Rasulan: Harmoni dalam Tradisi

"Slametan adalah acara pesta komunal masyarakat Jawa, di mana yang berpartisipasi di dalamnya merupakan simbol kesatuan sosial."
(Geertz dalam M. Isfironi)

Kegelisahanku terhadap eksistensi budaya Jawa sedikit berkurang tatkala aku menghadiri sebuah tradisi yang berkembang di masyarakat Gunungkidul. Sebuah tradisi yang sudah turun-temurun sejak nenek moyang dan masih dipertahankan hingga sekarang, walaupun terjadi perubahan dalam tatanan tradisi budaya. Entah sejak kapan tradisi ini bermula tetapi yang patut digarisbawahi adalah kepedulian masyarakat untuk tetap melestarikan tradisinya. Karena sejatinya, dari sebuah tradisi terdapat suatu pesan tersembunyi yang terkonsepsi untuk setiap laku manusia.

Rumah-rumah dengan gaya Limasan masih banyak aku temui ketika memasuki dusun Bendorejo. Rumah gaya tradisional Jawa itu kini saling bersinergi dengan gaya modern. Temaram senja menyertaiku saat aku sampai di rumah seorang kawan yang aku kenal karena tergabung dalam satu komunitas. Kehadiranku di sini untuk melihat lebih dekat tradisi Rasulan yang sudah ada sejak lama dan masih dipertahankan hingga sekarang. Tradisi ini juga merupakan salah satu aset budaya Jawa, karena budaya Jawa tidak selalu berputar pada lingkungan keraton saja.
Pada dasarnya kebudayaan Jawa menerapkan konsep keseimbangan, keselarasan, dan keserasian, sehingga ke semua unsur (hidup dan mati, alam dan makhluk hidup) harus saling harmonis berdampingan.
Senja yang menyapaku kini berganti dengan gelap malam. Orang-orang kian berlalu lalang menuju balai desa guna menyaksikan pentas kesenian yang di gelar pada malam sebelum puncak acara Rasulan.


Rasulan adalah agenda kegiatan yang dilakukan satu tahun sekali dan dilaksanakan sebelum memasuki bulan Suro dalam penanggalan Jawa. Rangkaian kegiatan ini adalah hasil daripada musyawarah warga dusun. Kapan pelaksanaan Rasulan itu sendiri merupakan hasil dari kesepakatan warga dan tentunya apakah ada acara pentas seni sebelum acara puncak juga merupakan hasil kesepakatan warga.

Di dusun Bendorejo sendiri kegiatan Rasulan dilaksanakan pada hari Jumat Legi. Setiap dusun memiliki hari tersendiri dalam melaksanakan Rasulan, sehingga pelaksanaan Rasulan di setiap dusun berbeda dengan dusun lainnya. Rasulan sendiri juga bisa dikatakan sebagai Bersih Desa atau Merti Desa.
Bersih Desa atau Merti Desa secara langsung ataupun tidak menjadi referensi bagi praktik-praktik Slametan yang terjadi pada masa sekarang. Di dalam Slametan itu terkandung makna yang sangat luas dan dalam, tentang sebuah kesadaran, cara berpikir, dan bertindak suatu kelompok masyarakat dalam membangun tatanan sosial.
Malam sudah berganti pagi, hiruk pikuk kesibukan di rumah mas Bani kian terasa. Persiapan di balai desa pun juga kian semarak. Pagi itu kami juga ikut larut dalam kesibukan menyiapkan makanan untuk menjamu tamu yang datang. Ya, walaupun hanya mengiris mentimun juga wortel untuk dibuat acar, dan cabai yang nantinya akan digunakan sebagai sayur lombok atau orang-orang di sini menyebutnya Jangan Lombok.


Tanpa terasa waktu siangpun sudah tiba dan acara puncak Rasulan sudah dimulai. Para sesepuh dusun berkumpul dan memulainya dengan doa, tak terlupa pula di dalam tradisi Jawa terdapat sesaji yang turut didoakan. Tak perlu berprasangka negatif tentang hal ini, cukup hormati saja. Sesaji yang pasti ada adalah Sego Gurih/nasi gurih dan ayam Ingkung.
Nasi gurih dan ayam ingkung ini adalah hal yang harus ada di dalam perayaan Rasulan. Tetapi semua itu dikembalikan kepada pada keyakinan warga. Apabila warga tidak merasa yakin atau mantab untuk memberikan semua itu, maka tidak perlu melakukannya.
Suara tabuhan alat musik pengiring kesenian Jathilan mulai menggema dan warga ternyata sudah berdesak-desakan di area pertunjukan ketika aku datang. Tahun ini salah satu kesenian yang ditampilkan adalah kesenian Jathilan. Ada pula kesenian Barongsai, tetapi kesenian Jathilanlah yang tetap menjadi daya tarik utama. Entah sudah berapa tahun aku tak menyaksikan kesenian Jathilan ini, aku sendiri juga lupa. Menyaksikan kesenian seperti ini sungguh memanjakan diriku.
Jathilan sendiri merupakan kesenian rakyat yang berkembang di pedesaan. Di kota Yogyakarta, kesenian ini menjadi bagian dari sebuah ritual. Sama seperti tradisi Rasulan, kesenian Jathilan juga mengalami perubahan tatanan namun tetap berpijak pada tradisi yang ada.



Tradisi Rasulan mempunyai keunikan tersendiri, warga yang merayakan Rasulan akan mengundang kerabat ataupun teman untuk hadir ke rumahnya. Sama seperti diriku yang diundang oleh mas Bani untuk menghadiri perayaan tradisi ini. Selain itu ketika Rasulan tiba maka hal ini layaknya lebaran bahkan jauh lebih ramai daripada saat lebaran tiba. Orang-orang yang sedang merantau akan pulang ke dusunnya untuk datang dan merayakan Rasulan. Hal ini mungkin bisa dijelaskan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan romantisme masa lalu.
Sebuah naluri yang sangat manusiawi apabila pada akhirnya setiap manusia akan kembali ke asalnya. Ia akan kembali ke tempat di mana ia dilahirkan, tanah dan tempat ia dibesarkan, yang menyimpan berjuta kenangan yang tak terlupa dalam ingatan romantisme masa lalu.
Rasulan sejatinya bukan hanya sebagai sebuah ritual ataupun seremonial tradisi tetapi juga mengajarkan banyak hal. Tentang rasa toleransi, kebersamaan, kasih sayang, silaturahmi, hingga rasa saling bergotong royong yang dewasa ini kian pudar terutama di masyarakat perkotaan.


Tamu yang datang di rumah mas Bani kian silih berganti. Percakapan antar kawan, kabar dari sanak saudara, hingga nostalgia masa lalu, menghiasi tiap sudut rumah ini dan tak terasa pula waktu sudah beranjak sore. Pada akhirnya aku pun mengakhiri ini semua, meninggal sebuah tradisi yang semoga akan tetap terus terjaga karena di dalam tradisi ini menyimpan nilai-nilai yang begitu dalam bermakna.
Karena untuk menjadi manusia modern tidak harus meninggalkan tradisi dan budayanya.
Mari mengenal, menjaga, juga melestarikan tradisi dan budaya agar tidak hilang ditelan jaman.



Referensi/sumber penduduk:
* Isfironi, Muhammad. 2013. AGAMA DAN SOLIDARITAS SOSIAL; Tafsir Antropologi Terhadap Tradisi Rasulan Masyarakat Gunungkidul DIY. Jurnal Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan. Vol. 16 No. 02.
* Kuswarsantyo. 2014. SENI JATHILAN DALAM DIMENSI RUANG DAN WAKTU. Jurnal Kajian Seni. Vol. 01. No. 01.

Post a Comment

0 Comments