Hutan Donoloyo: Jejak Penyangga Istana

Sekian abad berlalu semenjak ditebangnya pohon jati Cempurung, para penyangga istana ini masih tegak berdiri di usianya yang sudah mencapai ratusan tahun. Bahkan cerita yang beredar di tengah masyarakat menyebutkan jika para penyangga istana ini sudah ada sejak jaman kerajaan Majapahit. Namun jejak para penyangga istana ini kian terdiam sepi, tersungkur sunyi di ujung timur kota Wonogiri.

Keberadaan hutan jati di ujung timur kota Wonogiri ini tidak dapat dipisahkan dengan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Pohon jati dari hutan Donoloyo ini menjadi saksi tentang jejak para penyangga istana peninggalan dinasti Mataram itu. Pohon-pohon jati dari hutan Donoloyo ini digunakan sebagai salah satu penyokong Keraton Kasunanan baik pada saat awal pembangunan keraton maupun pembangunan kembali keraton setelah terbakar hebat di tahun 1985. Dan salah satu bukti tentang para penyangga istana ini masih bisa dilihat ketika sedang mengunjungi keraton.
Dan akhirnya pada tanggal 11 April 1985 dipilihlah 21 batang pohon jati dari hutan Donoloyo yang diameternya lebih dari dua rangkulan orang dewasa. Pohon-pohon jati ini digunakan untuk pembangunan kembali Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang pada tahun 1985 terbakar hebat dan menghanguskan cukup banyak inti kedhaton.

Hutan Donoloyo sangat erat kaitannya dengan seseorang bernama Ki Ageng Donoloyo. Ialah yang membuat hutan Donoloyo banyak ditumbuhi pohon jati walaupun sekarang pohon jati peninggalan Ki Ageng Donoloyo itu bisa dihitung dengan jari. Pohon jati peninggalan Ki Ageng Donoloyo yang tersisa hanyalah pohon jati yang kini berada di sekitar area punden.
Nama Ki Ageng Donoloyo sendiri adalah sebuah bentuk penghormatan masyarakat di dusun Donoloyo untuk seorang laskar dari Majapahit. Kebaikan dan juga kebajikannya membuat penduduk desa sangat menghormatinya dan akhirnya memberikan gelar Ki Ageng Donoloyo.

Dahulu, di hutan Donoloyo tidaklah tumbuh pohon jati. Pohon-pohon jati mulai tumbuh ketika Ki Ageng Donoloyo berhasil "membawa" biji pohon jati setelah mendengarkan saran istri Ki Ageng Sukaboyo yang tak lain adalah kakaknya sendiri.

Ketika Ki Ageng Donoloyo berkunjung ke tempat Ki Ageng Sukaboyo, ia sangat takjub dengan pohon-pohon jati yang tumbuh di halaman Ki Ageng Sukaboyo. Pohon-pohon jati itu tumbu besar serta menjulang tinggi. Maksud hati ingin meminta satu buah biji pohon jati kepada Ki Ageng Sukaboyo untuk ditanam di tempatnya, namum apalah daya permintaan itu langsung ditolak oleh Ki Ageng Sukaboyo.

Beberapa waktu telah berlalu dan Ki Ageng Donoloyo kembali berkunjung. Kali ini ia membawa tongkat bambu seperti yang disarankan istri Ki Ageng Sukaboyo. Ki Ageng Donoloyo dan Sukaboyo berjalan-jalan di sekitar pohon-pohon jati. Dan pada akhirnya dua buah biji pohon jati berhasil "dibawa" Ki Ageng Donoloyo di dalam tongkat bambu.



Sebelum memasuki area hutan Donoloyo maka di tepi jalan menuju hutan Donoloyo akan kita menemui sebuah pohon jati yang unik. Nampak dari luar pohon jati ini akan menyerupai pohon beringin, hal itu dikarenakan pohon jatinya sendiri yang berada di tengah-tengah dililit oleh pohon Bulu di bagian luarnya. Pohon jati ini diyakini merupakan salah satu dari dua biji jati yang diambil Ki Ageng Donoloyo dari tlatah Sukaboyo.
Ketika Ki Ageng Donoloyo kembali dari tlatah Sukaboyo menuju kediamannya, di tengah perjalanan ia beristirahat di sebuah desa bernama Desa Denok. Di tempat ini Ki Ageng Donoloyo beristirahat lantas ketika melanjutkan perjalanan menuju Donoloyo salah satu biji jati tertinggal dan kemudian tumbuh besar disertai lilitan pohon Bulu. Oleh karena itu jati ditempat itu dinamakan Jati Denok.

Jati Denok


Jati Denok dalam lilitan pohon Bulu

Semerbak aroma daging langsung menusuk hidung ketika baru saja sampai di pusat hutan jati Donoloyo. Suasana mistis langsung aku rasakan ketika kaki ini menginjak hutan jati, ditambah lagi aku sampai di sini menjelang waktu maghrib. Tak banyak yang berubah dari hutan jati ini sejak kunjungan pertamaku di tahun 2013 lalu. Walaupun suasana cukup mistis tetapi suasana tenang dan nyaman masih terasa.

Tak begitu banyak orang yang datang di sini. Ketika aku sampai hanya ada seorang bapak yang sedang menemani anaknya yang penasaran dengan hutan jati ini. Di tempat ini pula terdapat bangunan punden yang merupakan bekas dari Jati Cempurung.
Setelah beristirahat di desa Denok dan melanjutkan ke kediamannya di Donoloyo, lantas sesampai di hutan Donoloyo, Ki Ageng Donoloyo menanam biji jati yang tersisa. Pohon jati itu tumbuh besar dan tinggi. Jati tersebut dinamakan Jati Cempurung. Dan pohon Jati Cempurung inilah yang digunakan sebagai soko guru dari Masjid Demak.
Pohon jati di hutan Donoloyo memiliki keunikan tersendiri yaitu akan ada lubang atau bahasa jawanya growong pada bagian tengahnya entah besar maupun kecil. Menurut cerita, hal ini dikarenakan pohon jatinya Donoloyo merupakan hasil curian.


Punden yang merupakan bekas dari pohon Jati Cempurung


"Sowan si mbah."

Begitulah orang-orang di sekitar sini menyebutnya ketika berkunjung ke Donoloyo maupun ke Girimanik. Mungkin hal itu dikarenakan masyarakat sekitar masih percaya bahwa Ki Ageng Donoloyo sendiri masih hidup meskipun tak diketahui dimanakah sosoknya sekarang berada.

Masyarakat di sekitar hutan Donoloyo juga mempunyai sebutan yang unik untuk beberapa pohon jati. Ada Jati Petruk yang merupakan pohon jati paling tinggi. Ada Jati Kembar di mana dua pohon jati memiliki besar dan tinggi yang sama bahkan cabang rantingnya pun hampir sama. Ada pula Jati Gondhel yang merupakan dahan dari Jati Cempurung yang tersangkut di pohon jati lainnya ketika ditebang untuk keperluan pembangunan masjid Demak. Dan yang terkenal adalah Jati Jegod.
Dahulu ketika Keraton Kasunanan Surakarta sedang membutuhkan dua pohon jati, ditebanglah pohon jati dari hutan Donoloyo dan kemudian dihanyutkan melalui sungai Bengawan Solo yang berada tak jauh dari punden. Ketika sampai, batang jati ini dicemooh oleh abdi dalem keraton karena terdapat cacat berupa growong dan tak layak untuk keraton. Lantas, dua batang jati itu berontak dengan kembali lagi ke hutan Donoloyo dan dua pohon jati itu dikenal dengan nama Jati Jegod (jati yang berontak).

Sungai tempat menghanyutkan batang kayu



Kini, hutan jati peninggalan Ki Ageng Donoloyo perlahan mulai hilang. Pohon jati yang besar, tinggi, dan tampak kokoh sejatinya sudah begitu renta termakan usia. Entah sampai kapan jejak para penyangga istana akan terus lestari. Hutan Jati Donoloyo bukan hanya sekedar cerita tentang Ki Ageng Donoloyo saja tetapi juga menjadi bukti tentang sebuah kesetiaan seorang abdi kepada kerajaannya. Dan juga Hutan Jati Donoloyo akan selalu menjadi bagian penting ketika berbicara tentang Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Meski terkadang nama Donoloyo sedikit terabaikan.

Perlahan sandiakala di hutan Donoloyo tergantikan oleh gelap malam dan perjalanan singkat di tempat bersemayamnya para penyangga istana ini juga berakhir meninggalkan para penyangga istana kembali sepi, tersungkur sunyi di perbatasan kota Wonogiri.





Referensi/sumber pendukung:
* Erni Budihastuti. 2010. Studi tentang Interpretasi Serat Kalang dalam Pembangunan Kembali Keraton Kasunanan Surakarta Tahun 1987. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.


Catatan tambahan:
* Hutan Jati Donoloyo berlokasi di Desa Watusono, Slogohimo, Wonogiri, Jawa Tengah. Rute dari kota Solo bisa ditempuh sebagai berikut:
Solo - Wonogiri kota - Ngadirojo - Slogohimo - ketika sampai di kecamatan Slogohimo tetap lurus ikuti jalan - kemudian akan ada pom bensin di kiri jalan dan tetap lurus - setelah melewati pom bensin akan ada penunjuk arah menuju Hutan Donoloyo dan bertemu pertigaan - belok kanan - ikuti jalan dan akan sampai di Hutan Donoloyo.
Jika masih belum paham tanyakan pada warga sekitar Slogohimo pasti akan tahu lokasinya. Untuk sampai di area pusat atau punden setelah memasuki hutan maka lihat di bagian kiri akan ada jalan selebar mobil. Belok kiri saja dan tak jauh dari itu akan sampai di area punden.
* Belum ada tiket masuk ataupun parkir.
* Tetap jaga kesopanan ketika berkunjung.
* Dan yang terakhir, hormatilah pengunjung yang sedang melakukan ritual jika kebetulan ada yang sedang melakukannya.

Post a Comment

0 Comments