Sepenggal Kisah Tentang Semarang dan Kereta Ekonomi

Barangkali sudah hampir satu tahun aku tidak bersua dengan Semarang. Rasanya memang selalu saja ada cerita ketika berkunjung ke Semarang. Entah, hanya sekedar menikmati kota lama, bersua dengan seseorang, ataupun melihat Semarang dari sebuah perspektif lain. Yaitu melihat Semarang dari kampung ke kampung yang ada di tengah kota Semarang.

Penghujung bulan Februari 2018 ini aku berkesempatan lagi untuk mengunjungi Semarang. Ragam cerita sudah pernah terkisahkan di Semarang. Tak bisa aku pungkiri bahwa Semarang adalah salah satu kota yang penuh kenangan selain kota Solo dan Kediri. Kunjunganku kali ini adalah menikmati pagi di salah satu kampung yang sudah ada sejak tahun 1413. Rasanya aku sedikit tak menyangka bila Semarang masih mempunyai kampung dengan segala aktivitasnya.


Subuh baru saja lewat dan aku pun sudah berada di stasiun Balapan. Ya, apabila berkunjung menuju Semarang pilihan pertamaku adalah dengan kereta. Entah mengapa aku juga tak tahu. Mungkin ketertarikanku terhadap keretalah yang membuat kereta menjadi prioritas ketika hendak berpergian. Aktivitas Balapan di pagi hari sudah begitu ramai. Orang-orang yang baru saja turun dari kereta silih berganti memenuhi peron stasiun, ada yang datang untuk pergi Jogja, ataupun yang hendak pergi ke Semarang pun juga ada, seperti diriku ini.

Tiket dengan tempat duduk Eko 2 : 1A sudah ditangan. Ah, agaknya nasibku kali ini sedikit kurang beruntung karena tempat dudukku itu berada di dekat bordes kereta. Jam sudah menunjukkan pukul 05.20 pagi dan tanda peluit bahwa kereta siap diberangkatkan sudah berbunyi. Perlahan namun pasti kereta yang mengantarkanku ke Semarang beranjak pergi meninggalkan stasiun Balapan.



Ketika aku sampai di tempat duduk ternyata sudah ada dua orang ibu-ibu paruh baya. Senyum mereka menyapaku ketika aku duduk di Eko 2 : 1A. Agaknya mereka berdua tidak pergi sendirian. Mereka pergi bersama keluarga mereka yang terpisah tempat duduknya. Pun beberapa kali aku mendengar percakapan mereka dengan penumpang yang ada di kursi sebelahnya itu. Nampak begitu hangat dan akrab sekali.

"Mau ke mana mas?"
"Badhe dateng Semarang."
"Turun pundi mas?"
"Tawang, Bu."

Begitulah percakapan awal dan singkat dengan salah satu ibu-ibu paruh baya itu. Dan ternyata percakapan itu hanya sebuah awal saja. Dalam perjalanan menuju Semarang aku beberapa kali terlibat percakapan seru dengan kedua ibu-ibu paruh baya tadi. Mungkin bagi sebagian orang akan membosankan bahkan menjengkelkan bila bercakap-cakap banyak dengan orang asing, tapi bagiku tidak demikian. Ini yang aku sukai dari kereta ekonomi. Ia mampu menjadi tempat bertukar kisah dengan orang asing yang baru pertama kali bertemu.

Aku sendiri lebih banyak mendengarkan kisah mereka berdua. Ketika dua ibu-ibu paruh baya tadi berkisah masa kecilnya, bagian inilah yang paling aku suka. Ketika peristiwa Gestok terjadi, mencekamnya peristiwa 30 September 1965, ketika masyarakat dibatasi oleh jam malam, banjir besar yang melanda Solo tahun 1966, dan masih banyak lagi yang mereka berdua kisahkan. Aku hanya bisa terdiam dan membayangkan saja bagaimana kondisi saat itu. Sungguh aku bisa merasakan bagaimana suasana saat peritiwa-peristiwa itu berlangsung dari penuturan mereka berdua.

"Mbyen kie Prameks jeneng e Kuda Putih, Bu."
"Jamanku mbyen malah isih kayu, sepur kluthuk ngono kae."

Percakapan itu sampai sekarang masih aku ingat. Bagaimana mereka berdua mengisahkan cerita masa kecil mereka yang sesekali dipenuhi senyum di sudut bibir pun aku masih ingat. Ya, inilah kereta ekonomi dengan segala kisahnya.


Kereta beranjak dari stasiun Telawa dan melanjutkan perjalanan ke Semarang. Ada yang begitu menarik ketika kereta ini berhenti di stasiun-stasiun kecil yang notabene masyarakatnya masih berada di pedesaan. Anak-anak yang begitu riang melihat kereta datang, orang yang melambaikan tangan ke kereta, pun dengan para remaja yang tengah duduk santai di stasiun. Semua begitu nampak dari kaca jendela kereta. Bahagia memanglah begitu sederhana. Melihat kereta saja senyum lebar sudah begitu terlihat.

Di salah satu titik jalur, kereta yang membawaku ke Semarang berjalan sangat pelan hal ini disebabkan karena tebing di sisi kiri kereta mengalami longsor beberapa waktu lalu. Orang-orang di dalam kereta cukup antusias melihat hal itu. Terlihat pula para pekerja yang tengah bersantai menunggu kereta melintas sebelum melanjutkan pekerjaan mereka. Ketika kereta berhenti di stasiun Kedung Jati, ada hal menarik lainnya yaitu ketika para keluarga masih diizinkan mengantar sanak saudaranya sampai di peron stasiun. Ekspresi mereka ketika mengantarkan keluargnya pergi masih terekam jelas dalam benak ini. Lambaian tangan dari para keluarga ini seakan menjadi doa pengantar sanak saudaranya agar selamat sampai tujuan. Ya, hal yang sudah tidak bisa lagi ditemui di perkotaan dan stasiun-stasiun besar, mengingat peraturan yang sudah ditetapkan oleh PT. KAI.



Empat penari kian kemari jalan berlenggang, aduh
Sungguh jenaka menarik suara irama gambang
Sambil bernyanyi jongkok berdiri semua orang, aduh
Sungguh jenaka nyanyi mereka irama gambang

Syair Gambang Semarang sudah terlantunkan di peron stasiun, hal itu berarti bahwa aku sudah berada di stasiun Semarang Tawang. Ah, Gambang Semarang dan Stasiun Tawang selalu saja bisa memutar kenanganku. Tentang seseorang yang datang dan pergi, Gambang Semarang dan Stasiun Tawang selalu menjadi saksi.

Hah, agaknya ketidakberuntunganku yang mendapatkan tempat duduk di dekat bordes kereta tak begitu terasa karena mendengarkan kisah dari dua ibu-ibu paruh baya tadi. Kereta ekonomi dengan segala aktivitasnya akan selalu menjadi kenangan tersendiri bagiku. Memang dari segi fasilitas dan kenyaman tentunya kereta ekonomi kalah dengan kereta bisnis ataupun eksekutif. Tetapi ada satu hal yang tak dimiliki oleh kereta bisnis maupun eksekutif yaitu sebuah percakapan hangat dengan orang yang baru saja ditemui.

Jadi, kapan terakhir kali naik kereta ekonomi?

Post a Comment

0 Comments