Lawu... jika dibilang Lawu Penebar Candu aku tak akan menampiknya, nyatanya ia memang menebarkan candunya padaku. Gunung yang membuat hati dan jiwa ini selalu rindu dengan sesuatu yang aku sebut ketinggian. Fase awal pendakian gunung ini selalu setia menemani untuk bekal sebuah pengalaman sebelum berlanjut ke gunung yang lain.
Tahun 2013-2014 bisa dikata menjadi tahun dimana aktif untuk mendaki sebuah gunung. Aku masih ingat malam kemerdekaan tahun 2014 Sang Penebar Candu ini terbakar hebat dan membuat para pendaki gagal untuk merayakan kemerdekaan Indonesia. Inilah terakhir kali aku bersua dengan Sang Penebar Candu: Lawu.

Bulan yang penuh dengan aura perjuangan kembali lagi dan di awal Agustus 2016 ini, aku kembali lagi. Kembali bersua dengan Lawu, Sang Penebar Candu. Jalur pendakian kali ini melewati jalur Candi Cetho. Jalur ini menurutku adalah jalur paling eksotis daripada jalur Cemoro Sewu maupun Cemoro Kandang.
Untuk kedua kalinya aku kembali melewati jalur ini dengan sembilan orang tergabung dalam Tim Ngo Prek Dut. Hanya satu dari sembilan orang yang aku kenal, sisanya baru pertama bertemu dan kenal pada hari itu juga ketika pertama kali jumpa. Namun sudah seperti saling lama mengenal bak teman lama yang kembali bersua.
Ahhh... aku rindu akan hadirmu ketika sedang mendaki seperti ini. Dulu kau pernah menapaki puncak tertinggi Lawu bersamaku. Memang bukan melewati jalur Candi Cetho tetapi kembali melakukan pendakian di gunung ini, ada rasa rindu yang kian sesak. Deru angin yang menghamtam pepohonan, suara gesekan antar ranting seakan ingin memberitahu bahwa dulu pernah ada cerita indah bersama seperti Senandung Rindu Sang Galaxias.
Langit senja bawa aku
bermain bersama di hari yang cerah
Kicau burung bernyanyilah
temani hangatnya senyuman indahnya
Lupakan gundahmu
Luapkan senyummu
Lukiskan manisnya
Bersenjagurau...
Sama halnya lirik di atas, semua gundah dan risau perlahan pudar seiring dengan perjalanan menuju puncak Lawu, Hargo Dumillah. Canda juga tawa tak pernah lepas dari tim ini, sebuah senjagurau untuk menghibur kala pendakian. Tim yang hebat, tim yang kompak, tim yang absurd, tim yang kocak, tim yang luar biasa.
Tim dengan motto "Pakai Bahasa Indonesia Biar Paham, Ngopi Dulu Biar Ganteng, Kalau Sudah Cocok Ya Dinikahin."

Jalur Candi Cetho menawarkan panorama tersendiri. Jalur masih berupa tanah dan vegetasi masih begitu alami. Sesekali kicau burung lirih terdengar menambah syahdu sebuah perjalanan. Angin yang berhembus pelan namun menusuk raga membuat damai diantara dingin yang menusuk kulit. Kabut perlahan datang menutupi mentari siang, namun sesekali kabut pergi. Begitulah, ia datang dan pergi menemani sepanjang perjalanan pendakian.
Senja kali ini sangat berbeda. Tak ada garis cakrawala, tak ada guratan cahaya, tak ada kilauan cahaya jingga, tak ada! Senja kali ini tertutup awan mendung yang sesekali diselingi kabut datang.

Malam ini, harusnya Cygnus, Vega, Deneb, Altair, Crux, dan konstelasi lainnya hadir bersama milyaran bintang yang ternaung dalam Sang Galaxias. Yaa, malam ini bisa dibilang Bimasakti sedang berada pada puncaknya untuk diamati dengan mata telanjang. Tetapi alam berkehendak lain, kabut sudah samar-samar menutupi langit dan pada akhirnya langit malam pun tertutup awan kabut disertai rintik hujan yang menambah syahdu.
Sejatinya jika Sang Galaxias malam ini nampak aku akan panjang lebar berkisah. Mengulangi semua kisah yang kau ceritakan tentang mitologi yang menaungi di setiap konstelasi bintang. Bukan lagi di atas karang yang dihantam ombak melainkan kembali lagi di sebuah ketinggian dengan dingin yang menusuk raga. Tetapi alam berkehendak lain.

Perjalanan malam ini terhenti di Pos 5, Bulak Peperangan. Dinamakan demikian karena konon katanya di tempat ini dulu digunakan sebagai medan peperangan. Rintik hujan kian deras membasahi seisi Bulak Peperangan. Hujan ditambah suasana berkabut membuat aura Bulak Peperangan semakin terasa.
Malam semakin larut dan hujan masih saja enggan pergi. Rindu yang ku bawa sepanjang perjalanan pendakian terhenti di sini, di Pos 5: Bulak Peperangan.

Jiwa yang sedang merindu ini akhirnya terlelap di dalam tenda ditemani syahdunya rintik hujan dan Sang Galaxias yang enggan menampakkan wujudnya. Menghabiskan malam dan membunuh rindu yang kian.
Tahun 2013-2014 bisa dikata menjadi tahun dimana aktif untuk mendaki sebuah gunung. Aku masih ingat malam kemerdekaan tahun 2014 Sang Penebar Candu ini terbakar hebat dan membuat para pendaki gagal untuk merayakan kemerdekaan Indonesia. Inilah terakhir kali aku bersua dengan Sang Penebar Candu: Lawu.
Bulan yang penuh dengan aura perjuangan kembali lagi dan di awal Agustus 2016 ini, aku kembali lagi. Kembali bersua dengan Lawu, Sang Penebar Candu. Jalur pendakian kali ini melewati jalur Candi Cetho. Jalur ini menurutku adalah jalur paling eksotis daripada jalur Cemoro Sewu maupun Cemoro Kandang.
Untuk kedua kalinya aku kembali melewati jalur ini dengan sembilan orang tergabung dalam Tim Ngo Prek Dut. Hanya satu dari sembilan orang yang aku kenal, sisanya baru pertama bertemu dan kenal pada hari itu juga ketika pertama kali jumpa. Namun sudah seperti saling lama mengenal bak teman lama yang kembali bersua.
Ahhh... aku rindu akan hadirmu ketika sedang mendaki seperti ini. Dulu kau pernah menapaki puncak tertinggi Lawu bersamaku. Memang bukan melewati jalur Candi Cetho tetapi kembali melakukan pendakian di gunung ini, ada rasa rindu yang kian sesak. Deru angin yang menghamtam pepohonan, suara gesekan antar ranting seakan ingin memberitahu bahwa dulu pernah ada cerita indah bersama seperti Senandung Rindu Sang Galaxias.
Langit senja bawa aku
bermain bersama di hari yang cerah
Kicau burung bernyanyilah
temani hangatnya senyuman indahnya
Lupakan gundahmu
Luapkan senyummu
Lukiskan manisnya
Bersenjagurau...
Sama halnya lirik di atas, semua gundah dan risau perlahan pudar seiring dengan perjalanan menuju puncak Lawu, Hargo Dumillah. Canda juga tawa tak pernah lepas dari tim ini, sebuah senjagurau untuk menghibur kala pendakian. Tim yang hebat, tim yang kompak, tim yang absurd, tim yang kocak, tim yang luar biasa.
Tim dengan motto "Pakai Bahasa Indonesia Biar Paham, Ngopi Dulu Biar Ganteng, Kalau Sudah Cocok Ya Dinikahin."
Jalur Candi Cetho menawarkan panorama tersendiri. Jalur masih berupa tanah dan vegetasi masih begitu alami. Sesekali kicau burung lirih terdengar menambah syahdu sebuah perjalanan. Angin yang berhembus pelan namun menusuk raga membuat damai diantara dingin yang menusuk kulit. Kabut perlahan datang menutupi mentari siang, namun sesekali kabut pergi. Begitulah, ia datang dan pergi menemani sepanjang perjalanan pendakian.
Senja kali ini sangat berbeda. Tak ada garis cakrawala, tak ada guratan cahaya, tak ada kilauan cahaya jingga, tak ada! Senja kali ini tertutup awan mendung yang sesekali diselingi kabut datang.
Malam ini, harusnya Cygnus, Vega, Deneb, Altair, Crux, dan konstelasi lainnya hadir bersama milyaran bintang yang ternaung dalam Sang Galaxias. Yaa, malam ini bisa dibilang Bimasakti sedang berada pada puncaknya untuk diamati dengan mata telanjang. Tetapi alam berkehendak lain, kabut sudah samar-samar menutupi langit dan pada akhirnya langit malam pun tertutup awan kabut disertai rintik hujan yang menambah syahdu.
Sejatinya jika Sang Galaxias malam ini nampak aku akan panjang lebar berkisah. Mengulangi semua kisah yang kau ceritakan tentang mitologi yang menaungi di setiap konstelasi bintang. Bukan lagi di atas karang yang dihantam ombak melainkan kembali lagi di sebuah ketinggian dengan dingin yang menusuk raga. Tetapi alam berkehendak lain.
Perjalanan malam ini terhenti di Pos 5, Bulak Peperangan. Dinamakan demikian karena konon katanya di tempat ini dulu digunakan sebagai medan peperangan. Rintik hujan kian deras membasahi seisi Bulak Peperangan. Hujan ditambah suasana berkabut membuat aura Bulak Peperangan semakin terasa.
Malam semakin larut dan hujan masih saja enggan pergi. Rindu yang ku bawa sepanjang perjalanan pendakian terhenti di sini, di Pos 5: Bulak Peperangan.
Jiwa yang sedang merindu ini akhirnya terlelap di dalam tenda ditemani syahdunya rintik hujan dan Sang Galaxias yang enggan menampakkan wujudnya. Menghabiskan malam dan membunuh rindu yang kian.
0 Comments