga berdampak pada siapa penguasa dari penghasil "rempah baru" yang pernah tersohor di dunia itu. Belanda tergantikan oleh Jepang dan setelah itu pada tahun 1945 selepas negeri ini merdeka Gondang Winangoen dikuasai oleh Indonesia dan dikelola oleh Badan Penyelenggara Perusahaan Gula Negara (BPPGN).

Lini masa PG Gondang Winangoen.
Selepas dari diorama, terdapat koleksi peralatan yang digunakan untuk menggarap lahan. Selain peralatan terdapat juga jenis-jenis tebu yang sudah diawetkan dalam tabung. Tak luput pula tentang hama-hama yang menyerang tebu ketika ditanam. Seperti tikus yang sudah diawetkan di dalam tabung juga. Namun sayang, pencahayaan yang kurang memadai membuatku harus melihat dengan penuh kejelian ketika melihat hama-hama yang tersaji di salah satu lemari bersama jenis-jenis tebu. Ada pula alat-alat lainnya di sini namun aku cukup kesulitan membaca keterangannya untuk mengetahui alat apakah itu.

Selepas di ruang utama ini, selanjutnya masih koleksi alat-alat yang digunakan untuk memproses tebu. Alat-alat laboratorium juga terdapat di dini. Di salah satu sudut terpapat pula sebuah mesin jahit yang sudah terlihat renta. Ketika berada di ruangan ini, saat aku menengadah ke atas terdapat sebuah gambar Vishva Mitra entah itu berupa foto atau lukisan, aku kurang bisa menerka. Harusnya ada pejelasannya, karena menurutku unik, mengapa dewa dalam mitologi Hindu ada di sini.

Di ruang selanjutnya terdapat replika dari Pabrik Gula Tasikmadu yang dibangun oleh Mangkunegara IV. Selain itu berjejer pula foto-foto lawas yang begitu memutar ruang nostalgia. Salah satunya bercerita ketika sedang berlangsung Giling Tebu dengan tradisi Manten Tebu dan Cembengan.

Jenis-jenis tebu.

Timbangan

Replika dari Pabrik Gula Tasikmadu, Karanganyar.
Langkah kaki menuntunku ke ruang selanjutnya dari Museum Gula. Ruang ini adalah ruang dengan tiruan ruang kerja administratur dari pabrik gula yang dilengkapi dengan alat-alat pendukungnya. Di sudut ruangan ini terdapat mesin hitung lintas generasi yang ditata rapi di sebuah almari kayu berwarna coklat tua. Selain itu tersaji pula foto pimpinan yang pernah mengepalai PG Gondang Winangoen selepas merdeka dari pertama hingga sekarang.

Tiga remaja putri yang sedang asyik mengabadikan momen ketika aku datang tadi sudah tak nampak lagi. Rupanya hanya aku saja pengunjung di Museum Gula ini. Di sebelah barat pintu masuk utama terdapat sebuah ruang lagi namun sayang pintu ruang itu terkunci dan tertutup rapat.


Langit yang masih mendung menemaniku ke sisi paling barat dari Museum Gula. Di tempat ini terdapat koleksi lokomotif-lokomotif dan gerbong pengangkut tebu. Tak banyak memang tetapi itu sangat memanjakan imajiku akan masa lalu. Lokomotif yang paling tua di sini diberi nama "Simbah" ada pula lokomotif "Ajax" dan tak luput pula pengangkut tebu tradisonal sebelum adanya lokomotif. Tak tertinggal pula gerbong yang digunakan untuk mengangkut tebu.

Ketika mendekati lokomotif "Simbah" niatan untuk berlama-lama langsung aku urungkan karena banyaknya tawon yang berkeliaran di belakangan Simbah. Di depan Simbah ini terdapat sebuah alat yang berwarna kuning mecolok tapi aku tak tahu fungsinya digunakan untuk apa. Karena lagi-lagi penjelasannya tidak ada atau aku yang kurang melihat lebih jeli lagi. Di sudut lain terdapat alat dengan gerigi yang besar. Alat ini pernah aku jumpai ketika masuk di eks PG Colomadu.

Lokomotif Simbah
Simbah.

Gerbong pengangkut tebu
Gerbong pengangkut tebu.
Keputusan untuk tidak memakai pemandu kali ini cukup membuatku kecewa. Bagaimana tidak, banyak koleksi yang sejatinya bisa berkisah banyak tetapi tak aku dapatkan. Ya, gula memang pernah menjadi primadona dimasanya. Dibalik primadonanya sebuah gula tersimpan sebuah proses panjang untuk menghasilkan sebutir gula. Museum yang diresmikan pada 11 September 1982 oleh gubernur Jawa Tengah saat itu, Soeparjo Roestam, seharusnya bisa menjadi pengingat sekaligus cambuk bagi industri gula di Nusantara. Sesap gula di Nusantara memang tak semanis dahulu, tetapi ketika berbicara gula maka nama Indonesia juga ada dalam tiap sesapnya.

Museum adalah ruang bernostalgia dengan masa lalu bagiku. Berkunjung ke museum adalah sesuatu hal yang menyenangkan bagiku. Paradigma membosankan tentang museum memang haruslah diubah. Ya, harus diakui bahwa untuk saat ini museum-museum di Indonesia kurang begitu mendapatkan perhatian dari wisatawan. Begitu juga dengan Museum Gula ini, hingga berakhirnya jam kunjungan hanya aku saja yang menyambangi museum padahal aku berkunjung ketika akhir pekan.  Terlepas dari faktor pengunjung, Museum Gula Jawa Tengah Gondang Winangoen memanglah harus banyak berbenah diri, bayanganku ketika berada di sebuah museum gula bukan hanya tentang tebu dan sebaran pabrik gula di Indonesia tetapi juga dengan mesin-mesin yang digunakan saat pengolahan tebu menjadi gula.

Dalam benakku apabila mesin-mesin boiler yang besar itu begitu juga dengan mesin-mesin yang lainnya bisa hadir di museum gula ini tentunya akan sangat menarik sekali. Ah, ini hanyalah sebuah andai karena teringat mesin-mesin nan gagah yang tersungkur sunyi di Suikerfabriek Tjolomadoe.

Langit mendung pun kian pekat seakan memberi tanda bahwa sudah saat untuk mengakhiri perjalanan singkat di satu-satunya museum gula di Indonesia dan membiarkannya kembali tertidur untuk menunggu seseorang pengunjung datang bernostalgia masa lalu dengannya dalam manisnya sesap gula.


Dan tak akan pernah bosan, Mari Ke Museum.



Beberepa dokumentasi lainnya:

Mesin hitung dari masa ke masa.

Salah satu koleksi lokomotif.



"Ajax".





Beranda.




Referensi/sumber pendukung:
* Mustopo, Rusal.2003.PENGARUH KRISIS MALAISE TERHADAP PABRIK GULA DI KABUPATEN KLATEN SAMPAI TAHUN 1942.Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.Universitas Sebelas Maret.Surakarta.


Catatan tambahan:
* Museum Gula Jawa Tengah ini berada di dalam kompleks Pabrik Gula Gondang Baru dan beralamatkan di jalan Raya Solo - Yogyakarta KM.25, Plawikan, Jogonalan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Lokasinya sangat strategis karena berada di tepi jalan raya Solo-Yogyakarta. Bila kurang paham bisa di cek google maps karena sudah terlokasi.
* Harga tiket masuk Museum Gula sebesar Rp5.000 untuk wisatawan lokal dan Rp10.000 untuk wisatawan asing.
* Museum Gula buka setiap hari dengan jam kunjungan mulai pukul 07.30 sampai pukul 14.30 WIB.
* Gunakan guide untuk lebih paham seluk belum Museum Gula.
* Dan yang aku suka dari Museum Gula ini adalah petugasnya yang begitu ramah meski yang datang hanya satu dua orang saja. 

Post a Comment

2 Comments

  1. Kalo sepi kayak gini biasanya penjaganya akan jutek ya mas. Sedikit terkejut bahwa meski satu orang tok, disambut dengan ramah.
    Potensi museum ini jane besar. Tp embuhlah, koyo dibiarkan apa adanya kayak gitu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, seneng nek penjagane ramah meski satu dua orang tok sing teko.

      Bener, potensi Museum Gula iki gede banget, opo maneh nek museum e juga mencangkup rumah-rumah dinas di sekitar museum plus dengan manajemen yang baik, bakalan jadi menarik museum iki. Ya, dilema pabrik gula dibawah pemerintah, hidup segan matipun enggan.

      Delete